“Lo akan lanjut kemana?” tanya Dirga saat mereka memiliki waktu bersama malam itu.
“Gue akan lanjut ke pesiar. American Lines. Lo?” tanyanya kembali.
“Gue akan menempuh pendidikan sebagaimana seharusnya. Yah.. gitu deh…,” ucapnya pasrah seraya mengerutkan bibirnya, Kemudian, menyecap kopi creamer yang ada di depannya.
“Lo masih menyesal dengan pendidikan lo? Keberhasilan lo saat ini?” tanya Hafied.
Dirga menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia kembali menyecap kopinya seraya menundukkan kepalanya. Kedua bola matanya memandang kopi itu. Gerakan tangannya di cangkir mungil kopi itu, seolah menyatukan creamer yang sempat terpisah karena lama ia diamkan dalam heningnya obrolannya dengan Hafied.
“Nih!,” ucap Hafied dengan menyodorkan kertas yang terlipat dengan rapi.
“Apaan?” tanya Dirga.
“Buka aja dulu,” ucapnya yakin. Kemudian, giliran ia yang menyesap kopi creamernya.
Dirga menganga tajam setelah ia membuka lipatan kertas putih itu. Di sana, tertera keterangan kalau Hafied menyerahkan kedudukannya untuk Dirga. Yah.. untuk sahabatnya yang menyesal dengan keberhasilannya sebagai abdi negara. Ia selalu memandang posisinya jika ia berada di atas kapal. Sama seperti Hafied yang tengah menempuh ke arah sana.
Jauh di dalam hatinya, Hafied pernah memandang dimana ia menempati posisi untuk memegang pistol. Bukan jangkar, dan bermain pisau pedang sebagai bentuk keamanan di atas kapal. Sebuah cita-cita yang terbalik. Dalam masa kecilnya, mereka selalu berdoa akan keinginan masing-masing. Tapi Tuhan, membalikkan itu semua.
“Maksud lo apaan?” tanya Dirga.
“Lo bisa duduk di anjungan kapal. Lo juga bisa memegang kemudi kapal. Lo bisa ambil alih tanggung jawab yang ada di pundak gue, Ga. Karena gue, udah mundur dari sana,” jelas Hafied singkat.
“Maksud lo apaan?” tanya Dirga masih tidak mengerti.
“Gue bukan seorang nahkoda lagi. Gue, hanya penyeleksi nahkoda.”
“Enggak, Fid. Nggak mungkin kayak gini. Ini maksudnya apaan sih? Gue masih nggak ngerti dengan apa yang lo mau.”
“Lo ingat masa kecil kita berdua? Lo selalu membanggakan profesi bokap lo yang layar di atas kapal layaknya popeye. Dan gue yang selalu membanggakan bokap gue sebagai seorang pilot abdi negara. Kita menginginkan cita-cita ayah kita masing-masing. Tapi posisi itu terbalik pada generasi kita, Ga. Untuk waktu yang singkat, gue ingin mewujudkan keinginan lo saat kita kecil dulu.”
“Maksud lo gue jadi nahkoda gitu? Di kapal lo? Tanpa pendidikan dulu? Lo gila apa sinting atau setress sih? Dan lo mau posisi gue sebagai pilot abdi negara? Tanpa pelatihan dan pendidikan yang seharusnya? Kita akan mengahancurkan dunia, Fid!” ucap Dirga.
Hafied menggelengkan kepalanya setelah ia menyesap kopi creamernya. Kembali menatap Dirga, dan menjelaskan bagaimana cara kerjanya. Sebelum, ia melangkahkan kakinya dari tempat yang sudah membuatnya nyaman. Anjungan kapal.
Tempat, dimana ia dapat melihat ombak samudera. Melihat langit dengan bintang-bintang, dan pantulan bulan serta kemerlap sisik ikan saat berada di tengah malam. Seperti sebuah desa kecil, yang dapat menentramkan hatinya. Atau, sekedar bermain bersama dolpin, saat berada di perairan Pontianak. Dolpin yang selalu mengekor di belakang kapalnya, dan melihat baling-baling kapal.
Atau, bermain bersama cumi di malam hari, saat bosannya melanda. Atau, menantang ombak lautan di kala badai datang, dan mengendalikan kapal. Atau juga, mengacu adrenalin, dengan mencari sinyal saat navigasi tidak dapat berguna dengan benar, dan hanya menggunakan kompas. Sungguh kehidupan laut, yang indah saat ia bayangkan di kala kakinya, menapak di daratan.
“Kita bertukar posisi, dengan saling mendampingi. Besok pukul delapan pagi, lo dateng ke rumah. Gue akan kasih kejutan ke lo. Karena gue rasa, berdua di dalam caffe kayak gini sama lo, berasa jadi homo tahu, gue.”
Dirga menepukkan telapak tanganna ke jidat. Ia tidak menyangka kenapa sahabat kecilnya bisa berubah dengan drastis. Ia mengenal Hafied adalah sosok yang pendiam. Ia tidak suka berbicara tanpa sebuah tindakan. Dan hal tersebut terbukti malam ini, meski pada awalnya ia sudah mengerti bagaimana perlakuannya terhadap dirinya saat mereka menjalani masa bersama.
Malam ini, Hafied berhasil membuatnya terkejut setelah terakhir kali Hafied gagal membuatnya terkejut di kala ia hendak memberikan kejutan ulang tahung kepada Dirga. Tapi malam ini, seketika Hafied membalikkan dunia Hafied. Ia tidak menyangka kalau Hafied menuruti kemauannya saat ulang tahunnya waktu itu. sebuah permintaan konyol, yang terlaksana besok pagi. Sungguh tindakan yang menggila.
“Lo mau kemana?” tanya Dirga saat ia mendapati Hafied beranjak dari tempat duduknya.
“Mau balik lah. Emang mau kemana lagi?” tanya Hafied menimpali pertanyaan Dirga.
“Lah ini gimana?” tanya Dirga.
“Yaudah, Besok, lo dateng aja ke alamat itu. Kalau emang lo kesusahan, lo tanya aja, dermaga kamal itu ada dimana. Ntar juga orang-orang sekitar bakalan ngasih tahu, kok.”
“Tapi.. ini..”
“Udahlah, Ga. Nurut sama gue aja kenapa sih, sesekali,” pinta Hafied dengan menepuk pundak Dirga seraya meninggalkannya di sana.
Dirga yang tidak mengerti bagaimana cara berpikir Hafied, hanya terdiam dan termangu menatap tulisan bercetak tebal dengan logo yang menjadi kehormatan bagi Dirga. Ia tidak menyangka bahwa Hafied akan memberikan kesempatan kepadanya untuk merasakan posisi seorang Nahkoda. Sungguh keajaiban tersendiri bagi Dirga.
Senyuman terukir dikedua sudut bibirnya. Ia tetap tidak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Hafied. Dirga menggelengkan kepalanya berulangkali. Berharap, semua itu hanya mimpi. Tapi tidak saat ia kembali melihat dengan jelas tulisan yang bercetak tebal. Dimana, di sana tertera keterangan bahwa semua ini adalah kenyataan. Dan, hari itu, akan tiba besok.
***
“Tumben kamu bangun pagi di hari libur, sayang?” tanya mama Hafied.
“Hmmmm, Hafied ada acara Ma sama Dirga.”
“Dirga? Kamu masih contact dengan Dirga? Mama denger-denger Dirga bukannya jadi Pilot, ya?” tanya mamanya memastikan.
Hafied menganggukkan kepalanya tanpa mengucapkan kata apapun. Mulutnya yang penuh dengan roti tidak memungkinkan untuk ia mengucapkan sepatah kata.
“Kamu mau kemana?” tanya mamanya.
“Pergi,” ucapnya dengan mulut yang masih penuh dengan roti.
“Makan dulu, Fid!!” seru mamanya saat Hafied sudah beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan meja makan setelah mencium kening mamanya.
Lambaian tangan Hafied, berhasil membuat mamanya menggelengkan kepalanya. Tidak biasanya Hafied menghindari makan paginya di kala ia berada di rumah. Hafied selalu menginginkan masakan rumah. Meskipun masakan koki di kapal lebih menggugah selera, namun untuk urusan rasa, Hafied selalu memilih untuk makan masakan mamanya.
Satu titik yang menjadi keistimewaannya. Jika dalam hal segi makanan saja, Hafied selalu setia dengan pilihannya, kemungkinan kecil jika nantinya Hafied akan mengurangi akurasi setianya dalam hal lain yang menyangkut kesetiannya. Itulah dia, Hafied Wahyu Pramono.
***
“Gue masih nggak habis pikir dengan tindakan lo yang satu ini, Fid. Lo lagi nggak kesurupan jin koring, kan?” tanya Dirga memastikan seraya menikmati jalanan.
“Menurut lo kalau gue kesurupan jin koring, gue bisa bisa nyetir ini mobil dengan bener?” tanya Hafied meyakinkan.
“Ya abis, lo aneh aja. Dulu, lo selalu ngotot kalau kita harus mensyukuri apa yang udah diberikan sama Tuhan. Dan gilirannya hari ini, tindakan dan tingkah lo seolah menunjukkan kalau lo nggak mensyukuri kemauan Tuhan, Fid.”
“Justru gue mensyukurinya, Ga. Dengan begini, gue bisa meminang gadis itu dengan tenang,” jelasnya dengan senyuman yang membingkai indah di kedua sudut bibirnya.
“Gadis? Meminang? Lo mau nikah?” tanya Dirga dengan kedua bola matanya yang melebar.
“Lo nggak usah gitu. Mata lo tetep sipit, Ga. Jijik, gue lihatnya,” ucap Hafied dengan menjauhkan kepalanya dari Dirga yang mendekat seketika ke arah kepalanya.
Pernyataan itu membuat Dirga kembali menjauhkan kepalanya. Namun, ia tetap menatap Hafied dengan tak menyangka. Hafied bukanlah tipe orang yang mudah untuk meyakini suatu hal.
Ia selalu mempercayai diri sendiri meski pada dasarnya, apa yang dikatakan oleh orang lain terhadapnya merupakan suatu kebenaran. Jika ia tak dapat membuktikan sendiri, maka ia tetap tidak percaya dengan ucapan orang itu. Oleh karena itu, Hafied dikenal sebagai tunggal pusaka saat ada di sekolah dulu. Karena ia sangat percaya dengan dirinya sendiri. Bagaimanapun posisinya.
“Apa..”
“Hmmm… gue melakukan ini semua karena gadis yang gue cintai,” jelasnya singkat dengan wajahnya yang berbinar.
“Maksud lo, dia nggak mau nerima lo jadi nakhoda? Kalau memang dia beneran cinta sama lo, seharusnya dia mau dong nerima lo apa adanya. Mau lo jadi nahkoda kek, pilot kek, sebahaya apapun profesi lo, seharusnya dia mau menerima resiko itu. Bukan malah menyuruh lo melakukan hal yang nggak sesuai dengan hati lo,” jelas Dirga tak setuju.
Hafied menggelengkan kepalanya. Bibirnya, tak berhenti tersenyum. Kedua bola matanya, tak berhenti bebinar. Begitu juga dengan wajahnya, tak berhenti untuk memancarkan kebahagiaan dari wajahnya.
“Dia nggak pernah menuntut ke gue. Justru gue yang menuntut ke dia. Gue nggak bisa membayangkan jika gue kehilangan dia karena gue seorang nahkoda. Gue tahu kalau dia setia. Tapi, gue ingin membalas kesetiaan itu. Dia tahu kalau gue sangat menyayangi dia. Begitu juga dengan sebaliknya. Gue nggak mau dia sampai kurang kasih sayang dari gue, hanya karena gue berada di atas kapal terus menerus. Bagi seorang pengemudi, memegang kemudi, adalah titik puncak kemenangan saat berada di garis finish. Tapi bukan suatu kebahagiaan saat di belakang kemenangan itu, ada sosok yang kita harapkan menderita. Bukan sebuah kemenangan yang ia inginkan dari gue. Tapi sebuah kasih sayang. Dia tahu kalau gue bisa memberikan itu. Tapi gue nggak bisa yakin anak-anak gue mau memberikan itu.”
“Rumah tangga, berbeda dengan hubungan pada umumnya. Rumah tangga, akan hadir sosok baru yang akan lo cintai. Dan itu bukan sembarangan cara mencintainya. Karena rumah tangga itu, hubungan yang dititipkan Tuhan. Gue nggak bisa membayangkan kalau suatu saat nanti, anak-anak gue akan menuntut kasih sayang dari seorang ayah. Bagi gue, profesi gue hanya sebuah titipan. Maka dari itu gue berani untuk melepasnya. Gue anggap, itu semua sudah diambil Tuhan. Berbeda dengan cinta. Cinta itu anugerah, maka dari itu gue menjaganya. Karena titipan dan anugerah, itu berbeda. Keduanya mirip. Tapi tidak sama. Anugerah, bukan untuk dilepaskan. Tapi dijaga dan dipelihara. Adapun titipan, dapat diambil kapan saja, dan kita tidak berhak untuk melarangnya. Gue yakin, lo nggak sebodoh kadal yang mencari makan di malam hari,” jelas Hafied saat ia memandang Dirga yang mulai menyerap penjelasannya.
“Hentikan mobilnya!” pinta Dirga.
“Ngapain?” tanya Hafied.
“Hentikan mobilnya, Fid!” pintanya lagi datar.
Hafied yang mendengar itu seketika menghentikan mobilnya. Diam. Sunyi. Hanya itu yang terdengar. Hafied tidak tahu harus bagaimana. Namun pada akhirnya, Dirga keluar dari mobil. Ia membuka pintu Hafied dan menyuruhnya untuk keluar serta berganti posisi. Hafied yang tidak mengerti, memilih untuk bertukar tempat duduk.
Tanpa berucap banyak kata, Dirga menjalankan mobilnya untuk berbalik arah. Hafied menolehkan kepalanya ke arah kanan dan kiri. Ia juga berulangkali bertanya kepada Dirga. Namun, Dirga tak kunjung menjawab pertanyaannya. Hingga akhirnya, Hafied terdiam dan memilih untuk menuruti kemauan sahabatnya itu. Dimana ia mendapatkan loting duluan untuk menggantikan posisi Dirga sebagai seorang pilot.
Entah mengapa Dirga melakukan hal demikian. Sebuah perubahan yang tak dapat di duga sama sekali. Hafied yang berusaha mengerti, seketika tersenyum konyol. Ia menyadari satu hal. Yah.. ucapan itu. Ucapan dari bibir mungil yang selama ini menjadi dambaan hatinya. Bibir yang menarik hatinya karena semua ucapannya. Jika waktu saja berubah dalam setiap detiknya. Mengapa tidak dengan manusia. Manusia yang hidup dengan hati serta akal sebagai anugerah terbesar di sisi kelebihan lainnya.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.