“Fa, lo mau nggak bantuin gue?” tanya Zania saat ia masih terfokus dengan pekerjaannya di layar komputernya.
Safa masih terdiam dalam kesunyian malam itu. Malam yang menjadi malam terakhir dimana ia akan mengakhiri masa ujian semesternya. Kedua bola mata Safa masih terfokus dengan layar leptopnya dan juga buku-buku yang ada di sekitarnya. Analisis delapan limah puluh buku sebagai bentuk perbandingan. Sungguh pekerjaan yang mengenaskan apabila dibandingkan dengan pekerjaan Zania saat berhadapan dengan project lombanya.
“Fa, lo denger gue, kan?” tanya Zania emmastikan dengan membalikkan badannya dan menatap Safa yang masih ada di posisi yang sama.
“Lo tinggal bilang aja gue harus bantuin apaan, Zan? Lo kayak nggak tahu gue aja, sih?” ucap Saya dengan mengalihkan pandangan matanya saat ia mendengar keraguan Zania.
“Gue mau minta bantuan, ntar anterin gue beli tiket kereta untuk balik ke Jawa Timur. Dan by the way, lo tahus endiri kan kalau gue ke sini nggak bawa motor atau kendaraan lainnya?” nyata Zania.
“Okke, siap. Jam berapa emang. Kita besok batas ngumpulinnya mulai jam satu siang sampai jam tiga sore,” jelas Safa sekaligus mengingatkan bahwa tugasnya masih banyak.
“Gue paham. Tapi masalahnya, tiket yang gue inginkan hanya tinggal delapan kursi. Tadi gue dapet kabar begitu dari bokap gue. Jadi, gue harus beli pagi. Sekitar jam enam pagi,” jelas Zania.
Safa menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia menatap ke arah pojok laptopnya. Melihat jam yang aktif di sana. Pukul empat pagi. Tak terasa, mereka telah menghabiskan malam untuk menggarap semua tugasnya.
“Masih jam empat pagi, juga. Gampang lah, nanti. Yang penting, ini selesai dulu. Oh iya Zan, lo kenapa tiba-tiba majukan tanggal untu balik lebih cepat?” tanya Safa memastikan alasan Zania yang masih simpang siur.
Zania terdiam. Kemudian, ia menatap ke arah Safa, menerawang ke arah yang lainnya, kemudian ia tersenyum. Dari bayangan kedua bola matanya, terlihat ada tarian cinta di sana. Pertemuan, yang selalu ia dambakan.
“Lo kenapa senyum-senyum sendiri? Tumben-tumbenan lo mau merelakan waktu buat pendidikan lo? KRS-an lagi. Lo udah tahu teknisnya?” tanya Safa.
Zania menggelengkan kepalanya. Ia juga tak lupa mengedikkan kedua bahunya. Begitu juga tatapan kedua matanya yang menunjukkan bahwa ia tidak kawatir mengenai itu. Satu pernyataan yang terpat untuknya. Bukan Zania yang biasanya.
Zania vabrigas adalah sosok yang memang pandai dalam menyembunyikan kelemahannya. Tapi tidak dengan kekawatirannya. Entah darimana ia mendapatkan ketenangan ini, hingga ia tidak takut dengan KRS yang siap menghantuinya. Untuk pertama kalinya, Zania Vabrigas, tidak kawatir dengan suatu hal.
“Udah ah, lanjut dulu deh.. gue takut kalau kerjaan kita nggak akan kelar malam ini,” ucap Zania. ‘Bukti bahwa Zania kawatir’
Dalam kesunyian malam itu, mereka bertiga bekerja kembali disamping bergadang. Kecuali Dewanggi. Ia telah terlelap dengan seluruh mimpinya, dan menelantarkan buku-buku yang mungkin belum selesai ia analisis, dan ia buat laporannya.
Hanya denting jam beker yang terdengar. Sampai pada ujungnya, alarm ponsel Dewanggi yang bergetar dan disusul oleh alarm ponsel Safa. Akan tetapi saat semua dimatikan, Dewanggi kembali tidur, dan Safa tetap mengerjakan pekerjaannya.
Pukul lima lebih lima puluh tujuh. Zania beranjak dari tempat duduknya. Kemudian, ia berganti pakaian. Safa yang menyadari hal itu, melihat Zania. Kedua tatapan matanya memerintahkan Safa untuk berganti pakaian dan mengentarkan ia untuk membeli tiket kereta di jam itu.
Sungguh ironis memang. Tak seharusnya Zania menghancurkan elektron-elektron otak seseorang individu dengan mengalihkan perhatiannya. Namun, apa daya saat ada suatu tujuan yang sudah seharusnya ia capai dan tidak mungkin ia hindari. Satu titik pertanyaan, saat ia menatap awan yang tengah menyaksikan langkahnya. Hanya senyuman harap ia membalas tatapan awan.
“Ini gimana cara ngoperasikannya, sih?” tanya Zania saat melihat layar LCD yang bertompang pada di depan rak buah supermarket itu.
“Gue juga nggak tahu. Coba gue tanyakan dulu sama petugasnya. Lo tunggu di sini,” pinta Safa dengan meninggalkan Zania di tempat.
Dengan anggukan kepalanya, Zania menunggu saat dimana sebuah tangan menyentuh beberapa tombol setelah mengucapkan permisi kepadanya. Petugas. Beberapa keterangan telah diberikan hingga Zania mengerti bagaimana cara kerjanya. Loading hingga membuat rasa bosan membuat Zania memutuskan untuk melangkahkan kakinya dari sana. Begitu juga dengan Safa.
Berpindah tempat dengan sedikit proses yang sama, mengeluarkan secarik kertas dengan perintah Zania memberikan uang tagihan di kasir. Namun, nasib yang sama menimpanya. Tiba saatnya dimana ia memutuskan satu keputusan dan berharap kepada Tuhan untuk mendapatan tiket itu di tanggal yang sesuai dengan yang sudah ia tentukan. Ia juga berharap, awan yang tengah menatapnya tadi, dapat menolongnya sebagai salah satu perantara Tuhan selain Safa.
“Yakin di sini bisa, Zan?” tanya Safa ragu.
“Mau nggak mau harus bisa,” ucap Zania mantab seolah ia sudah mengetahui hasilnya.
Keyakinan itu telah membawa langkah mereka untuk masuk ke dalam. Berjalan menuju kasir sebagai teknis yang sama dengan sisa keyakinan yang ada, Zania mengucapkan sepatah kata niatnya untuk memesan tiket. Suara keyboard kasih terdengar dengan jelas. Hingga kasir memintanya untuk melihat nomor KTP dan juga nomor telepon sebagai data dirinya.
“Kereta Sri tanjung, gerbong dua, nomor 4A, atas nama Zania Vabrigas, dengan tujuan stasiun Bangil dan berjalan dari stasiun lempuyangan, benar?” tanya kasir di tengah kediaman Zania yang menunggu dengan rasa cemas.
“Saya beli itu,” ucap Zani spontan saat ia mengetahui maksud kasir itu. Tanpa menunggu perintaj atau sebuah permintaan, Zania emngeluarkan beberapa uang ratusan sesuai dengan perkiraannya.
Kasir itupun memberikan pesanan Zania. Termasuk kembalian sebagaimana teknis jual beli. Sampai di sana, Zania dapat bernafas lega, ia tak mampu untuk menyembunyikan rasa senangnya. Senyumnya merekah dengan seketika dan membuat Safa ikut bahagia. Meskipun ia tidak mengerti bagaimana rasanya, ia turut bahagia karena hal kecil itu. Sebuah hal, yang mustahil ia rasakan di kala itu.
Baginya, Zania Vabrigas bukanlah tipiikal orang yang dapat menyembunyikan sakit dan senangnya hati. Ia hanya bisa menyembunyikan pikirannya. Bukan perasaannya. Baginya, Zania adalah sosok yang membuat dirinya tergerah. Seoang Safa, yang masih tidak mengerti harus bagaimana menyikapi suatu keadaan.
Sebuah hal konyol, saat teringat dimana ia tak dapat mengendalikan pikirannya, hingga membuat dirinya tak dapat mengendalikan dirinya. Membawanya berada di bawah tekanan, meski ia juga terlatih di bawah tekanan itu. Dalam rasa yang sesungguhnya, Safa menemukan secercah cahaya sebagai cermin untuknya.
Zania Vabrigas, dengan segala usahanya, ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Entah mengapa dan sejak kapan Zania memaksakan kehendaknya. Obsesi itu, hanya berlaku untuk pekerjaannya. Tapi tidak saat ini. Obsesi itu, justru meninggalkan pekerjaannya dan entah untuk siapa dan hal apa? Bertanya-tanya dalam diam, Zania dapat bernafas dengan lega. Dari sana, Safa dapat melihat, tangisannya kemarin malam adalah hal konyol dan hal yang paling konyol yang ia lakukan. Cukup sekali saja, menangis sebelum berusaha maksimal.
Dimana ia menangis karena berada di bawah tekanan pekerjaan, dan menggila di tengah waktu yang terus mengikatnya hingga ia tak dapat bernafas dengan semestinya. Hal itu membuat Zania dan Dewanggi yang kualahan karena tangisan itu. Sebuah tangisan yang memang biasa mereka lakukan saat kegagalam menimpa mahasiwa berprestasi seperti mereka.
Karena bagi mereka, terbiasa dengan suasana panggung kemenangan, bukanlah hal yang mudah saat mereka harus menyesuaikan diri saar berada di panggung kekalahan. Tekanan pikiran saat tubuh yang lelah dan pikiran terus memaksa untuk berkerja sebagaimana mestinya, membuat seluruh raganya lelah. Cara satu-satunya untuk mengatasi itu hanya satu. Menangis, meski pada dasar awal dan akhirnya, menangis adalah hal konyol.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.