KE MANA? | SNAKE Episode 7

 “Nona,” panggil pembantu rumah tangga itu.

Gadis itu masih terdiam. Menikmati pemandangan di luar yang entah mengapa di matanya begitu indah dibandingkan dengan pembantunya yang cantik jelita. Keturunan Jepang pula.

“Permisi Nona, makanan Anda sudah siap,” ucapnya mengulangi maksud dirinya setelah panggilan pertamanya tak digubris.

Gadis itu masih terdiam. Bibir mungil tipisnya. Merah mereka seperti kelopak bunga mawar merah saat ia menyesap kopi di pagi harinya, menunjukkan betapa ia begitu seksi dengan rambut pendeknya yang telah ia warnai abu-abu bersama biru dongker yang menyatu di rambut keriting gelombang itu, begitu pula poni yang terbatas sampai di alisnya menunjukkan betapa imutnya ia.

“Turunlah, aku akan ke sana. Tunggu aku di meja makan,” ucapnya dengan membalikkan tubuh rampingnya.

“Baik, Nona.”

Gadis itu menghembuskan nafas beratnya seraya menatap kembali pemandangan di luar jendela kaca besarnya. Berulangkali ia menghembuskan nafasnya. Hidungnya yang mancung sempurna dengan ujung yang tumpul dan batang hidung yang lancip, seolah menikmati aroma kopi di pagi hari. Bibirnya yang merah merekah, tipis, serta begitu seksi saat dilihat dari sisi sampingnya, dengan gaya sweahnya yang begitu khas, menunjukkan betapa ia terlihat sangat muda, meski ia sudah berkepala dua dan menginjak kepala tiga. Gadis itu, Zania Vabrigas. Lebih tepatnya, Zania.

Pagi itu terasa kurang bagi Zania. Dirinya yang seharusnya pergi ke kantor lebih pagi, sengaja menghabiskan waktunya di dalam rumah. Baginya, hatinya adalah penggerak segala area tubuhnya. Terutama otaknya yang selalu bekerja untuk memberikan kejayaan bagi para pegawainya yang berjumlah dua ribu orang itu. Perusahaannya, besar berkat hatinya yang terus bekerja dengan baik.

Zania meletakkan secangkir kopi itu di meja kerjanya. Meja panjang, besar, dan lebar itu. Meja yang selalu menenggelamkan dirinya di tengah pekerjaan yang tidak hanya menguras tenaga dan pikirannya. Melainkan hatinya yang menjadi titik utama pengendali tenaga dan pikirannya. Kedua komponen yang membawanya di titik puncak itu, memang tak jauh dari berbagai warna. Baik itu cat, pensil warna, atau hanya sekedar pensil hitam yang memiliki fungsi masing-masing saat bertatapan dengan rangkaian nomor yang tertera di pensil kayu itu.

Mulai dari pensil hitam sebagai skesta yang hanya memberikan goresan tipis, hingga pensil hitam dengan goresan yang tebal dan hampir sama dengan goresa cryon pentel berwarna hitam. Hanya saja, goresannya lebih terlihat halus. Hal tersebut biasa digunakan untuk teknik arsir.

***

By : google.com

“Miyako, apakah kau menyediakan puding coklat?” tanyanya.

“Mmmmmm, maaf Nona saya tidak menyediakannya. Apakah perlu saya masakan sekarang?” tanya Miyako dengan menundukkan kepalanya.

“Ah, tidak-tidak. Kemarilah. Makanlah denganku, jangan menganggapmu rendah terlalu jauh dariku, Kita sama. Kemarilah. Ambil makanan sesukamu,” ucap Zania santai.

“Baik, Nona. Terimakasih.”

“Ya, sama-sama Miyako. Ah ya, bisakah kau memasakkan aku puding coklat setelah kita makan pagi ini? Aku ingin makanan lembut yang manis,” jelas Zania rinci.

“Apakah Anda mau brownies coklat dengan selai keju dan topping kentang? Saya baru saja mempelajari resep kue Perancis,” jelas Miyako dengan wajahnya yang berbinar.

Benar. Miyako adalah chef yang handal dan proffesional. Ia tidak hanya menguasai makanan berat saja. Tetapi, dessert dan juga drink yang memang sengaja disajikan pada saat makan pagi, siang dan malam. Bahkan, Miyako juga mengetahui bagaimana tata cara makan dari beberapa negara. Seperti Perancis, Indonesia, dan Jepang terutama. Itulah alasan mengapa Zania tidak merasakan kerugian saat bekerjasama dengan Miyako selama beberapa  tahun belakangan ini.

“Boleh. Apakah kau sudah membeli bahan-bahannya?” tanya Zania santai.

“Setelah ini, Nona. Oh iya, apakah Nona hari ini akan ke kantor? Baru saja ada telepon dari perusahaan yang Nona pimpin. Sekretaris Anda mengatakan bahwa ada klien yang bersedia memberikan proyek besar untuk Anda,” jelas Miyako panjang lebar.

Suasana semakin mencair setelah Zania mengijinkan Miyako makan berama di meja makan yang tidak seharusnya untuk Miyako. Biasanya, para majikan selalu memberikan waktu tersendiri untuk makan setelah majikannya makan. Dengan kata lain, menikmati sisa makanan dari majikannya. Tapi bagi Zania tidak, hal tersebut hanya berlaku di dalam film atau novel roman yanga da. Bagi Zania, pekerjaan sejenis Miyako sama derajatnya dengan posisi dirinya sebagai objek yang mempekerjakan.

“Aku ingin di rumah. Tapi nanti, aku akan melefon kembali ke kantor bagaimana perkembangannya. Kantor bisa kusuruh untuk menyetujui proyek itu. Masalah meeting, dan sebagainya, bisa dijadwalkan di lain waktu,” jelas Zania.

“Baiklah kalau begitu, saya akan fokus untuk membuatkan makanan Anda Nona.”

“Baguslah,” jawab Zania singkat dengan menikmati makanan seafood yang merupakan menu baru di rumah tersebut.

Zania adalah salah satu tipe majikan yang suka berganti menu. Karena di matanya, sesuatu yang baru patut untuk dicoba sebagai salah satu pelajaran dirinya. Dan hal tersebut juga merupakan salah satu hobi Miyako sebagai chef di rumnah tersebut. Rumah yang menjadi istina, hanya untuk tuan putri tanpa adanya raja dan ratu serta dayang-dayang lainnya. Hanya seorang chef dan supir sebagai pengantar chef atau dirinya saat hendak berangkat ke kantor apabila Zania semalam hanya tidur kurang dari lima jam.

“Nona, baru saja ada paket untuk Anda,” ucap Miyako di tengah keheningan yang mulai melanda mereka berdua.

“Oh iya?” ucap Zania dengan girang.

“Mana?” tanya Zania saat Miyako belum sempat untuk menjawabnya.

“ Ada di kotak masihan, Nona. Tadi tidak sempat sa…,” ucapnya menghilang perlahan saat ia melihat majikannya beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan sarapan paginya hanya untuk sebuah paket.

Tidak biasanya Zania melewatkan sarapan paginya. Zania, juga merupakan salah satu tipikal orang yang tidak suka apabila diganggu dengan hal-hal yang dapat mengganggu aktifitasnya kala itu. Seperti pekerjaannya, dan juga saat ia makan. Masuk ke dalam ruangan kerjanya sama saja masuk ke dalam neraka dengan sengaja. Karena Zania, memiliki dinding waktu untuk menikmati setiap bagian harinya.

***

“Hmmmmm,” deham Zania dengan menghembuskan nafas beratnya.

“Kenapa, Nona?” tanya satpan rumahnya.

Zania menggelengkan kepalanya seraya tersenyum masam. Kemudian, berjalan meninggalkan satpam yang masih bermuka datar dengan ekspresi Zania setelah menerima paket yang tadinya, membuat ia tersenyum girang saat mengetahui ada paket untuknya.

“Bagaimana, Nona?” tanya Miyako di daun pintu menunggu langkah Zania yang semakin dekat menghampirinya.

Zania menggelengkan kepalanya dengan memberikan senyuman masam. Ia berjalan melewati Miyako dan menghampiri sarapan paginya. Kemudian, ia meminum coklat hangat di pagi hari itu. Tak banyak yang ia teguk. Zania menghiraukan makanan kesukaannya. Ia berjalan meninggalkan meja makan dan berjalan ke arah ruang kerjanya.

Miyako yang menyaksikan muramnya majikannya, hanya bisa menghembuskan nafas beratnya. Majikan yang begitu baik kepadanya, dan majikan yang begitu menyayangi dirinya terlihat begitu menyedihkan dengan posisinya setelah ia harus menanggung cinta yang begitu berat. Cinta yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang perempuan pelaut.

Selama menjalin cinta bersama dengan nahkoda itu, Zania diharuskan menjadi sosok perempuan yang kuat untuk memikul ebban yang begitu berat. Yaitu menahan rindu yang entah akan terbalaskan kapan, dan kemanakah Zania harus membawanya. Ia hanya bisa menjadi rapunzel yang terdiam di dalam sangkah seperti burung yang ingin dibebaskan oleh majikannya.

Dalam goresan pensil, saputan kuas, dan juga campuran warna, Zania membentuk kanvas yang ada di depannya. Tetesan air matanya menjadi saksi betapa sakitnya rindu yang terus mencekamnya bersama dengan waktu. Gerakan telapak tangan, serta jarinya menjadi pekerjaan sebagai titik pemuas dimana ia melukiskan wajah itu. Sosok yang menjadi titik dimana ia selalu menyiksa Zania dalam balutan luka rindu yang ia berikan bersama dengan waktu.

Memang benar, laki-laki itu tidak membiarkan dirinya terdiam bersama dengan rindu hingga Zania membeku di sana. Tapi kesepian itu terus melanda di kalan rindu itu tidak terbayarkan dengan apapun. Bahkan tangisan Zania tidak mampu untuk membeli waktu itu agar waktu dapat mempertemukan dirinya dengan laki-laki itu. Laki-laki yang asik dengan dunia lautnya. Laki-laki yanga sik bermain dengan lumba-lumba di belakang ekor kapalnya. Laki-laki yang tengah bertameng cinta untuk menembus ganasnya ombak lautan, badai samudera, hingga lembutnya pasir yang selalu mengingatkannya akan genggaman tangannya saat ia bersama dengan Zania. Laki-laki itu, Hafied Wahyu Pramono.

***

Deru tangis Zania semakin etrdengar begitu jelas. Miyako yang hendak mengetuk pintu ruangan kerja Zania, mengurungkan niatnya. Miyako memilih untuk memundurkan langkahnya. Membiarkan Zania untuk berusaha melupakan rindu itu agar ia tak lagi menangis dan terus menderu karena sakit akan rindu itu selalu mencekam dirinya, dan menyekapnya dalam rangkaian nostalgia yang pernah ada anatara dia dan dirinya.

Semua itu seperti fatamorgana yang begitu nyata. Karena memang pada dasarnya, kenangan itu nyata dan bukan hanya imaji semata. Hingga dalam setiap lukisannya, ia selalu menyelipkan hand writing sebagai bentuk ucapan hatinya yang terus meronta untuk dibebaskan dari cekaman rindu itu. Setiap kata yang diucapkan oleh hatinya sebagai penggerak air matanya, menjelma menjadi tulisan itu.

Tulisan, yang berhasil menyita perhatian publik. Dan berhasil menjadikan namanya,  Zania Vabrigas menjadi pelukis proffesional dan multitallenta. Dimana ia yang berprofesi sebagai seorang arsitek dapat memiliki jiwa seni yang terwujud dalam setiap tulisannya yang selalu ia realisasikan dalam lukisannya di atas kanvas.

“Dalam dengungan tangisanku, dan dalam deru sakitku, serta dalam cekaman rindu. Untukmu yang selalu menjadi sesuatu untuk kutunggu. Kutitipkan salam cinta yang telah kau bangun menjadi rumah di situ. Di tempat, yang tak seharusnya kalau lampui untuk kau tempati. Ladang es yang sengaja kau sinari dengan panasnya matahari dan lahar gunung yang kau temukan di bawah lautan. Hingga kau hadirkan untuk menghancurkannya, hingga kau mendapatkan posisi indah di sana. Kau bangun ladang bunga mawar merah yang indah, dan begitu merona. Tapi kumohon ingatlah, Raja Lautan. Mawar yang kau tanamkan, tak akan jauh dari duri. Jika kau menyentuhnya tanpa sebuah balasan rindu semabagi pemangkas bunga mawar merah itu, maka jangan salahkan aku sebagai penyedia ladang jika duri itu mengenaimu.”

_Dariku, Ular Jinak Itu_

-TAMAT-

Comments

Tinggalkan Balasan