TERPENDAM | Must Me Episode 1

<<Sebelumnya
#CerpenKita #5
TIME BE OVERDUE | Episode 3

Untuk dia, yang telah bersama udara, kembalilah dengan iringan waktu. Karena aku tahu, kau percaya akan sebuah cinta, karena Takdir-Nya telah mempertemukan kita

P.N.Z-

Malam yang begitu dingin berbaur dengaan aroma tanah basah yang telah terguyur air hujan. Awan mendung yang menangis seolah tersenyum saat melihat dirinya tersenyum. Di balik bilik ruangannya, gadis itu menatap deretan tulisan yang berhasil membuatnya tersenyum dengan indah.  

“Sastra.”

Sastra menoleh ke belakang. Mendapati Diandra yang yang mengenakan jas dokter tersenyum girang kepadanya. Ia lalu berjalan ke arah Sastra dan memeluk sahabatnya itu. 

“Lo ngapain kayak gini?” tanya Sastra heran dengan sikap sahabatnya itu.

“Dirga, Sas. Dirga….” ucap Diandra terbata dengan mata yang berkaca-kaca.

Sastra terkesiap khawatir. Mata bulatnya seketika menajam begitu cepat. Menduga jika Dirga telah menyakiti Diandra. Namun, tebakannya terbantahkan saat sahabatnya itu menunjukkan cincin yang terpasang manis di jarinya.

“Lo yakin Dirga nggak nyakitin, lo?” tanya Sastra memastikan.

“Enggak, Sas. Dia… dia… dia ngajakin gue nikah,” ungkap Diandra dengan senyum yang mengembang di kedua sudut bibirnya lengkap dengan linangan air mata kebahagian.

“Lo serius?” tanya Sastra masih setengah tak percaya.

Diandra mengangguk mantap. Sastra pun kembali memeluk sahabatnya itu. Membelai punggungnya dan ikut turut merasakan kebahagiaan yang tengah Diandra rasakan.

“Hubungan lo sama Brian gimana?” tanya Diandra yang penasaran dengan kelanjutan asmara sahabatnya itu.

“Itu….” Sastra menggantung kalimatnya, seolah bingung bagaimana menjelaskannya.

“Sas….”

Sastra tak berani menatap kedua bola mata Diandra. Ia lalu memilih untuk duduk di kursi kerjanya. Sastra Binara. CEO sebuah perusahaan kecantikan yang mampu unjuk gigi di kancah internastional. Wajah imutnya telah terpampang di beberapa majalah binis sebagai ikon utamanya.

“Gue nggak bisa seperti ini, Ndra,” ucap Sastra singkat.

“Sas, cinta akan memberikan kebahagiaan buat lo, bukan penderitaan. Cinta nggak akan menyiksa lo, Sastra,” tutur Diandra saat melihat betapa tersiksanya sahabatnya itu.

“Itu buat lo, bukan buat gue! Gue akan melakukan hal yang seharusnya gue lakukan,” timpal Sastra sambil dengan mengusap matanya yang terasa pedas.

“Sastra….” Kalimat Diandra terhenti saat Sastra yang kembali bangkit dari kursi kerjanya menepuk kedua pundaknya seraya tersenyum tipis.

Sastra berpamitan kepada Diandra jika sudah saatnya ia bertemu Brian. membicarakan hal yang seharusnya memang ia bicarakan.

***

Di bawah guyuran hujan, di dalam deru mesin yang membawanya ke restoran itu, Sastra bergumam dalam hati, betapa ia telah membulatkan tekad untuk mengakhiri semuanya. Baginya, cinta itu menyakitkan.

“Sastra,” panggil Brian seraya melambaikan tangannya.

Sastra berjalan menghampirinya dengan seulas senyum tipis yang dibalas Brian dengan senyuman lebar. Matanya yang berbinar menunjukkan betapa bahagianya laki-laki melihat kehadiran Sastra.

“Udah lama nunggu?” tanya Sastra.

“Enggak juga, kok. Oh ya, kamu mau pesan apa, Sastra?” tanya Brian bersemangat.

“Aku minum aja. Tadi udah makan. Kamu udah makan?” Sastra balik bertanya.

“Belum, sih. Tapi nggak apa-apalah, aku temenin. Kamu mau pesan cokelat, kan? Kamu kan suka cokelat,” tebak Brian dengan tatapan yang terfokus pada daftar menu.

Sastra mengangguk, tanda mengiyakan tebakan Brian.

Setelah pelayan pergi, Sastra memberanikan dirinya untuk berbicara mengenai hubungan mereka yang tidak jelas dan menggantung. Keduanya bukan sepasang kekasih, tapi kedekatan mereka juga lebih dari sekedar teman.

“Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu, Bri,” ucap Sastra tanpa basa-basi.

“Apakah tentang hubungan kita?” tebak Brian.

“Haruskah aku bertanya apakah kamu mencintaiku?” tanya Sastra.

“Aku tidak tahu mengenai hal itu. Aku merasa menjalin sebuah ikatan yang serius dengan seorang perempuan masih terlalu dini bagiku. Jika kamu memberikan pilihan, maka aku memilih untuk tetap bertahan dengan posisi ini,” jawab Brian lantang. Jika kamu menjadi kekasihku, itu sama saja aku mempercepat kepergianmu dari kehidupanku, batin Brian.

Sastra tidak menjawab. Tenggorokannya tercekat. Tetapi, hatinya merasa lega karena Brian tidak mencintainya. Dengan begitu, ia bisa terbebas dari perasaan yang terus menyeruak dalam hatinya. Sekarang, ia bisa membunuh rasa cinta itu dan mengembalikan semuanya seperti dulu lagi.

Fokus dengan pekerjaannya adalah salah satu cara bagi Sastra untuk membunuh benih-benih cinta itu sebelum mereka tumbuh subur. Akan tetapi, guncangan di dalam hatinya terus bergemuruh, seolah menolak pernyataan Brian. Hatinya mengatakan kalau Brian berbohong. Akan tetapi, kedua bola mata Brian menatap Sastra mantab. Bertolak belakang dengan dugaan Sastra. Hal tersebut membuat hatinya terus bertanya-tanya. Sampai akhirnya, semuanya terhenti saat pelayan mengantarkan pesanan mereka.

“Syukurlah kalau begitu. Hal ini membuatku merasa lebih nyaman.” Sastra menanggapi pernyataan Brian dengan santai.

Brian hanya mengangguk pelan.

Sastra tersenyum manis hingga lesung pipitnya terlihat begitu jelas. Kedua sudut bibirnya membingkai dengan indah. Akan tetapi, hatinya terasa tergoncang dengan apa yang ada di depannya. Mata Brian tampak sendu. Senyumannya pun terasa seperti dipaksakan.

“Bri, ada sesuatu yang ingin akau bicarakan sama kamu,” ucap Sastra lagi.

“Bicara saja.”

“Aku rasa kita jangan terlalu dekat, Bri. Aku takut akan terjadi beberapa hal yang tidak diinginkan.”

“Maksudnya?”

“Mulai sekarang batasi komunikasi kita. Lagian, kamu juga harus dinas, kan? Aku juga nggak mau mengganggu kehidupan kamu. Aku rasa hubungan kita saat ini terlalu dekat. Meskipun kamu sudah bilang kalau kamu nggak cinta sama aku, tapi sikap kamu yang kamu tunjukan bisa bikin aku salah paham dan nggak nyaman,” tandas Sastra tegas.

Tenggorokan Brian tercekat. Kalimat Sastra bagai sebilah pedang yang mengiris hatinya. Ia tidak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini.

Brian hanya termangu ketika Sastra beranjak dari tempat duduknya dan mulai melangkah meninggalkan restoran. 

Sakit. Semuanya terasa sakit hingga Brian tak mampu menahan detak jantungnya yang terguncang hebat. Matanya terasa pedas saat menatap kepergian Sastra. Akhirnya, Brian hanya bisa menelan ludahnya kasar.

***

#Cerpen P.N.Z.
#CerpenKita #6
TERPENDAM | Episode 1
ASK ABOUT IT | Episode 2
REASON | Episode 3
#CerpenKita #7
DEFENSE | Episode 1
KALAP | Episode 2
BEAUTY NIGHT | Episode 3

Comments

Tinggalkan Balasan