BIARKAN AKU MENIKMATI MIMPI

Syukur aku berikan kepada Tuhan atas apa yang tengah diberikan. Kehidupan dalam hiruk, pikuk dunia, menjela menjadi sebuah rasa dan karsa bahagia. Entah bagaimana dan seperti apa, inilah nyatanya. Rasa yang terus membuncah dan menggmuruh di tengah badai bahagia atas kebersamaan yang ada. Bagian dari cerita kehidupan mengajarkan kau, aku, dan kalian sebuah perbedaan, kemudian menyatukan, dan sadar bahwa taka da lagi yang demikian kecuali rasa cinta itu. Dan ketauhilah, bahwa cinta adalag bagian dari pesanku. Dan ketahuilah serta ingat dengan baik, bahwa inilah, pesanku, Ini dariku…

-P.N.Z-

Tanpa pernah aku bayangkan sebelumnya bahkan tak pernah kuduga, tiba-tiba aku memiliki mimpi. Dalam mimpi aku bisa menghadirkan apa saja yang tak pernah bisa kuhadirkan dan aku bisa menyisihkan hal apa saja yang tak aku sukai, aku juga bisa membangkitkan apa yang aku mau. Aku menceritakan kepada Ayah kalau aku memiliki mimpi.

“Ah, kamu ini ngarang saja! Tidak usah bermimpi, kita hanya orang miskin,” ujar Ayah setengah berteriak.

Meskipun Ayahku selalu berkata kalau aku hanya mengarang saja, aku tidak keberatan dengan itu, sungguh ini adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada orang semacam diriku. Kehidupan nyata yang aku alami sama seperti berada dalam sungai berair keruh yang hampir berwarna hitam dengan ribuan tumpukan sampah yang mengambang di permukaannya. Tak perlulah kau bayangkan betapa kumuh dan sesak tempat tinggalku. Aku juga sudah terbiasa hidup di antara debu jalanan, di antara gedung pencakar langit, dan di antara ketamakan manusia zaman sekarang.

Setiap malam tiba, aku selalu mengirimkan doa pada Tuhan, bersimbah air mata dihadapan-Nya. Tapi selama lima belas tahun aku berdoa, Tuhan belum menjawab dan mengabulkan doaku yang selalu sama setiap malamnya. Aku hanya meminta mimpi kecilku menjadi nyata.

Pagi hari matahari menampakan dirinya dengan penuh rasa ikhlas walaupun hanya beberapa jam matahari istirahat digantikan oleh bulan. Rumput-rumput yang basah terkena embun masih terlihat malas mengangkat tubuhnya. Namun tidak dengan aku. Kembali tidur memang jauh lebih menggoda, tetapi pekerjaanku lebih menggoda dari pada itu. Aku selalu berpikir, pekerjaanku nantinya yang akan mewujudkan mimpiku.

Sudah lima belas tahun aku hanya hidup bersama Ayahku, sejak kecil aku sudah tidak tahu di mana ibuku.

“Ayah, apa aku punya ibu?”

“Tentu saja punya, tapi Ayah tidak bisa memberitahumu sekarang, ada waktunya nanti kamu tahu sendiri, Nak,” ujar Ayah dengan nada sedikit lesu karena baru saja pulang bekerja.

Lima belas tahun aku bermimpi, aku selalu bersemangat menceritakan mimipiku kepada Ayah meskipun hanya terbalas diam dari Ayah. Aku tahu Ayah tidak akan percaya dengan mimpiku karena menurut Ayah, mimpiku hanyalah suatu hal konyol yang dipikirkan oleh anak dengan banyak kekurangan sepertiku.

Mimpiku sebenarnya sederhana saja. Aku tidak bermimpi mempunyai rumah, mobil mewah, dan hidup bergelimang harta. Aku selalu mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan kepadaku sampai sekarang ini, aku tidak pernah merasa iri dengan mereka yang dapat tertawa tanpa beban, begini pun aku juga masih bisa tertawa dengan mimpiku.

Tetapi aku tetaplah anak yang terkadang merasa iri dengan mereka yang dapat merasakan bangku sekolah, pendidikan yang langsung disampaikan oleh guru. Selama ini Ayah adalah guruku, Ayah memberiku pendidikan tentang kehidupan nyata sehari-hari bukan tentang pelajaran pada umumnya. Bertanya kepada Ayah tentang bangku sekolah membutuhkan keberanian, sebenarnya Ayah bukan pribadi yang mudah marah, tetapi entah mengapa hatiku selalu bergetar hebat ketika akan menanyakan hal itu. Aku selalu merasa dilema harus bertanya atau tidak, di sisi lain pertanyaan itu selalu menghantui pikiranku kalau aku tidak segera menanyakan kepada ayah. Ini sangat berat, aku tidak bisa menyimpan pertanyaan itu sendiri, aku harus bertanya kepada Ayah, entah bagaimana nanti Ayah menjawabnya. Kalau pun nanti Ayah marah, aku siap untuk mendengarkan, aku siap bertanggung jawab atas pertanyaanku .

Ketika Ayah sudah pulang bekerja, aku tunggu Ayah agar istirahat terlebih dahulu baru selepas itu, aku beranikan diri bertanya kepada Ayah.

“Ayah apa orang miskin sepertiku tidak boleh sekolah? Apa aku hanya boleh berhadapan dengan sampah-sampah setiap harinya?” tanyaku.

Ayah terdiam cukup lama, andai waktu bisa terulang kembali aku akan menarik pertanyaan yang ku tunjukkan kepada Ayah. Sesekali dalam diamnya kuberanikan diri untuk menatap wajah lesunya, aku meyakinkan diri kalau Ayah tidak akan marah padaku. Ayah masih saja terdiam, mungkinkah Ayah tidak akan menjawab pertanyaanku? Lagi-lagi aku berpikir untuk kembali bertanya, kali ini aku ingin menanyakan diamnya ayah, bukan lagi tentang bangku sekolah itu.

“Apakah Ayah marah gara-gara pertanyaanku? Atau Ayah sudah lelah mendengar pertanyaan ini?”

Kurasa memang ayah tidak akan menjawab pertanyaanku, sudah cukup aku lama menuggu jawaban, tetapi Ayah masih tetap diam. Aku tidak akan memaksa Ayah untuk menjawab pertanyaanku sekarang. Dan aku memilih meninggalkan Ayah sendiri, mungkin dengan begitu Ayah akan merasa lebih baik.

Matahari kembali menyapa, artinya aku dan ayah harus kembali bekerja. Sebelum bekerja biasanya aku dan Ayah duduk bersama dalam hangatnya cengkraman sinar matahari pagi, meskipun hanya bertemankan minum segelas air putih.

Aku dan Ayah memang sama-sama bekerja, tetapi arahku dan Ayah tidaklah sama, Ayah sudah pernah bilang padaku kalau ingin bekerja ikut saja dengan Ayah dulu, jangan bekerja sendiri. Ayah takut kalau saja ada hal yang tidak diinginkan menimpaku, Ayah selalu mengajakku untuk bekerja bersama Ayah, tetapi aku selalu menolak. Alasanku menolak sederhana saja, aku hanya ingin merasakan apa yang ayah rasakan, kalau akau bekerja bersama Ayah pasti Ayahlah yang lebih merasakan lelah, walaupun memang setiap harinya memang melelahkan tetapi setidaknya aku juga merasakan lelah yang Ayah rasakan.

Akhirnya aku pamit kepada Ayah untuk berangkat bekerja terlebih dahulu, aku lihat Ayah masih bersiap-siap. Tak lupa aku awali hari ku dengan berdoa, setiap orang kaya atau miskin pasti akan melakukan hal yang sama sepertiku sebelum melakukan sesuatu. Berjalan jauh sudah biasa bagiku, sesekali inginku ucapkan kepada kakiku yang hebat ini karena tidak pernah ku dengarkan dia bercerita tentang lelahnya. Di tengah perjalana tiba-tiba datang sesorang laki-laki yang mengendarai mobil mewah, Ia meminggirkan mobilnya lalu keluar. Aku tidak mengenalnya tetapi seorang itu langsung menanyakan siapa aku ini dan salah satu pertanyaannya mengapa diumurku yang masih muda ini memilih untuk bekerja, bukan sekolah.

Aku bercerita banyak tentang bagaimana keluargaku, kusampaikan kepada seseorang itu kalau aku lahir bukan dari orang yang terpenuhi segala kebutuhannya dan aku juga bercerita kepada sesorang itu kalau sekolah hanya sebuah mimpi. Aku sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk bekerja membantu Ayah, bukan untuk bersekolah.

Tiba-tiba dia memberiku minum dan makanan, aku berpura-pura untuk tidak haus dan lapar, tetapi dia memaksaku untuk menerima pemeberiannya.

“Tuan, makanlah bersamaku jika kau haus minumlah juga bersamaku. Ini sudah milikku kau tak perlu berpikiran kalau kau meminta apa yang sudah kau berikan padaku,” Kataku penuh semangat ingin berbagi

“Kamu ini sudah hidup susah, tapi mengapa kamu masih ingin berbagi denganku lagi?” tanyanya.

“Tuan, saya memang orang susah, tetapi saya juga tidak ingin melihat orang lain merasakan sama seperti apa yang saya rasakan, walaupun saya tahu, Tuan adalah orang yang mampu,”

Seseorang itu sudah tidak membahas apa yang sudah aku lakukan tadi, Ia juga tidak menerima tawaranku. Roti dan minuman yang diberikan kepadaku memang belum aku buka, karena ingin ku makan bersama dengan Ayah.

“Kamu mau tidak mewujudkan mimpimu, bersekolah?”

Seketika jantungku seperti berhenti berdetak, aku sangat kaget orang yang tidak pernahku kenal sebelumnya memberiku tawaran untuk bersekolah dan mewujudkan mimpiku.

“Tuan tidak salah memberiku kesempatan besekolah?” Tanyaku dengan sangat senang.

“Aku tidak salah memberimu kesempatan, tapi kesempatan itu tidak bisa kamu dapatkan begitu saja, ada syarat yang harus kamu lakukan. Tidak usah bertele-tele, akan ku beritahu syaratnya tanpa kau yang bertanya terlebih dahulu. Syaratnya tidak berat dan mudah, kau tetap bekerja juga tetap bisa bersekolah, pekerjaanya pun tidak berat seperti pekerjaanmu sekarang ini, kamu akan bekerja sebagai pengantar sebuah barang, nanti ketika kamu medapat bayarannya akan kita bagi menjadi dua, urusan sekolah biar aku saja, bagaimana?”

By : GRAS GRÜN

Aku sangat bingung barang apa yang Tuan maksud ini. Tidak lama kemudian seseorang itu mengeluarkan barang dan menunujukkan kepadaku. Barang itulah yang harus aku antar. Setelah meminta untuk memeriksa barang itu, aku kaget bukan main.

“Tuan, aku memang tidak berpendidikan, aku juga tidak memiliki ilmu yang tinggi, tapi aku tahu itu adalah barang yang sangat merusak manusia, dengan tegas aku menolak,” kataku dengan nada tinggi dan bergegas pergi meninggalkan orang itu sendiri.

Dalam perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya berpikir tentang peristiwa tadi. Tuhan, apa memang harus seperti ini nasibku? Selalu dianggap rendah dan dipekerjakan dengan pekerjaan yang sangat rendah dihadapan-Mu? Aku tahu Kau tidak akan menegurku seketika dan menghancurkanku seketika, tetapi aku tahu Tuhan, Kau akan menegurku dengan perlahan dan aku juga akan hancur dengan perlahan. Terima kasih Tuhan, Kau masih memberikanku kesempatan untuk melakukan hal yang lebih baik walaupun mungkin aku tidak bisa mewujudkan mimpiku, mungkin dibalik ini Kau memberiku waktu untuk berbakti kepada orang tuaku. Tuhan, biarkan aku tetap merasakan dan tetap bisa menikmati mimpiku.

Comments

Tinggalkan Balasan