Mencintaimu, tidaklah mudah. Semudah aku, menorehkan warna cat untuk menghias design karyaku. Mencintaimu, mengharuskan aku mencari. Menanyakan kepada diri. Apakah iya? Keyakinan itu terus membuncah bersama gelombang lautan. Tak jauh dari dahsyatnya samudera, hingga membentuk cerita cinta. Dunia bawah lautan menjadi saksi, dimana aku menyadari, bahwa mencintaimu mengharuskan aku menggerus tangis dengan seluruh sanubari. Dan kemudian, aku berkata dengan segenap keyakinan hati. Ya!!! Aku mencintaimu. Lelaki, yang tengah bersama dengan ombak lautan, dan berumah samudera.
-P.N.Z–
Suara itu tidaklah asing baginya. Suara itu, menjadi melodi indah untuknya. Cipratan warna-warna yang merusak kulit putihnya, atau gradasi warna pekat dan muda menjadi hal biasa untuknya. Hingga glitter, dan rangkaian pallet serta meja kotor yang sengaja ia rusak dengan rangkaian warnanya.
Totalitas. Hanya itu yang ada dalam pikirannya saat ia menghabiskan waktu di sana. Dalam ruangan yang menjadi tempat pengabdinya. Ruangan itu yang memperkenalkannya. Dia, gadis dengan bola matanya yang bergradasi. Cokelat. Indah. Tentu saja, karena ia lahir dengan lebih dari dua darah. Mata itu sempurna dengan kelopak mata yang terbingkai bulu tebal di sana.
Jari mungilnya, tak pernah berhenti membiaskan warna sebagaimana cahaya membiaskan air hingga membentuk pelangi setelah hujan tiba. Gadis itu tersenyum. Ia puas dengan pekerjaannya, setelah ia menguras otaknya dan menuangkan seluruh ide sekaligus kemampuannya di atas bidang datar. Semua itu, hanya untuk diwujudkan ke dalam bidang tiga dimensi.
Namanya mengangkasa. Melambung tinggi bersama dengan karya. Namanya, ada hingga ke arah manca negara. Dia, designer properti termuda dalam angkatannya. Dia, gadis itu yang tengah berdiri dengan seluruh senyuman puasnya. Zania Vabrigas.
“Hai,” sapanya ringan di kala ia mendengar deringan ponsel dari arah meja kerjanya.
Senyuman demi senyuman, kembali terhias dengan indah di raut wajah itu. Bibir mungilnya, memperlihatkan tumpukan gigi taringnya, sekaligus lesung pipitnya. Ia tidak memperdulikan cermin yang tengah ada di depannya. Yang tengah memperlihatkan betapa kotornya baju putih itu.
“Hai,” balasnya seraya berjalan ke arah sofa yang sengaja ia ciptakan sendiri dan tidak ia jual meskipun dollar mengejarnya dengan jumlah yang tidak kecil.
“Sibuk kah?” tanya suara itu. Terdengar bahagia. Tapi memilukan.
“Tidak. Karena aku sengaja meniadakan kesibukanku di saat seperti ini. Bagaimana Polandia. Abang suka?” tanya Zania dengan memainkan benih baju monyetnya.
“Dingin. Karena salju turun di sini. Aku menghentikan kapalku, dan mendapatkan cuti kerja karena cuaca yang tidak mendukung. Tapi, tetap saja aku harus membuat beberapa laporan seperti membuat cerita novel. Haruskah aku berganti profesiku?” candanya.
“Bang Hafied,” panggilnya. Gadis itu. Zania.
Hafied terdiam. Di balik jarak yang mengekang mereka, ia menahan sesuatu yang terus membuncah dalam dadanya. Menohok keluar dan memuntahkan segalanya. Nada itu, melemahkannya. Mengalahkan dahsyatnya ombak lautan, yang tak pernah damai dengannya. Nada itu, membuatnya pilu. Karena ia tahu, nada itu adalah rindu.
“Abang akan pulang. Zania jangan nakal, ya?” ucapnya lembut. Ah.. tidak. Ucapnya begitu tercekat. Cekatan di dalam salivanya, menunjukkan betapa ia tersakiti dengan rindu itu.
“Hmmmm. Baik-baik di sana.”
“Pasti,” ucap Hafied tegas.
Ketegasan itu, membuatnya dadanya berdesir. Berkecimung banyak rasa, yang entah apa namanya, dan bagaimanakah cara mengendalikannya? Pertanyaan itu terus menggoda. Hingga berada pada titik akhir yang sama. Yang tak sanggung terucap dengan kata. Dan, hanya nafas yang saling menderu bergantian dengan arah yang sama.
Zania mengakhiri panggilan itu. kedua bola mata cokelatnya, menatap kaca bening dan menembus pandangannya. Terlihat dengan jelas, gunung merapi, yang dikeliling rangkaian warna hijau, dan gradasi lampu kala itu. Dimana senja, enggan untuk pergi, dan Zania menyuruhnya untuk menunggu karena ia hendak pergi.
Mengakhiri masa itu, menjadi titik dimana ia tak mampu bertahan. Pelupuk matanya memuntahkan aliran itu. Aliran yang entah terbentuk dari mana, dan bagaimana caranya? Aliran itu sempurna. Arahnya turun ke bawah. Aliran itu memiliki arwah, saat hatinya, di sana, berdesir begitu hebat mempertahankan ketetapan.
Hatinyapun bergumam,“Kamu jahat, Bang. Kamu mengambil apa yang selama ini aku pertahankan dalam tempat, yang tidak seharusnya kamu sentuh. Kamu jahat, karena kamu merampasnya dengan paksa, hingga aku tersiksa. Hanya karena satu, kata. Cinta.”
Kelopak mata itu, terpejam untuk waktu yang lama. Tekanan aliran air yang entah mengapa, menjadi teguran sapa. Bayangan itu kabur. Berlarian ke sana kemari, hingga ditelan hati yang tengah terusik dengan bunyi. Familiar. Sangat familiar. Panggilan itu. Kembali.
“Abang udah makan?” tanya Zania menunda ucapan Hafied.
“Haruskah Abang kembali ke Indonesia hanya untuk merasakan betapa Abang menginginkan untuk makan bersama dengan kamu?” tanya Hafied menjawab.
Zania mengusap air matanya. Suaranya yang tercekat bersama dengan salivanya yang seketika berhenti bekerja, memaksa Zania untuk tetap menjadi sosok yang sama. Bukan Zania yang hanya lemah dengan suatu hal, dan itu hanya karena cinta. Cinta. Kata itu begitu menyiksa batin dan raga.
“Cinta, keparat kau!” kutuknya dalam hati mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa menjadi sosok Zania yang selalu ia inginkan di kala-kala seperti ini.
Cerita pendek menjadikan Zania mengingat siapa dia yang dulu. Yang hanya gila karena waktu kerja. Yang sekarat hanya karena ingin berada di waktu lega. Tapi tidak untuk saat ini. Saat ia mengenal laki-laki itu. Laki-laki yang entah mengapa, telah membuatnya jatuh cinta. Cinta itu berat. Dan mau tidak mau, Zania harus menanggung resiko itu.
“Zania, berdirilah dengan tegak. Melangkahlah dengan cinta kita. Jangan kamu beratkan posisi kita. Karena meski aku menyuruhmu untuk tak menanggungnya, cinta akan berpihak kepada posisi yang ada sebagai takdir Yang Maha Kuasa. Dengarlah, Abang.”
“Zania akan mencoba, Bang. Maafin Zania kalau Zania cengeng hanya karena rasa yang ada,” jelasnya singkat.
Hafied terkekeh. Kekehan itu seolah ia ingin meringankan Zania. Tapi tidak. Kekehan itu justru membuat Zania lemah, hingga ia memutuskan sambungan itu, dan hanya menerima pinta yang menjadi kasa untuk dirinya.
Pinta itu sudah cukup membuat Zania kembali memuntahkan air matanya yang tak sanggup ia tanggung dalam bendungan pelupuk matanya. Kelopak matanya menggoda untuk memejamkan kedua bola matanya. Merasakan tiupan angin yang menyerobot masuk dari jendela itu.
Seolah, laki-laki itu mengutus udara untuk menyampaikan rasanya. Rasa, yang entah dari mana asalnya, dan bagaimana bentuknya. Semu. Tentu saja tidak karena semua itu jelas dalam ikatan. Abstrak. Tentu saja tidak, karena rasa itu terwujud dengan sikap yang ada. Hanya titik ujung yang ada. Mengembalikan kepada Yang Punya. Dan, menjalani dengan segenap rasa bukan sebagai sisa. Tapi, sebagai anugerah.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.