BATTLE | LION Episode 3

Matanya tertuju pada hamparan gedung pencakar langit itu. Ramainya jalanan ibu kota menjadi pemandangan tersendiri baginya. Entah apa yang membuatnya berdiri di sana.

Helaian rambutnya terhempas dan bergoyang seirama dengan alunan semilir angin yang menerpa kedua pipinya. Bibirnya yang tipis nan seksi terlihat begitu kelu saat matanya membayangkan kejadian itu.

Hembusan napasnya yang berat saat memejamkan mata seakan menjadi penyangga yang membuat dirinya dapat bertahan dari putaran film masa lalu kehidupan yang terlihat begitu jelas saat kedua matanya terbuka. Sebuah kejadian pahit yang merubah segalanya. Bukan untuk apa dirinya, tapi untuk siapakah dirinya.

Felly Anggi Wiraatmaja. Nama itu seperti seekor singa liar yang telah menggemparkan dunia. Matanya yang tajam siap membunuh siapapun yang berani menghalangi jalannya. Langkah kakinya begitu anggun dan elegan. Tapi berbeda dengan langkah hidupnya yang begitu besar dan penuh dengan resiko, kedua pundak kecilnya terlihat begitu serasi dengan parasnya yang cantik bak Dewi Nirmala. Tapi di atas pundak kecil itu, terdapat beban yang begitu besar yang harus ia tanggung.

“Permisi, Bu. Mobilnya sudah kami siapkan,” ucap seseorang yang berhasil membuat mata Felly terbuka.

“Tunggulah aku di bawah,” jawabnya singkat.

Felly begitu menikmati cuaca pagi ini. Ia seakan enggan untuk turun dan menghadiri rapat yang memperlihatkan kemenangannya. Sebuah kemenangan di saat ia harus menghancurkan orang itu. Entah bagaimana jalan pikiran Felly hingga hatinya tega untuk menggerakkan pedangnya. Bukan lagi sentuhan jari lentiknya, melainkan genggaman tangannya yang ada di atas kendali pedang.

Terdengar dering ponsel di sakunya. Terdapat nama yang sangat ia kenal di layar ponsel. Ia menyipitkan matanya seraya tersenyum. Senyuman indah yang membingkai bibirnya.

“Lo yakin akan menghadiri acara ini tanpa mewakilkannya?” terdengar suara dari ponsel Felly.

“Gue yang bikin keputusan. Terima kasih karena udah kawatir,” ucap Felly santai.

“Kita nggak akan bantu kalau lo nggak….”

“Gue Felly Anggi Wiraatmaja. Apa lo lupa?” potong Felly mantap.

“Dasar! Oke, gue percaya lo bisa. Gue yakin kalau lo nggak bakalan pingsan saat berdiri di depan beliau.”

Felly terkekeh. “Baguslah. Nanti gue hubungi lagi. Udah saatnya gue turun ke lantai bawah. See you,” ucapnya seraya memutus sambungan sepihak.

Untuk kedua kalinya Felly menghembuskan napas berat. Baginya, hal tersulit adalah saat dipaksa untuk melihat masa lalu pahit yang sekarang kembali muncul di depan matanya. Ia berusaha untuk terus membangun labirinnya, tapi takdir seolah terus bepihak pada kehancuran labirin itu dan memaksa Felly untuk membuka mata dalam menghadapi kenyataan. Mau tidak mau Felly harus menghadapinya.

Langkah kaki Felly mulai meninggalkan tempat itu dan kembali ke ruangannya. Di depan cermin besar, ia memandang dirinya.  Felly mengenakan jasnya untuk menutupi baju tanpa lengan yang hanya membungkus dada dan leher.

“Apakah berkasnya sudah siap?” tanya Felly saat menyadari kehadiran sekretarisnya.

“Sudah, Bu.”

Felly hanya berdehem sambil merapikan rambutnya yang bergelombang dengan jari-jari lentiknya. Selanjutnya, ia bergegas meninggalkan ruangan kerjanya dengan membawa map hitam yang telah diberikana oleh sekretarisnya.

Duduk di kursi utama yang berada di sudut utara menunjukkan Felly menjadi seorang ratu di antara para raja. Dalam ruangan itu telah berkumpul para mitra bisnisnya untuk mendengarkan keputusan Felly yang siap menanggung beban seluruh perusahaan yang telah diamanatkan oleh mereka kepada perempuan itu, bukan lagi pemimpin sebelumnya. Reynaldy Harja Kusuma Wiraatmaja, ayah Felly.

Dengan lantang di atas mimbar, Felly mengumumkan kesanggupannya untuk memberikan keuntungan sebesar lima belas persen pada setiap perusahaan yang mempercayakan usahanya kepada Felly. Perempuan muda itu tengah menggila dalam waktu yang begitu pesat.

***

“Maaf,” ucap Felly ketika tak sengaja menabrak seseorang saat menghadiri acara makan bersama di sebuah gedung mewah.

“Apa kamu hanya meminta maaf tanpa berbicara padaku?” tanya orang itu.

“Waktu sudah tidak memberikan saya untuk berbicara dengan anda.”

“Bagaimana bisa seorang putri yang lahir dari rahim istriku pergi begitu saja?”

“Pergi begitu saja? Bukankah anda yang membuat saya pergi dari neraka itu? Tidak seharusnya seorang ayah membohongi putrinya sendiri. Saya akan menerima kebohongan anda jika  saat itu anda adalah rekan saya. Tapi tidak saat anda sebagai seorang ayah,” tandas Felly seraya meninggalkan ayahnya yang tengah tercengang mendapatkan jawaban seperti itu dari anak pertamanya.

Sudut bibirnya mengembang perih karena harus kehilangan putrinya hanya gara-gara satu titik masalah. Semua bermula saat istri sirihnya tiba-tiba datang ke rumahnya dan membuat gembar seluruh keluarganya hingga membuat istrinya yang tak lain adalah ibu Felly pingsan hingga masuk rumah sakit. Tak sampai di situ, kejadian itu juga membuat Felly meninggalkan rumah. Entah ke mana, semua orang tidak bisa menemukannya.

Ibu Felly depresi berat setelah tahu putrinya pergi dari rumah hingga akhirnya ada berita kematian palsu tentang Felly. Namun, tak lama dari itu, Felly hadir kembali dengan seluruh kekuatan baru. Ia berdiri seperti seorang ratu dan melupakan identitas lamanya.

Selama Felly bersama dengan orang tuanya, Felly tidak pernah berani menentang, melawan ataupun merampas hak orang tuanya. Tapi, setelah apa yang terjadi, semuanya menjadi ‘iya’ bukan ‘tidak’.

“Kapan kamu akan kembali ke rumah? Mamamu sekarat,” ucap Reynaldy getir.

Seketika langkah Felly terhenti. Mata tajamnya terbelalak dan tubuhnya tercengang. Kakinya terasa kelu dan tak sanggup menahan guncangan hatinya saat sekelabat bayangan wajah mamanya yang tengah menangis histeris melintas dalam benaknya.

“Apakah anda bisa memberikan jaminan kepercayaan saat saya kembali? Apakah anda mampu mengembalikan saya yang dulu? Mampukah anda memberikan saya raga yang dulu?” teror Felly. “Seharusnya anda membiarkan Mama saya pergi bersama saya. Bukan memenjarakannya di rumah sakit jiwa. Mama saya gila karena anda. Anda benar-benar sangat kejam. Kami mempercayai anda, tapi anda mengkhianati kepercayaan kami. Entah anda setuju atau tidak, saya akan mengambil semua yang tidak seharusnya anda miliki!”

Langkah Felly berhenti di antara jajaran eksekutif dari perusahaan mitra yang ada di sana dan berbincang dengan mereka. Ketika ponselnya berdering, Felly pamit undur diri dan menjauh dari keramaian. Ia menerima telepon dari sekretarisnya yang memberitahukan bahwa nilai saham Felly naik dalam waktu dua detik setelah acara makan malam.

Felly segera meminta laporannya disiapkan di atas meja kerjanya. Ia akan melakukan analisa untuk keberhasilan strateginya dalam menentukan pangsa pasarnya. Dengan senyuman bahagia, ia melangkah.

Langkah Felly tiba-tiba terhenti saat mendengar perckapakan dari ruangan dewan pemegang saham.

“Kenapa kamu masih berkeras memberikan dua puluh lima persen sahammu kepada orang yang sedang berusaha menghancurkanmu? Bahkan orang yang sudah menghianatimu?” tanya dewan pemegang saham.

 “Dia bukan pengkhianat. Dia putriku. Dia hanyalah gadis kecil. Aku tidak memperdulikan posisiku saat Felly yang mengambilnya, meskipun aku tahu bahwa dia berniat merampas segalanya dariku. Bukan membanggakan aku.”

“Rey!”

“Mungkin aku terlalu keras mendidiknya. Aku sengaja selingkuh untuk mempertajam instingnyaa sebagai penerusku, mengingat aku tidak akan punya banyak waktu jika hanya mendidik adiknya. Dion mungkin akan menjadi pistol yang tajam. Lebih tajam daripada pedang Felly. Tapi semuanya akan segera berakhir. Jadi, bantulah aku untuk meletakkan sahamku kepada putriku. Sisanya, biar Dion yang melakukannya.”

“Tapi Rey, kamu sudah keterlaluan jika tidak memberitahu putrimu tentang kau yang hanya pura-pura berselingkuh dan penyebab gilanya istrimu karena kehilangan anak ketiga kalian. Bukan karena perselingkuhan itu. Aku tahu Anjani sangat mengerti seperti apa dirimu. Kamu tidak sekejam itu, Rey. Tidak bisakah kamu menghentikan semua ini dan memulainya dari awal?”

“Tidak. Semua sudah menjadi bubur. Penyakitku tidak akan sembuh lagi. Aku sudah lelah melakukan kemo. Hidup abadi akan lebih baik. Aku ingin bersama dengan Anjani. Tolonglah aku. Jangan biarkan cintaku kepada putriku lenyap hanya karena dia tahu bahwa aku tidak ingin dia menjadi gadis yang lemah dan manja dengan kekayaanku.”

“Dan itu alasannya kamu menarik perhatian dan amarahnya. Karena kamu tahu bahwa putrimu adalah seorang pendendam dan ambisius?”

By : Alesia Kazantceva

Reynaldy mengangguk. Seketika pemegang saham itu menghembuskan napas berat. Tak tahu harus apakah dirinya? Harus menuruti permintaan sahabatnya itu atau tidak? Mungkin tidak akan mudah baginya membuat keputusan. Tapi, fakta yang ada menunjukkan betapa dirinya terbelenggu dengan situasi yang ada.

“Sampai kapan Papa akan melakukan ini!” bentak Felly yang seketika masuk ke dalam rungan itu dengan berlinang air mata.

“Felly!”

“Kenapa Papa melakukan ini semua? Kenapa Papa nyakitin Felly dengan cara seperti ini? Kenapa Felly dididik sekeras ini? Apakah ini alasan Papa agar Felly tidak mudah percaya kepada orang lain karena Papa sendiri juga telah berbohong pada Felly dan tak patut mendapatkan kepercayaan Felly?”

Reynaldy terdiam. Bibirnya terasa kelu karena mendengar rentetan pertanyaan yang berhasil membuat jantungnya berdegub kencang.

“Dan alasan Papa mengirim aku ke New York karena kematian bayi Mama?”

Reynaldy menatap Felly nyalang. Ia tidak menyangka putrinya bisa tahu mengenai hal tersebut.

“Papa nggak usah kaget. Riska barusan telepon dan dapat datanya dari Diandra, temannya. Pa, Felly lebih baik hidup di sisi Papa daripada Felly hidup seperti ini! Felly lebih baik kehilangan harta daripada harus kehilangan Papa. Papa tahu, hal yang paling Felly benci adalah saat di mana Papa menunjukan cinta Papa dengan kekejaman Papa dan Papa gagal untuk menyembunyikannya. Felly sakit, Pa. Felly sakit kalau harus seperti ini. Felly akan lebih bangga kehilangan perusahaan daripada kehilangan Papa dan Mama. Lagi pula, Dion tidak akan mau meneruskan perusahaan Papa. Dia ingin menjadi pilot,” tandas Felly di tengah isak tangisnya.

“Kembalilah, Rey. Dia mengharapkan pelukanmu. Bawalah dia ke Anjani. Aku yakin dia akan senang,” bujuk sang pemegang saham sembari menepuk pundak Reynaldy.

Reynaldy melangkangkahkan kakinya setelah sahabatnya itu berbisik, “Pakailah ruanganku sesuka hatimu. Peri kecilmu telah kembali.”

Pelukan dalam tangis itu menggema di dalam ruangan. Menghancurkan labirin hati Felly yang telah lama membeku. Begitu pula dengan Reynaldy. Jarak yang telah terbentang begitu jauh, seketika mendekat dengan beberapa langkah.

Reynaldy tidak tahu bagaimana caranya bersembunyi. Yang ia tahu hanyalah bagaimana cara melakukan yang terbaik. Itulah tugasnya sebagai orang tua. Orang tua akan selalu melakukan yang terbaik untuk anaknya. Bahkan, rela menjadi titik kebencian seorang anak hanya untuk kebaikan sang anak itu. Orang tua rela menjadi kubangan sampah demi membuat anaknya menjadi berlian yang  bersinar terang.

Ketauhilah bahwa keburukan orang tua adalah salah satu cara di mana mereka memberikan yang terbaik untuk anaknya. Semua kebaikannya tak akan pernah ternilai harganya.

***

Comments

Tinggalkan Balasan