Mentari pagi menembus lipatan jendela itu. Di bawah pendaran lampu kerjanya, tetesan keringat terus keluar dari dalam lapisan epidermis kulitnya. Kerutan di tengah dahi yang menghubungkan kedua aslinya menunjukkan betapa keras ia berpikir di depan lembaran kertas. Bola matanya terus menyapu kata dan angka di hadapannya.
“Permisi,” ucap seseorang dengan sopan.
Ketukan pintu berulang kali tidak berhasil membuyarkan konsetrasinya. Orang itu pun akhirnya berjalan masuk.
Felly Anggi Wiraatmaja. Sebuah nama yang mampu membuat siapapun bergidik ngeri saat berhadapan dengannya. Bagi mereka, menghadapi Felly secara langsung sama halnya dengan bunuh diri.
“Kamu tidak perlu menyentuhku sebelum aku menyentuhmu,” ucap Felly dingin saat pegawainya hendak menyentuh bahunya.
“I-i-i-iya, Bu,” ucap sang pegawai gagap.
Seketika keringat dingin pegawai itu bercucuran. Napasnya terus berderu seirama dengan kedua tangannya yang gemetar. Sekarang masih pukul empat pagi, tapi ia sudah harus berada di kantor hanya untuk mengantarkan berkas yang dibutuhkan Felly. Tapi, saat uang mengalir dengan lancar untuk membeli waktu para pegawai, tidak mungkin Felly mau mengambil kerugian di sana.
Sangat keras memang. Akan tetapi, itulah Felly. Baginya, kemenangan adalah hal yang mutlak. Ambisi adalah kunci keberhasilannya. Felly sering menghabiskan sisa malamnya di dalam ruangan kerjanya. Hanya untuk mengendalikan seluruh aset perusahaan yang ia pegang. Baginya, kemewahan yang tengah dinikmatinya tidak akan pernah ada jika ia sering tidur di malam hari.
“Kembalikan seluruh dana ini kepada pemiliknya, percepatlah proses pembelian hewan kurban dalam jumlah yang sudah tertera di sana. Setelah itu, panggillah koki dan masak hasil kurban dengan masakan Itali. Sumbangkan kepada fakir miskin dan selesaikan semua itu dalam satu hari,” titah Felly.
Pegawai itu hanya mengangguk. Jantungnya seketika kembali bergemuruh hebat. Bahkan lebih hebat daripada sebelumnya. Terutama saat matanya tak sengaja bertemu dengan mata itu. Mata yang lebih tajam daripada Felly. Ia merasa sedang berada di antara dua binatang buas.
“Arka,” Felly menegerutkan kening saat melihat kehadiran laki-laki itu.
“Apakah kamu ingin menjadi makananku?” Arka menatap pegawai itu, tanda bahwa ia merasa terganggu dengan kehadirannya
Kaki pegawai itu terasa begitu kaku untuk meninggalkan ruangan yang dingin itu. Bagaimana bisa pasangan ini begitu menakutkan? Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan dengan sifat yang seperti itu? Takdir memang tahu apa yang harus dilakukan.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Felly dingin.
“Seharusnya aku yang menanyakan hal itu. Bukan kamu,” balas Arka sinis.
“Aku mau berhenti, Arka,” sahut Felly datar.
“Apa kamu bilang?” decah Arka kesal.
Tanpa memberikan aba-aba, Arka menarik pinggang Felly dengan kasar. Memegang tengkuk gadis itu dengan telapak tangan lebarnya, merasakan rasa sakit saat jemari lentik yang selama ini menjadi jari yang selalu ia tautkan di sela-sela genggamannya telah menampar salah satu sisi wajahnya dengan keras. Arka menggerakkan lidahnya untuk menguatkan pipinya.
“Apa kamu pikir aku murahan? Apa kamu pikir aku mencintaimu karena uang yang sudah kau berikan kepada perusahaanku? Apa kamu pikir aku tidak bisa berdiri dengan kakiku sendiri? Apa kamu pikir cinta yang aku berikan untukmu semata-mata hanya untuk uang? Jawab, Arka!” bentak Felly meluapkan seluruh amarah yang selama ini terpendam di dalam dirinya.
Arka terdiam. Ia memandang Felly dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
“Kamu jahat, Ka! Aku benci kamu!” bentak Felly seraya meninggalkan ruangannya.
“Kamu lebih jahat daripada aku, Felly!” balas Arka dingin.
Ucapan itu membuat Felly menghentikan langkahnya. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat punggung laki-laki itu. Punggung yang terlihat begitu rapuh, hancur, dan tak sanggup untuk menyangga seluruh sakit yang ia rasakan. Arkana Aditya. Ia masih bisa merasakan sakit di tengah kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya.
“Kamu tidak pernah bisa mengerti apa yang aku inginkan,” ucap Arka sendu.
“Bukan aku, Arka. Tapi kamu! Kamu tidak pernah mau mengerti apa yang aku inginkan. Aku capek, Ka! Aku capek menjadi kekasihmu. Aku capek dengan status itu!”
“Lalu status apa yang kamu mau? Menikah? Pernikahan model apa yang kamu inginkan. Kamu pernah bilang kalau mau menikah setelah kamu memperluas pasar, meningkatkan nilai saham, nilai jual, keuntungan, dan memperbesar wilayah perusahaan? Aku membantu kamu karena aku ingin mempercepat kesuksesan yang kamu inginkan. Sampai kapan aku harus menunggu, Felly? Sampai aku menua? Atau sampai aku tidak sempat merasakan pernikahan dengan gadis yang aku inginkan dan kembali ke alam kubur dengan rasa penyesalan yang begitu dalam? Aku juga ingin status lebih dari kekasih, Fel. Aku mengorbankan semua yang aku miliki untuk kamu. Aku mengorbankan apa yang aku miliki untuk cintaku. Aku tidak peduli berapa banyak materi yang aku habiskan untuk kamu! Bagiku, memiliki kamu itu tidak bisa diukur dengan apapun.” Arka menelan ludahnya kasar setelah mengeluarkan semua yang mengganjal di kepalanya.
“Dan dana itu memang aku serahkan ke kamu untuk membeli hewan kurban. Bukankah itu juga salah satu cita-cita kamu. Menggunakan sebagian dari hartamu untuk mereka yang membutuhkan. Aku ingin menikah dengan kamu, Fel. Tapi kamu tidak pernah menyadari semua itu. Aku tulus mengorbankan apa yang aku miliki,” pungkas Arka lagi.
Seketika tubuh Felly jatuh terduduk di atas sofa. Air matanya seketika mengalir begitu deras. Ia tak sanggup mengucapkan apapun. Ia juga tak sanggup menatap kedua bola mata Arka. Laki-laki yang telah berkorban banyak untuknya. Laki-laki yang sangat mencintainya. laki-laki yang rela melakukan apapun untuknya. Tapi ia hanya bisa membalasnya dengan keburukan yang ada di dalam dirinya.
Felly menangkupkan kedua telapak tangannya di depan wajah. Arka pun berjalan mendekati Felly, lalu berjonkok di depannya. Meraih kedua telapak tangan yang tengah menutupi wajahnya, kemudian meraih dagu Felly untuk menatap matanya.
Arka lalu mendekap Felly lembut, membiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya. Arka bukanlah laki-laki yang sempurna. Tapi karena ketulusan cintanya dengan segala pengorbanan yang telah dilakukannya, Arka menjadi laki-laki yang sempurna di mata Felly.
Cinta itu unik. Cinta itu juga berbeda. Perbedaan bukanlah hal yang menghambat sesuatu. Tapi perbedaan adalah hal unik yang pantas untuk disatukan. Membentuk hal baru dengan ketulusan yang ada di dalamnya. Cinta memang butuh pengorbanan. Dengan pengorbanan cinta menjadi setulus apa adanya. Satu titik ukur dari Tuhan di mana cinta yang menjadi angerah-Nya adalah cinta yang tulus dan penuh dengan pengorbanan di dalamnya.
***
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.