PAJUMPANG DOHOT HALAK HITA DI PANGARANTOAN
Filosofis orang batak yang terukir di gorga Batak adalah salah satunya tentang cicak. Yaitu hewan yang bisa hidup dimana-mana, di rumah orang kaya atau miskin, gereja atau mesjid atau klenteng, di pohon atau di tumpukan batu. Memang itulah ciri khas orang batak. Saya teringat kata-kata bapak Drs. Suhadi, M.Si salah satu dosen ku di kampus yang berbicara tentang orang batak. (PAJUMPANG DOHOT HALAK HITA DI PANGARANTOAN)
“ Saya kalau lihat orang batak pasti ingat kata-kata “PERGILAH KAU KE PERANTAUAN”. Katanya dengan logat batak yang dibuat buat. Beliau mengartikan kata-kata itu sebagai sebuah kata-kata orang tua yang menyuruh anaknya pergi merantau meninggalkan rumah dan sanak-saudaranya untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak. Dan saya langsung meng Ya kan kalimat itu, karena itulah filosofis orang batak yang selalu diajarkan bapak ku St. L. Hutabarat.
Sudah sejak lama orang batak dikenal sebagai suku perantau di negeri ini. Ini terlihat dengan banyaknya orang batak yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan mengumpulkannya juga sangat gampang, walaupun sudah di perantauan biasanya orang batak membuat sebuah perkumpulan. Misalnya perkumpulan marga dan sekarang banyak perkumpulan mahasiswa batak, seperti di semarang ada 3 perkumpulan mahasiswa batak yaitu IMABA (Ikatan Mahasiswa Batak) yang didalamnya tergabung lebih dari 150 mahasiswa aktif dari 6 universitas (UNNES, UNIKA, UNTAG, UNISBANK, AKPER ELISABETH, ASM SANTA MARIA). HORAS dari UNDIP Peleburan yang juga sebagian besar NHKBP Kertanegara serta PARHATA dari UNDIP Tembalang.
Selain itu juga ada punguan marga, misalnya Parsadaan Siraja Nabarat, boru, bere (dohot beguna) se kota Semarang, dan punguan marga lainnya. Namun terkadang kita tidak sadar bahwa ada beberapa saat kita berada dalam sebuah lokasi yang berdekatan dengan sesame orang batak tanpa kita ketahui tanpa karena memang kita tidak mengenal. Dan saya paling sering mengalami hal ini, serta ada beberapa yang paling lucu dan mengagumkan yang tidak bisa saya lupakan dan akan saya ceritakan dalam tulisan ini.
Pertama sekali aku menginjak pulau Jawa ini, belum ada setengah tahun pernah diajak teman ke Jogja untuk belanja buku. Maklum, mungkin pendidikan belum jadi prioritas di Semarang ini, sangat susah mencari buku berkualitas dengan harga miring, tidak seperti di Titi Gantung Medan. Pas di bus Pahala Kencana, biasalah orang batak. Satu orang main gitar, dua orang main catur, tiga orang main kartu atau markombur. Nah kebetulan kami ada empat orang, dan pasti bisa anda prediksi apa yang terjadi sepanjang Semarang-Jogjakarta selama kurang lebih 3 jam. Sepertinya bus ini ada di tanah batak, suasana penuh dengan bahasa batak, padahal Cuma tiga orang loh penjahatnya. Tiba-tiba di daerah Bawen ada seorang bapak datang dan berkata, “Ai halak batak do hamu anggi?”. Saya ingat betul kata-kata itu, seorang batak setengah baya bermarga Purba yang sudah 10 tahun tinggal di Jogjakarta dan memberikan kami sebuah peta kota Jogja sebagai pegangan.
Dari sebuah hal yang sangat heboh dapat memberikan hal lain yang tak kalah hebohnya. Seandainya kami tidak berbicara dalam bahasa batak saat itu, tentunya amang Purba tadi tidak akan tahu kalau kami ini orang batak. Inilah yang saya katakan sebagai kebetulan yang indah.
Suatu hari saya mengajak Ruben Pane, ke Mall Simpang Lima Semarang membeli sesuatu. Biasanya ketika naik-turun di mall, aku paling benci naik lift. Mending naik escalator, selain lebih enak memang aku punya trauma tersendiri di dalam lift. Suatu hari pernah terkunci di dalam lift selama 5 menit di Medan Fair. Tapi hari ini memang barang yang saya beli cukup besar dan berat, sangat ribet jika membawanya dari lantai 5 dengan naik escalator.
“ Ben, hita turun tu lantai dasar ma langsung ate, nga loja hian au.” Kataku.
“ Dang jolo tu lantai 1 jo hita mengalului anak boru?”
“ Ah holan anak boru do di utok-utok mu?”
“ Bah, halak hita do hamu ito?” tiba-tiba seorang perempuan bertanya. Ternyata dia orang batak. Setelah kenalan ternyata kakak itu boru Butarbutar dan baru lulus kuliah dan sudah bekerja.
Terkadang ada-ada saja cara unik yang direncanakan oleh Tuhan untuk memepersatukan umatnya. Bayangkan saja, aku yang selama ini tidak pernah mau naik lift, tiba-tiba naik lift dan bertemu dengan satu lagi kenalan orang batak yang tak kalah ramah. Sai na adong do tahe.
Pulang dari Tarutung, transit di Soekarno-Hatta, lalu naik pesawat ke Semarang dari sana. Hari itu kebetulan aku duduk di tempat duduk nomor 11f, dan di samping kanan ku duduk dua orang batak. Mungkin aku orang yang tidak terlalu banyak Tanya, setelah duduk aku langsung baca buku tanpa memperhatikan lagi kedua orang bapak di sampingku. Tiba-tiba mereka berdua berbicara dalam bahasa batak.
“ Di semarang didia ma hamu lae?”
“ Anggo au par Jambi do na naeng tu Kendal do au.” Kata bapak yang satu lagi.
“ Bah, horas tulang. Halak hita do hape hita na tolu.” Kataku tertawa kecil.
“ Bah, halak hita do hape doli-doli on. Marga aha ma ho amang.”
“ Hutabarat amang sian Tarutung.”
“ Jadi partarutung do damang, au pe balga di Tarutung do ale nuaeng tinggal di Palembang.”
“ Molo au marga Nababan.” Kata bapak yang satu lagi. Lantas saja kami bertiga tertawa kecil, mungkin jaga imej.
“ Molo di boto ho lapo Simanjuntak na di toru ni ruma sakkit I, disi hian ma ahu tinggal, ale pidda ma tu Medan muse. Ale nga boha puang pilkada na di huta ta i. Saut do maju si Toluto, si Sanggam, si Roy dohot dongan tubumi si Sarlandi?”
“ Bah up to date do hape tulang sahat do hape barita ni pilkada tu Palembang. Nga kaluar calon tetapna, dang maju anggo Sarlandi Hutabarat. Calon na si Toluto, Samsul Sianturi, Roy Sinaga, Sanggam Hutapea dohot Wastin Siregar.”
Dalam kasus yang satu ini saya tidak hanya dipertemukan dengan orang batak, tetapi juga dengan teman sekampung sesame par tarutung. Dan satu hal yang membuat saya sangat kagum dengan tulang berdua itu, khususnya tulang simanjuntak, walaupun sudah lama pindah dari Tarutung, tetapi dia masih mengikuti perkembangan di Tarutung. Bahkan nama calon bupatinya dapat dibeberkan semuanya.
Masih banyak lagi kisah pertemuan dengan hal hita di ranto on, namun yang paling berkesan adalah yang ketiga ini. Inilah bangso batak yang mirip dengan orang Jahudi, bertebaran di mana-mana. Mulai dari pengamen, kenek, sopir, tukang parkir sampai ke menteri (presiden belum ada….. antar au ma I nian..he..he…he…). Untuk kesekian kalinya aku terjebak dengan pertanyaan yang aku buat sendiri dan pusing dengan pemikiran ku sendiri. Pintar kali lah oppugn kita najolo menciptakan pilosofis cicak itu. Sai anggiat tu maju na ma muse halak batak dan tersebar di mana-mana. HORAS…
Sekian tentang PAJUMPANG DOHOT HALAK HITA DI PANGARANTOAN.
Terima kasih.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.