<<Sebelumnya
#CerpenKita #6
TERPENDAM | Episode 1
“Permisi Bu. Anda sudah ditunggu oleh seseorang,” ucap salah resepsionis di perusahaan Sastra.
“Siapa? Saya tidak memiliki janji dengan siapapun. Seingat saya hari ini hanya ada meeting,” terang Sastra heran.
“Tapi beliau sudah menunggu dari tadi, Bu. Beliau juga bilang kalau Ibu sudah memiliki janji dengannya,” jelas sang resepsionis.
Sastra terdiam. Ia berusaha menebak siapa orang itu dan berusaha mengingat apakaah benar-benar memiliki janji dengan seseorang.
“Baiklah kalau begitu,” timpal Sastra singkat.
Sastra berjalan menyusuri kantor dengan langkah gontai. Sebuah perusahaaan yang berhasil memberikan kehidupan yang layak untuk lima ribu pegawainya.
“Kamu?” Sastra kaget saat mendapati Brian telah menunggu di ruangannya.
Laki-laki itu terlalu berani untuk mendekati Sastra meski telah mendapatkan penolakan dari gadis itu.
“Sepertinya kamu terlalu kaget dengan kedatanganku,” ucap Brian menyambut kedatangan Sastra. “Santai saja. Ini kan kantor kamu, tapi kenapa kamu yang kelihatan canggung? Seharusnya kan aku yang canggung berada di ruangan CEO.”
Sastra tidak menjawab. Ia melangkah menuju meja kerjanya, lalu menekan tombol telepon untuk memesan cokelat dingin kepada OB.
“Ternyata kamu masih ingat minuman kesukaanku,” celetuk Brian yang sedang duduk santai di sofa yang berada di tengah ruangan itu.
“Cokelat juga minuman kesukaanku,” timpal Sastra ketus.
Brian hanya menanggapinya dengan seulas senyum.
“Kamu nggak kerja?” Sastra menatap Brian dengan kerutan di keningnya.
“Aku libur dua minggu sebelum ke Lebanon. Oh ya, kamu nggak suntuk apa tiap hari ke kantor dan berkutat dengan berbagai macam pekerjaan hanya untuk mempertahankan nilai saham doang?”
“Pertanyaan kamu konyol banget, sih. Yang namanya kerja juga nggak bakalan bosen, lah. Ada-ada aja.”
Brian tersenyum setelah mendengarkan nada bicara Satra yang mulai normal, membuat kekecewaan yang Brian rasakan semalam seketika menghilang.
“Brian? Brian?” panggil Sastra berulang kali saat mendapati Brian tengah melamun.
“Hah?” sahut Brian kaget.
“Kamu kenapa sih, hari ini kok aneh banget? Kesambet apaan? Siang-siang gini jangan bikin orang marah, deh!” oceh Sastra gemas dengan sikap Brian.
“Sastra, kamu mau ke mana?” tanya Brian saat Sastra beranjak dari tempat duduknya.
“Mau meeting. Ngurusin kamu terus mana bisa dapat uang,” jawab Sastra asal.
Brian langsung beranjak dari tempat duduknya dan meraih lengan Sastra yang hendak memakai jas kantornya.
“Apaan sih, Bri?” tanya Sastra kesal.
Brian tidak menjawab. Ia malah memposisikan Sastra untuk berada tepat di depannya dengan kedua telapak tangannya yang berada di kedua sisi pinggang gadis itu. Menguncinya dalam pelukan.
“Brian, apaan sih?” gerutu Sastra yang berusaha memberotak.
“Jangan pergi,” larang Brian yang masih memeluk Sastra.
“Kamu apaan sih, Bri!” Meski menggerutu namun Sastra tidak memberontak, ia malah menundukkan kepalanya.
Brian tersenyum, tubuhnya yang lebih tinggi sangat pas dengan tubuh Sastra yang lebih pendek darinya. Tidak ada perlawanan dari Sastra. Ia hanya bergumam mengapa Brian melakukan hal itu kepadanya. Dalam kekehannya, Brian menikmati pemandangan yang indah. Bagaimana tidak? Sastra yang tertunduk malu dengan kedua pipinya yang memerah benar-benar terlihat sangat manis.
“Aku mau ngajak kamu keluar,” ucap Brian memecah keheningan yang sejenak menguasai mereka.
“Tapi sekarang aku ada meeting.”
“Aku udah tahu, kok. Kamu jangan kawatir, aku udah menyiapkan penggantinya,” terang Brian lembut.
“Pengganti?” Sastra mendongak, tak paham dengan maksud perkataan Brian.
Brian mengangguk.
Sastra terdiam sejenak. Bagaimana bisa Brian menemukan pengganti dirinya untuk meeting hari ini?
Akhirnya semuanya terjawab saat Sastra berhasil mengingat siapa Brian. Laki-laki yang ada di depannya saat itu adalah sosok dengan otak jenius. Jadi, wajar saja jika memiliki dua pekerjaan dan dapat teratasi semua. Selain sebagai CEO, ia juga menjadi seorang kapten di pasukan khusus untuk abdi negara.
“Mau keluar?” tanya Brian.
Sastra mengangguk. Ia memutuskan untuk mempercayakan tanggung jawabnya kepada Brian. Brian melepaskan pelukan ringan di pinggang Sastra dengan senyuman. Keduanya lalu pergi ke suatu tempat yang sudah Brian siapkan untuk Sastra.
“Kita mau ke mana?” tanya Sastra saat mereka berdua berada di dalam mobil.
“Nanti kamu juga akan tahu. Sebentar lagi kita juga bakalan sampai,” jelas Brian santai.
“Ini tempat apaan, coba?” tanya Sastra bingung saat mereka berdua sampai di tempat yang dimaksudkan oleh Brian.
“Tempat untuk bilang kalau aku cinta sama kamu,” ucap Brian serius.
Seketika Sastra mengalihkan pandangannya ke arah Brian yang tengah menatapnya dengan serius.
“Maksud kamu apa, Bri?”
“Aku yakin, kamu nggak bodoh, Sastra!”
Sastra menghela napas panjang, kemudian memberanikan diri menatap mata tajam Brian yang mengisyaratkan jika laki-laki itu sangat merindukan dan menginginkannya.
“Maaf, Bri. Aku nggak bisa,” ucap Sastra datar yang kemudian meninggalkan Brian di tempat itu.
Brian sudah menduganya. Akan tetapi, ia berusaha mencegah Sastra dengan meraih lengan gadis itu. Sastra berusaha memberontak, tetapi tenaga Brian terlalu kuat. Laki-laki itu pun menarik Sastra mendekat ke arahnya dengan sedikit kasar. Merapatkan dirinya dengan memegang kedua pinggang Sastra dan menguncinya di sana.
“Setidaknya kasih aku alasan kenapa kamu menolakku dengan cara seperti ini? Masih kurangkah jika aku memberikan hatiku sepenuhnya kepadamu tanpa mengharap apapun selain cintamu.”
“Ya, Kamu kurang! Kamu sangat kurang bagiku, Brian! Kamu jahat!” bentak Sastra dengan air mata yang tiba-tiba berlinang di pipinya.
Brian tidak menjawab. Ia hanya memeluk Sastra dengan hangat. Meletakkan kepala gadis itu ke dalam dekapannya. Membekapnya dengan tengkuk lehernya dan membelainya dengan lembut. Dalam dekapan itu, Sastra menumpahkan seluruh air matanya, sampai akhirnya Sastra memberikan bahasa tubuhnya agar Brian melonggarkan pelukannya.
“Aku takut,” ucap Sastra lirih dengan kepala tertunduk.
Brian kembali menarik Sastra untuk mendekat saat ia merasa jarak antara dirinya dengan gadis itu terlalu jauh. Tangannya meraih dagu Sastra dengan lembut agar gadis itu mau berbicara dengan menatap kedua bola matanya.
“Haruskah aku membunuh rasa takutmu seperti halnya aku membunuh musuhku tanpa memberikan aba-aba?” tanya Brian lembut.
“Kenapa kamu seperti ini, Brian?” tanya Sastra di tengah sisa isak tangisnya.
“Karena aku sudah tidak mampu membendung rasa sakit saat tahu kalau kamu akan pergi dengan caraku mempertahankanmu,” tutur Brian seraya membelai wajah Sastra.
“Aku bingung harus bagaimana, Brian.”
“Rasa takutmu tidak sebanding dengan rasa takut yang kumiliki. Jika kamu takut mencintaiku, lalu bagaimana dengan aku yang takut kehilangan kamu jika aku memilih untuk menjadikanmu sebagai kekasih. Itu sama saja dengan aku mempercepat waktu di mana aku akan kehilanganmu. Aku takut jika tidak memilihmu sebagai kekasihku, maka aku tidak akan pernah bisa menunjukkan betapa aku mencintaimu. Kamu masih terlalu polos untuk merasakan takut itu, Sastra,” tandas Brian.
“Lalu mau kamu apa?” ucap Sastra lirih dengan air mata yang kembali berlinang. Sastra meremas dadanya yang terasa sesak.
Tanpa mengatakan apapun, Brian meraih kepala Sastra. Mengecup keningnya dengan cepat. Matanya terpejam, merasakan betapa hatinya terasa sakit saat mendengarkan deru tangis gadis itu.
“Jadilah milikku. Jadilah ratuku dan tetaplah di sisiku hingga akhir hayatku. Hiduplah dan terus bersemayamlah dalam hatiku. Penuhilah ruang hatiku hingga aku tak lagi merasa takut bersama dengan kehampaanku, Sastra.”
Sastra mengangguk dalam diam. Ia mengakhiri malam itu dengan membalas kecupan Brian dengaan sebuah pelukan hangat, membuat laki-laki itu tersenyum lega saat bisa memahami apa yang Sastra rasakan.
***
#Cerpen P.N.Z. | |
#CerpenKita #6 TERPENDAM | Episode 1 ASK ABOUT IT | Episode 2 REASON | Episode 3 | |
#CerpenKita #7 DEFENSE | Episode 1 KALAP | Episode 2 BEAUTY NIGHT | Episode 3 |
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.