Among : #CerpenKita Episode 8

                                                 Sumber : Photo by Parker Johnson on Unsplash

#CerpenKita

Episode 8

 

“Halo? Among?” pangglnya kea rah seberang sana.

“Halo Abang? Ini Lasta? Tumben Abang telfon malam-malam?” tanya Lasta santai.

“Among kemana, Lasta?” tanyanya.

“Among dan Inong sudah tidur, Abang. Hanya Lasta saja yang belum. Karena Lasta masih latihan.”

“Tidakkah kamu dikarantina?”

“Belum. Mungkin setelah pembukaan seleksi gelombang dua. Oh iya, Abang tak ikut daftar..”

“Lasta, teleponnya Abang tutup. Abang mada urusan yang perlu di urus. Mengenai kenapa Abang telfon mala mini, tak usahlah kau bilang kepada Among dan Inong,” ucapnya memutus ucapan Lasta dan sekaligus memutus sambungan telfon itu.

Uli menghembuskan nafasnya. Ia memandang layar ponselnya. Kemudian, ia menundukkan kepalanya. Banyak bayangan yang terus berputar di dalam pikirannya. Hingga Uli memejamkan matanya untuk mengurangi bayangan itu. Akan tetapi, semuanya semakin terlihat dengan jelas.

Tersentak. Yah… Uli tersentak saat ada seseorang yang menepuk punggungnya. Seketika Uli membalikkan badannya. Ia mendapati Makochi tengah berdiri di belakangnya. Uli menghembuskan nafas beratnya. Kemudian, ia bersikap santai seperti biasanya.

“Nggak bisa tidur?” tanya Makochi.

Uli nyengir kuda. Tak hanya itu saja, seolah pertanyaan dan dilemparkan oleh Makochi adalah suaru kebenaran, Ulipun menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Hanya, reflektifitas motoriknya untuk mengurangi gugupnya akibat tertangkap basah karena sebuah kesalahannya.

“Ambillah,” ucap Makochi.

“Apa ini, Sensei?” tanya Uli dengan tatapan herannya.

“Besok adalah penentuan kamu untuk memilih. Keputusanmu, adalah malam ini. Semoga bisa bermanfaat,” ucap Makochi dengan menpuk lengan Uli seolah menguatkan anak didiknya itu. Kemudian, ia meninggalkan Uli yang masih penasaran dengan amplop yang diberikan oleh Makochi.

“Tidurlah!!! Jika tidak kau akan tahu hukumannya!!” seru Makochi seraya melambaikan telapak tangannya saat ia meninggalkan taman.

Uli hendak membukanya. Akan tetapi, niatnya diurungkan olehnya. Uli lebih memilih untuk pergi meninggalkan taman asrama dan pergi ke kamar untuk mengistirahatkan dirinya. Mengingat, aturan yang tengah diberikan oleh Makochi.


                       Sumber : Photo by Benjamin Voros on Unsplash

“Lo belum tidur?” tanya Lafaza.

Uli menggelengkan kepalanya. Ia kembali menatap kertas kecil itu dan melihat arah foto keluarganya.

“Lo ngapain?” tanya Lafaza dengan suaranya yang serak khas orang yang baru saja bangun dari tidurnya.

“Nggak ngapa-ngapain. Lagi nggak bisa tidur aja. Tadi cari makanan di dapur, dan stok abis. Gue termasuk orang yang nggak bisa tidur kalau perut lapar,” jelas Uli mencari alasan untuk mengurangi kekawatiran Lafaza.

“Haish!! Bilang kek dari tadi. Nih, buat lo!” ucap Lafaza dengan melemparkan kue ringan ke arah Uli. Kemudian, ia turun turun dari ranjangnya, dan berjalan kea rah kamar mandi.

Uli mendecah ringan. Ia tersenyum dengan sikap Lafaza yang hangat. Di negara ini, Uli merasakan kehangatan. Ia juga merasa bahwa setiap hal yang dilakukan olehnya, selalu dihargai. Bahkan, setiap ia melakukan kesalahan, selalu dimaafkan dan justru mendapatkan arahan kea rah yang lebih baik. Bukan malah dijaukan dari labirin itu.

“Eh dungu! Lo masih belum tidur aja? Masih lapar? Kurang rotinya?” tanya Lafaza saat ia mendapati Yakuza masih duduk di meja kerjanya.

“Tidaklah. Sudah cukup, terimakasih banyak, Lafaza,” Ucap Uli seraya menyembunyikan kue ringan itu di dalam loker. Mengingat,  ucapanya hanyalah pernyataan untuk menghindar semata.

“Parulian Hutasoit,” panggil Lafaza saat tatapan mata sahabat seperjuangannya itu kosong.

“Ada yang lo pikirkan?” tanya Lafaza.

Uli menggelengkan kepalanya.

“Bohong. Lo kalau jujur tentang jawaban lo, lo akan jawab dengan menatap kedua bola mata lawan social lo, seakan lo menantang dia. Tapi kali ini, tatapan lo penuh dengan kekalahan,” jelas Lafaza mengena.

Uli hanya tersenyum miring dan ringan. Seolah ia menyerah akan sebuah kebohongan. Bagi Uli, kebohongan adalah hal yang sulit untuk dilakukan.

“Mau berbagi cerita?” tanya Lafaza.

“Boleh gue bertanya sesuatu?” tanya Uli kepada Lafaza.

“Boleh. Apa?”

“Apa yang lo pilih? Orang yang membuatmu marah atau orang yang membuatmu bangga?”

“Bangga dong,” jelas Lafaza ringan.

“Haish, yalah-yalah, kita tidur aja, oke? Malam,” ucap Uli dengan beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Lafaza yang masih bingung dengan sikap sahabatnya itu.

Lafaza menanggapinya dengan mengedikkan kedua bahunya. Ia acuh dengan keanehan Uli hari ini. Sampai akhirnya, mereka tertidur dengan mimpinya masing-masing.


“Bisakah, kita bertemu hari ini?” tanya Uli kepada seseorang di seberang telfonnya.

“Tentu saja. Aku ingin mendengarkan keputusanmu, Parulian Hutasoit,” ucapnya ringan.

“Baiklah, saya akan mengirimkan alamatnya melalui surel Anda,” jelas Uli kepada orang itu.

Ulipun menutup telfonnya. Dan ia meninggalkan surat di atas meja kerja Makochi. Di dalamnya, terdapat pesan bahwa ia ingin izin untuk tidak mengikuti arahan keputusan selama ebebrapa jam. Ia juga akan menerima konsekuensinya nanti jika Makochi menganggap surat itu adalah surat ijin kaburnya.


                                     Sumber : Photo by Stefen Tan on Unsplash

“Sudah lama menunggu saya?” tanya orang itu.

“Tidak. Baru saja,” jelas Uli.

“Kenapa tidak bertemu di asrama saja?” tanya orang itu.

“Karena saya tidak ingin melibatkan siapapun dalam hal ini. Setidaknya, nanti keputusan saya baik-baik saja dengan Anda,” ucap Uli.

Orang itu menghembuskan nafasnya. Kemudian, menatap Uli dengan tajam seolah ia siap menerima semua jawaban Uli dan siap untuk berdiskusi dengan Uli.

“Maaf, saya tidak dapat berada di sini. Dan maaf, karena saya tidak bisa berada dipangkuan Anda. Saya tahu, bagaimana Jepang memberikan kesan terbaiknya untuk saya. Saya juga tahu, bagaimana proses Jepang mengasah kemampuan saya. Tapi, hal itu bukan berarti saya harus meninggalkan rumah saya. Bukan berat tentang apapun itu. Saya, hanya berat dengan keluarga saya. Semoga, Anda dapat mengerti akan  hal itu. Terimakasih,” ucap Uli kepada orang itu.

“Apakah kau sudah yakin dengan hal itu?” tanya orang itu.

“Saya, Parulian Hutasoit. Insaallah dengan sepenuhnya yakin akan keputusan ini,” ucap Uli dengan mantab.

Orang tersebut menghembuskan nafas beratnya. Ia menatap ke arah Uli. Terlihat di sana, Uli membalas tatapan mata itu dengan teguh, kuat, dan tajam. Orang itu tersenyum dengan ujung bibirnya. Kemudian, ia mengangkat kedua telapak tangannya. Dan bertepuk tangan ringan.

Uli sempat bingung dengan semua itu. Akan tetapi, di dalam tatapan itu, Uli dapat meyimpulkan, ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh orang tersebut. Ulipun tetap terdiam. Ia menunggu saat dimana, orang itu akan mengeluarkan ucapannya.

“Garuda. Sejarahmu masih sama. Terkenang di dalam benak kami. Garuda itu memang tangguh. Kau bebicara seperti ini, aku mengingat seseorang di dalam dirimu. Ia sama denganmu. Soekarno. Aku bangga denganmu. Kau tidak merusak perjuangan Soekarno. Dan aku yakin, Soekarno akan tertidur dengan nyaman di alam sana. Karena masih ada beberapa penerusnya, yang mau mempersilahkan garuda singgah di dalam rumah hatinya.”

“Kuucapkan selamat kepadamu atas keputusanmu. Dan aku yakin, kamu telah memikirkan semua ini secara matang-matang. Dan benar kata Makochi waktu itu. Kamu pernah berkata akan sebuah kalimat, bahwa amarah ingin membuatmu mengakhiri segalanya. Tapi takdir akan anugerah cinta itu, membuatmu meredam amarah itu. Disitulah hati nuranimu. Parulian Hutasoit. Datanglah ke Jepang dengan nama itu. Aku pemilik negara ini, mengizinkanmu menggunakan namamu sendiri. Jangan ikut dengan kebudayaan kami, dimana kamu mengubah namamu. Maukah kamu menghapus nama Yakuza?” tanya orang itu di akhir ucapannya.

Uli menganggukkan kepalanya mantab. Ia tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Dalam bayangan pikirannya, serta mimpinya, hari ini akan menjadi hari terburuk baginya. Tapi ternyata, tidak. Hari ini adalah hari terbaik dalam hidupnya.

Peristiwa itu seketika menghilang dari lintasan pikirannya. Uli Dan hari ini, adalah menjadi hari dimana Uli akan berjanji kepada dirinya. Bahwa, hari ini akan terekam dengan baik bagaimana proses sembuhnya rasa sakit itu. Dari hari ini, Uli percaya apa yang dikatakan oleh Amongnya. Kalau ia bukanlah membenci. Hanya saja, amarah itu menyelimuti dan membawanya dalam benci.

Comments

Tinggalkan Balasan