Untuk dia, yang menjadi candu. Untuk kamu, yang menyadarkan bahwa ini adalah aku. Untuk dia, yang telah bersama udara, kembalilah dengan iringan waktu. Karena aku tahu, kau percaya akan sebuah cinta, karena Takdir-Nya telah mempertemukan kita
-P.N.Z-
Sebelumnya
#CerpenKita #6
REASON | Episode 3
Dentuman lagu mix terus berputar. Menggoyang seluruh pengunjung club yang ada di sana. Lighting lampu club yang berirama dengan tangan DJ semakin membuat riuh ruangan suram itu. Matanya yang sayu hanya bisa menatap semua orang menikmati malamnya dari lantai atas di balik ruangan VIP yang terbuat dari kaca.
Gadis itu terlihat begitu cantik dengan geraian rambutnya yang bergelombang. Tubuh kecilnya yang seksi sangat menonjol di antara teman-temannya. Saat semuanya menikmati aluanan musik dari DJ, ia hanya duduk dan berulang kali meneguk bir yang ada di depannya. Menghabiskan beberapa botol dan hanya diam dengan kepalanya yang terasa pening. Tubuhnya seolah penuh dengan amarah yang tidak mungkin dilampiaskan kepada orang-orang yang tidak bersangkutan.
“Sastra!” panggil seseorang yang berhasil menerebos masuk ke dalam club VIP itu. Club malam yang hanya dihuni oleh para pembisnis kaya.
Sastra tidak menjawab. Ia hanya menatap sayu ke arah orang yang memanggilnya. Diandra, sahabatnya. Tatapan Diandra terlihat begitu menyeramkan. Tapi, hal itu berhasil membuat Sastra tersenyum kecut.
“Ngapain lo ke sini, huh?” tanya Sastra yang sudah mabuk. Saat Sastra hendak meminum alkohol lagi, Diandra langsung mengambil gelas di tangannya.
Sastra menghelas napas panjang.
“Berdiri nggak!” bentak Diandra yang langsung menarik lengan Sastra agar temannya itu mau berdiri dan meninggalkan tempat itu.
“Apaan sih? Gue mau di sini. Lagian lo ngapain sih ada di sini? Rumah sakit nggak cukup nyaman apa buat lo? Ganggu aja,” balas Sastra di tengah dentuman lagu DJ yang terus berputar. Diandra hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya menyerah.
Bagaimana tidak? Sastra bukanlah orang yang suka mabuk meskipun sedang menghadapai masalah yang sangat seirus. Ia justru akan melampiaskan semuanya dengan berolahraga.
Diandra lalu memutuskan untuk menelepon kekasih Sastra. Bukan kekasih, lebih tepatnya seseorang yang sedang dekat dengan Sastra
“Mati? Apa dia lagi jaga?” gumam Diandra yang mencoba menelpon laki-laki itu lagi. Tapi hasilnya nihil.
Diandra akhirnya memutuskan untuk membopong Sastra yang tertidur di sofa dan mengantarnya pulang.
Mereka berdua sudah bersahabat sejak kuliah. Sastra lahir di keluarga yang bergelut di bidang bisnis, sedangkan Diandra lahir di keluarga yang bergelut di bidang kesehatan. Latar belakang mereka memang saling bertolak belakang, tapi keduanya sama-sama mahasiwi yang paling menonjol di jurusan masing-masing.
Selain kecantikan dan kemampuan yang mereka miliki, Sastra dan Diandra juga memiliki sifat yang sama. Judes, sinis, dan cuek dengan lingkungan sekitarnya. Bagi mereka berdua, kemenangan adalah satu-satunya yang patut dipikirkan. Di sanalah kedekatan mereka bermula.
“Lo nyusahin banget, sih,” desah Diandra kesal saat punggungnya terasa nyeri karena harus membopong Sastra naik ke apartemennya.
Diandra menatap sahabatnya. Terlihat betapa keruhnya wajah Sastra. Sejenak, Diandra berpikir jika Sastra sedang mendapatkan tekanan dari kedua orang tuanya yang mengharuskan dirinya untuk menuruti semua kemauan mereka. Sebenarnya, Diandra juga memiliki posisi yang sama. Tapi, alkohol bukan solusinya. Baginya, alkohol cukup menjadi pembersih tangannya sebagai antiseptic, bukan sebagai pembersih pikiran dengan cara mabuk seperti ini.
“Halo, Ma. Ini Diandra. Malam ini Diandra nggak pulang, ya. Mau tidur di apartemen Sastra karena dekat dengan Rumah sakit. Sastra butuh temen, nih. Kasihan kalau ditinggal sendirian.”
***
“Lo, ngapain di sini, Ndra?” Sastra kaget saat menyadari kehadiran Diandra di dapur apartemennya.
“Nih, minum. Jangan bilang lo nggak ngantor cuma gara-gara habis dugem semalem,” oceh Diandra seraya menyodorkan cokelat panas kepada Sastra.
“Makasih.”
“Ada masalah lagi?” tanya Diandra.
Sastra mengangguk. “Bukan karena orang tua gue, kok. Gua udah biasa dengan tekanan mereka.”
“Brian?”
Sastra menatap Diandra sebentar, lalu mengangguk pelan.
“Sampai kapan lo akan nyiksa diri lo sendiri hanya untuk mempertahankan harga diri lo. Cinta nggak butuh harga diri, Sastra. Cinta butuh tindakan,” tukas Diandra.
“Lo pikir cinta kayak saham apa?” balas Sastra sambil memakan apel yang sudah dipotong Diandra.
Diandra menghela napas panjang. Ia tidak tahu lagi bagaimana carannya untuk menasehati Sastra. Tiang keteguhannya terlalu teguh jika berhubungan dengan hal-hal yang sudah menyakitinya.
“Oh ya, sejak kapan jadi Dokter anak, Ndra? Sampai bisa ngiris apel jadi bentuk kelinci begini,” ucap Sastra memperhatikan potongan apel yang baru saja dimakannya
“Sejak gue stres mikirin lo, bego,” timpal Diandra kesal seraya melemparkan bantal yang ia pegang.
“Hei, ini tempat gue.” Sastra tertawa kecil.
Tentu saja tawa yang hambar. Separuh dirinya terasa hilang. Sastra berusaha menghibur dirinya sendiri. Ia tidak habis pikir kenapa semalam dirinya memilih dugem hanya karena laki-laki itu. Ia tidak tahu apakah yang dirasakannya adalah cinta atau bukan. Yang jelas kepercayaannya yang hancur telah mengatakan bahwa itu adalah sebuah penghianatan.
“Nih makan,” suruh Diandra yang sudah menyiapkan mi instan yang baru saja dimasaknya di atas meja.
“Semalem lo nggak tidur cuma nyiapin semua ini?” komentar Sastra setengah tak percaya dengan apa yang dilakukan sahabatnya itu.
“Ya nggaklah. Gue tidur, kok. Tumben lo bawel banget kayak nenek-nenek,” balas Dandra sewot.
“Soalnya lo nggak biasanya sih perhatian sama gue kayak gini.”
“Karena gue udah baik sama lo, maka lo harus ndampingin gue di pernikahan gue sama Dirga.”
“What? Lo jadi nikah sama Dirga? Mantap. Bakalan jadi ibu abdi negara, nih,” sahut Sastra jahil.
Diandra hanya tersenyum simpul. Matanya tampak berbinar saat otaknya memikirkan calon suaminya. Dirgantara Alfa Pradila. Seorang laki-laki yang bertugas menjaga keselamatan negaranya.
Diandra memperhatikan Sastra lalu menghela napas. Ia tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu. “Sas, nggak ada cinta yang nggak sakit. Kalau lo berani main sama cinta, lo harus berani terima resikonya. Gue tahu kalau dia bukan cowok pertama lo. Tapi gue tahu kalau apa yang lo rasain ke dia berbeda dengan yang lo rasain ke cowok-cowok lo sebelumnya. Kalau lo berpikir semua cowok itu brengsek, lo salah, Sas. Cowok itu hanya butuh dipahami. Beda dengan cewek yang perlu dimengerti. Hati mereka bahkan bisa lebih hangat dari kita duga. Gue rasa lo harus lebih mencari tahu lagi tentang Brian. Nggak selamanya apa yang lo lihat dan lo dengar itu benar, Sas. Nggak ada asap kalau nggak ada api.”
Sastra hanya terdiam. Ia merasa semakin frustasi jika harus membenarkan masalah cintanya. Sastra memang sudah beberapa kali berkencan. Tapi, hanya Brian yang berhasil membuatnya merasa frustasi dengan semua kenyamannya. Brian Vasine Pramana. Laki-laki yang berhasil menyita seluruh perhatian dan hatinya.
Memakan mi buatan Diandra membuat Sastra sedikit merasa lebih baik lagi. Mi yang mengingatkan betapa gilanya mereka berdua dulu yang harus menuruti semua kemauan orang tua masing-masing. Mulai dari harus selalu mendapat nilai sempurna, memenangkan berbagai kompetisi, hingga dapat bekerja dengan baik di luar perusahaan milik orang tua mereka.
Keduanya memang harus menjalani hidup yang penuh dengan tekanan. Tapi, tekanan itu berhasil membuat Sastra dan Diandra menjadi perempuan yang kuat dan meraih apa yang mereka inginkan. Sama halnya dengan cinta. Cinta bukannya tidak memiliki tekanan, hanya tekanan itu tak terlihat. Namun hal itu bisa berdampak pada orang yang merasakan tekanan dengan cara masing-masing untuk menyelesaikannya. Itulah cinta.
***
#Cerpen P.N.Z. | |
#CerpenKita #6 TERPENDAM | Episode 1 ASK ABOUT IT | Episode 2 REASON | Episode 3 | |
#CerpenKita #7 DEFENSE | Episode 1 KALAP | Episode 2 BEAUTY NIGHT | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.