#CerpenKita
Episode 4
“Yakuza! Ayo makan,” ajak Lafaza di ambang pintu kamar asrama mereka.
“Kau duluan, saja. Aku masih ada urusan sebentar,” jawab Yakuza.
“Baiklah, kalau begitu. Jangan lama-lama, ya?” tanya Lafaza memastikan.
“Oke. Aku berani untuk berjanji kepadamu,” jelas Yakuza singkat.
Yakuza kembali terdiam, termenung dalam balutan rasa itu. Sekelabat ingatan melintas di dalam pikirannya. Raganya, jiwanya, seolah melayang seketika saat ia melihat nama itu di layar ponselnya. Hatinya seketika bergemuruh hebat. Pelipisnya bercucuran keringat salah. Ah.. salah. Tapi sebuah kesalahan yang terus menghantuinya.
Inong. Nama itu menjadi titik kelemahannya sekaligus kekuatannya dalam mengarungi kehidupannya. Dimana saat ia dicampakkan layaknya sampah, hingga ia disanjung layaknya bintang. Di kala, medali emas dikalungkan di leher tegasnya.
“Halo,” ucapnya dari bibir tipis itu.
“Uli, bagaimana kabarmu, saying?” tanyanya dari seberang sana.
“Aku…,” ucapannya terhenti seketika saat ia dapat mendengarkan deru nafas perempuan itu dengan teratur.
Lama ia terdiam dalam bisunya. Menikmati deru nafas perempuan itu. Hingga lamunannya tersadar dan ia kehilangan kenikmatan itu.
“Uli..,” panggilnya lagi. Kali ini dengan nada tegas untuk memastikan.
“Iya, Inong?” tanya Uli kepada perempuan itu.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya perempuan itu mulai kawatir dengan kadaan Uli.
“Tidak.. Tidak, aku tidak apa-apa, Inong. Bagaimana kabarmu? Apakah di sana baik-baik saja?” tanya Uli kepada perempuan itu.
“Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Uli?” tanya perempuan itu kembali memasikan.
“Au… baik-baik saja, Inong,” ucap Uli dengan gemetar.
Tanpa ia sadari, air matanya tengah mengucur dengan sendirinya. Ia jatuh seiring gendang telinganya mendengarkan suara perempuan itu. Perempuan yang tengah mendorongnya untuk sampai ke negara ini. Perempuan, yang telah mengajarkannya akan rasa rela dan mempertahankan. Termasuk rela akan kehilangan namanya di negara itu. Negara yang nantinya, menjanjikan akan kehebatan untuknya. Negara, yang menjanjikan bahwa waktu akan berpihak padanya, di kala ia harus mendapatkan berlian itu.
“Inong, bagaimana dengan Among?” tanyanya dengan menyeka kasar air matanya.
“Amongmu, baik-baik saja. Apakah kau ingin berbicara kepadanya?” tanya perempuan itu.
“Aku menginginkannya,” ucapnya ringan.
“Baiklah, tunggu sebentar, Uli.”
Parulian terdiam. Ia masih dalam posisi yang sama. Dimana ia meletakkan ponselnya di telinga. Ia berusaha menikmati suasana di sana. Tempat dimana ia dilahirkan. Dan tempat dimana, ia mendapatkan pelajaran tentang moral, menghargai, memberi, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, kenangan itu sekelabat terus berputar di dalam pikirannya. Bayangan menakutkan it uterus menghantuinya. Dan, bayangan yang semu itu, semakin terlihat jelas, seiring dengan Parulian mendengarkan teriak Inongnya memanggil Amongnya.
“Assalamualaikum,” ucapnya saat tersambung dengan Parulian.
“Waalaikumussalam,” ucap Uli dengan gemetar.
“Uli, apa kabar kau, Nak?” tanya Among kepadanya.
“Au baik-baik, saja Among. Bagaimana keadaan di rumah?” tanya Uli memastikan.
“Kemarin, Inongmu habis sakit. Tapi, sekarang dia baikan. Sudah mulai sembuh. Inongmu, merindukanmu, Uli,” ucap Among kepadanya dengan tegas.
“Au minta maaf, Among. Tak bisa merawat Among, dan Inong dengan baik. Begitu juga dengan Lasta. Au, masih belum bisa melakukan itu, Among. Maafkan, Au,” ucap Uli dengan nadanya yang sendu.
“Hey, Nak. Kapan kau pulang? Tak perlu kau menyesali hal itu. Among, akan menjaga adikmu Lasta dan Inong dengan baik. Sudah lama kau tak pulang? Apakah Jepang membuatmu betah, Uli? Apakah kau makan dengan baik di sana? Uli, sholatmu bagaimana? Tak kau lupakan, kan? Ayolah, pulang. Janganlah kau lupakan tanahmu ini, Uli. Jangan membenci tanahmu, Uli. Among tak mau tahu, pulanglah jika sudah waktunya. Among percayakan pada kau, bahwa kau dapat menggantikan posisi Among, paham tidak?” jelas Among yang dapat membuat Uli tertawa ringan dengan keluhan-keluhan ringan yang ada.
Parulian menyeka air mata rindunya. Ia mengucapkan sepatah kata rindu nuntuk Amongnya. Ia juga menitipkan salam kepada Lasta untuk bertahan berada di Indonesia meski ia akan diperlakukan sama seperti dirinya. Parulian, sadar jika ia masih belum bisa menjadi kakak yang baik untuk Lasta.
Adik perempuannya itu, berulangkali mengeluh akan sikap yang ditunjukkan oleh pelatih kepadanya. Perbedaan kapasitas yang begitu jauh, sempat membuat Lasta mundur untuk bermain bulu tangkis, dan berniat untuk meneruskan usaha Inong untuk menenun kain. Akan tetapi, Among terus berusaha menghalangi niatnya itu.
Ketakutan Lasta adalah cermin dari Parulian yang telah menjadi sampah setelah ia bersinar seperti berlian di panggung kemenangan. Kegagalannya menjadi juara, adalah alasan dimana ia tak lagi berada di dalam tim nasional. Ia hanya menjadi pemain cadangan, yang dapat dikatakan, latihannya akan berguna dan tidak.
Hal yang sangat memukul Lasta dan Parulian adalah saat dimana, keduanya tak lagi dimainkan, dan hanya digunakan sebagai pembantu di dalam latihan alias non-player just management organitation. Sedangkan, selama ini, ia berlatih untuk menjadi pemain. Ah tidak… kekalahan itu, adalah hal terbesar dimana ia dibuang di negara ini, karena tak ada lagi, kemenangan untuk Parulian.
Jika Uli dapat memenangkan lebih dari lima puluh piala kejuaraan liga. Hanya dengan satu kesalahan, prestasi itu tak lagi dianggap. Itulah alasan mengapa Lasta mulai membenci Olahraga. Begitu juga dengan Uli. Namun, hinaan yang keluar dari mulut itu, terasa terus terngiang untuknya.
Uli akan menerima hinaan itu jika hinaan itu ditujukan kepadanya. Tapi tidak kepada Amongnya. Yang harus menggeret Inongnya. Termasuk Lasta yang juga diasingkan dari club latihannya.
“Among, Uli pamit undur dulu. Uli hendak makan. Tadi, sudah dipanggil untuk makan dulu,” jelas Uli.
“Baiklah. Makan yang banyak. Janganlah kau sungkan untuk makan meski itu bukan negaramu. Anggap saja itu rumahmu. Baik-baik di sana. Assalamualaikum,” ucap Among dengan menutup sambungan teleponnya.
Uli bergumam menjawab salam dari Amongnya. Kemudian, ia menatap ponselnya. Mematikan touch-screennya. Dan meletakkan di atas nakas. Tepat di samping tempat tidurnya. Setelah itu,ia bergegas pergi ke ruang makan untuk memenuhi aturan yang ada di asrama itu.
Ia datang dengan matanya yang merah. Lafaza menanyakan perihal itu. Namun, Uli dapat menjawabnya dengan berbagai alasan yang dapat membuat Lafaza percaya akan jawaban tersebut. Karena merasa iba, Lafaza menyiapkan sumpit untuk Uli. Tak hanya itu saja, Lafaza juga menyiapkan sushi dan beberapa makanan yang sudah tersedia di sana.
“Sensei…,” panggil Uli di tengah Makochi menikmati makanannya.
“Hmmmm?” tanya Makochi menanggapi.
“Kira-kira, kapan latihan yang kau berikan selesai? Apakah satu bulan? Dua… bulan? Atau… berapa?” tanya Uli dengan memberanikan diri meski ucapannya terbata.
“Besok akan kuberitahu. Jadi, persiapkan diri saja. Kau juga Lafaza. Hari ini aku sengaja memberikan latihan itu untuk kalian. Sangat ringan di mataku. Karena aku tak memiliki jalan lain, dengan kalian yang masih sangat pemula dalam latihan keras. Aku tak akan membunuh kalian. Karena kalian, lebih berarti daripaada Momo-chan.”
“Jadi ingat satu hal, jaga kesehatan kalian baik-baik. Dan, tetaplah menjadi diri kalian sendiri dalam situasi apapun,” jelas Makochi memberikan arahan.
“B.. Ba…. Baik, Sensei,” ucap Lafaza dan Yakuza dengan bersamaan setelah mereka saling memandang. Kususnya saat mereka mendengar pernyataan Makochi bahwa mereka lebih berarti dibandingkan putri kandungnya sendiri.
Lafaza tak dapat memungkiri hal itu. Begitu juga dengan Yakuza. Mereka merasakan betapa besar kasih saying Makochi. Untuk pertama kalinya, Yakuza merasakan perbedaan akan hal itu. Jauh di dalam hatinya, Yakuza menyatakan, bahwa Makochi berbeda.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.