Terimakasih kuucapkan untuk kamu, yang telah menjadi perempuan tangguh. Hidup dalam kesepian, kegelapan, kesunyian, bahkan tekanan seperti neraka, kamu melewatinya. Hanya satu yang menjadi kepercayaan dirimu. Jikalau nanti tiba saatnya kematian menghampiri, kamu meninggalkan sejuta cinta yang tertian dalam setiap huruf ini. Kamu, adalah sosok penguatku yang tak pernah bisa kubalas dengan apapun. Dan kau, sebagai bagian dari janji ini, kupersembahkan namamu dalam setiap rangkaian lintas benakku. Kusengajakan jalan dan ruang sebagai singgahan hati yang terus kau jaga dengan baik. Terimakasih. Inilah aku yang tak pernah mengerti bagaimana mencintai, kemudian kamu dank au mengajarkan bagaimana menghargai, hingga aku bisa memulai untuk mencintai. Agar kalian, dapat menikmati indahnya waktu dalam rangkaian cerita hidup ini.. Inilah hadiahku untuk kamu, kau dan kalian. Inilah dariku…
-P.N.Z-
“Zan. Zani. Zania. ZAAAAAANNNN!!!!” teriak sahabat gilanya yang berada disampingnya kala itu.
“Awww!!! Lo apaan sih?! Berisik banget! Sakit tahu telinga gue!!!” ucapnya sebal dengan membelai telinganya yang terasa sakit.
“Ya habis lo, sih! Gue udah panggil beberapa kali tapi lo nggak kunjung denger juga. Budek apa gimana sih, telinga lo?!” tanya sahabatnya.
Zani hanya terdiam setelah ia mengakui kesalahannya. Memang, tak seharusnya pikirannya melayang ke arah lain selain fokus ke sketsa design yang akan diikutkan dalam kompetisi Nasional mahasiswa bulan ini. Dan sekarang, adalah waktu dimana ia harus berdiskusi dengan sahabat gilanya. Dewanggi.
Akan tetapi, ia justru memikirkan hal lain yang tidak seharusnya ia pikirkan. Hal, yang masih belum ia pastikan apakah akan ada kelanjutannya atau tidak. Hal, yang masih memiliki banyak arah saat Zani harus memikirkan bagaimana prosesnya agar ia dapat melanjutkan itu semua.
Berbeda, jika itu berhubungan dengan kompetisinya. Design dan tulisan seolah mendarah daging dalam dirinya yang entah darimana. Putri raja ular. Ladipadya Vabrigas. Pemilik perusahaan dengan saham dan obligasi terbesar. Perusahaan, yang bergerak di bidang manufacture, dan design. Sedangkan mamanya, Lasikta Vabrigas bergerak di bidang percetakan dan tak akan jauh dari gambar serta tulisan.
Kedua kemampuan itu, menyatu dalam diri Zani sebagai seorang anak tunggal. Zania Vabrigas. Nama yang menjadi pentolan kampusnya, sebagai sosok mahasiswi yang pintar, cerdas, berprestasi, serta… sempurna. Sempurna dengan keseksian auranya yang menunjukkan betapa ia sangat bijak dalam mengambil setiap keputusan untuk melangkah.
“Lo lagi mikirin apaan sih, Zan? Kok rasa-rasanya tuh kayak mengganggu pikiran lo banget.” nyata Dewanggi dengan tetap mengerjakan pekerjaannya.
“Eh Dewa! By the way nih ya, kenapa gue punya rekan sekaligus sahabat bawel kayak lo. Tahu gini gue doa agar gue bisa satu rekan kerja dengan Safa. Biar kagak berisik kayak lo,” ucapnya sewot.
“Eh cunguk! Masih mending lo sama gue, biar kagak setres. Daripada sama Safa jaminan lo bakalan setres karena dia pendiam. Plis deh, dia beda bakat sama lo. Bidangnya dia di penulisan penelitian. Bukan design dan fiksi,” jelas Dewanggi tak kalah sewot.
Zani hanya menggelengkan kepalanya saat ia berdebat dengan sahabat bawelnya. Entah mengapa, setiap perdebatan mereka berdua akan berujung pada tertawa. Namun, bukan berarti pertengkaran diantara mereka tidak pernah terjadi. Jika perdebatan saja ada diantara mereka, kenapa pertengkaran tiada. Hal yang sungguh tidak mungkin.
“Wa, gue boleh nanya sesuatu nggak sama lo?” tanya Zani tiba-tiba di tengah kesunyian mereka yang konsentrasi dengan pekerjaannya masing-masing.
“Apaan?” sahut Dewa penasaran.
“Lo waktu dilamar sama Kak Ari gimana rasanya?”
“Hah? Kok, lo tiba-tiba nanya ginian? Ada apaan emang?” ucap Dewa dengan sedikit terkejut.
“Ya.. gue pengen tahu aja sih.”
“Rasanya, ya pertama sih kaget banget. Nggak nyangka Kak Ari bakalan lamar gue. Kedua, umur kita masih sama-sama muda dan belum memasuki jenjang pernikahan. Tapi, Kak Ari udah nekad buat lamar gue setelah pendidikannya di IPDN. Ya, seneng, takut, campur jadi satu. Yang paling banyak, senengnya.”
“Oh.. gitu, ya? Kak Ari tuh cinta pertama lo bukan sih?” tanya Zani penasaran.
“Enggak.”
“Kok lo bisa mau nikah sama Kak Ari? Bukannya cinta yang bener-bener tulus itu cinta pertama?”
“Hahahaha, pertanyaan lo bodo banget sih, Zan? Gue nggak nyangka kalau lo itu ternyata kikuk banget dengan yang begituan. Zan, sebuah pernikahan itu nggak harus dengan cinta pertama. Cinta keberapapun bisa. Dan yang perlu lo ketahui, istilah cinta pertama, kedua, ketiga, itu sebenernya nggak ada. Yang ada, lo itu tertarik pada pandangan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Kemudian baru cinta. Nih anak kayaknya kurang mata kuliah Apresiasi Budaya deh. By the way, lo kebanyakan kompetisi sih, makanya nggak pernah masuk kelas,” jelasnya dengan diiringi tawa.
Zani terdiam dengan menundukkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang salah dalam mengutarakan pendapatnya. Namun, senyuman guraunya tidak pernah hilang dari kedua sudut bibir tipisnya. Tatapan matanya, menunjukkan bahwa ia tengah membayangkan sesuatu. Pikirannyapun tak lagi ke arah pensil yang memberikan warna hitam putih dengan teknik pewarnaan yang benar.
“Zan, Zan! Pensil lo ngarah ke bangunan mana tuh?!” tanya Dewanggi saat ia menyadari kecerobohan Zani.
“Yaampun!!! Bego!”
“Lah lo yang bego,” ucap Dewa singkat saat Zani menyadari kebodohannya.
“Gimana nih Wa? Rusak deh,” kelurhnya dengan menepuk jidatnya.
“Lah, kenapa jadi nanya gue? Orang yang ngerusak lo sendiri? Lo kenapa sih, Zan? Hari ini kebanyakan ngelamun deh. Itu dihapus aja. Nggak papa ngulang dikit. Untung aja belum sampai di tahap cat air.”
“Ah! Sialan. Cinta bikin gue gagal fokus deh!” decahnya kesal.
“Apa lo bilang? Cinta. Ah, pantesan aja lo banyak bengong. Jatuh cinta sama siapa lo, Zan? Gak nyangka gue Zani bisa jatuh cinta. Syukur deh, kalau lo masih bisa meluangkan waktu dan nyempetin buat jatuh cinta,” jelas Dewanggi dengan kekehan ringannya.
“Tahu ah! Pusing gue.”
“Cinta dibikin pusing. Santai aja kali. Kenapa, kenapa? Lo ada yang ngelamar?,” tanya Dewanggi.
“Bukan itu.”
“Lah terus?”
“Gue kan kenal sama cowok, nah gue bingung nyikapin dianya kayak gimana? Gue ngarasa, kalau cinta akan berujung sama. Dulu, gue pacaran ujung-ujungnya juga putus. Jangankan pacaran, kenalan aja gue berujung perpisahan, Wa.”
“Ya jelas lah. Itu udah hukum alam, Zani. Dalam sebuah pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Hal yang begitu udah nggak bisa dielakkan lagi. Dan untuk masalah ujung cinta, asal lo tahu aja. Cinta itu nggak ada ujungnya Zan. Cabangnya cinta banyak. Semua tergantung ke lo. Dan ngomong masalah cinta pertama, lo juga perlu tahu kalau cinta yang pertama nggak harus cinta yang pertama lo bisa menurunkan pandangan pertama kemudian suka. Orang yang pertama dari rasa suka lo, belum tentu menjadi cinta pertama.”
“Maksudnya?” tanya Zani mencoba meminta penjelasan lebih detail.
“Misal nih, lo pernah menjalin hubungan dengan Si ‘A’. Kemudian sekarang lo jatuh cinta lagi dengan Si ‘B’. Nah, yang ‘A’ tadi belum tentu menjadi cinta pertama lo, Zan. Cinta pertama itu, cinta yang benar-benar memiliki. Dimana lo bisa saling memiliki, memahami, mengerti, dan menerima satu sama lain. Okelah, dulu hubungan lo dengan Si ‘A’ juga seperti itu. Tapi, takarannya akan jelas berbeda saat lo berhubungan dengn ‘B’. Entah cara sikap lo mengatasi masalah, dan sebagainya. Perbedaan itu, di dasari oleh watak, sikap, dan sifat dari orang yang berhubungan dengan lo. Jelas-jelas, ‘A’ dan ‘B’ berbeda, kan? Nah, untuk cetusan cinta pertama atau bukan, bukan hanya lo yang patut mencetuskan. Tapi, waktu dan takdir juga berhak. Seperti gue contohnya.
“Kata lo, Kak Ari bukan cinta pertama untuk lo.”
“Zani, harus berapa kali gue bilang sama lo? Cinta pertama nggak harus yang pertama Zan. Misal nih, gue udah jalin hubungan dengan cowok sebelum Kak Ari dateng. Eh tahu-tahunya saat Kak Ari dateng, gue nikahnya sama dia. Ya cinta pertama gue ya itu. Kak Ari. Gampangannya, siapa suami lo. Itu adalah cinta pertama untuk lo. Karena dia pemilik lo sesungguhnya. Paham kagak?” tanya Dewanggi memastikan.
“Kalau dia minta serius maksudnya gimana? Bukannya kalau kita menjalin suatu hubungan udah serius ya?”
“Itu artinya di mau nikah sama lo. Nawarin ke lo, apakah lo mau menikah dengan dia. Karena, nggak semua hubungan itu serius, Zan. Ada beberapa orang yang hanya ingin bermain-main dengan kehidupan suatu hubungan. Terutama, hubungan kehidupan cinta. Banyak Zan, jaman sekarang yang menjadikan cinta itu sebuah permainan. Padahal-“
“Padahal hakikatnya, cinta itu suci dan bersih.” ucap Zani memutus pembicaraan Dewa saat ia tahu apa yang hendak dikatakan Dewa.
“Nah itu lo pinter. Zan, cinta itu bukan untuk dipermainkan. Tapi, dipelajari. Gue yakin, kepolosan lo tentang cinta, akan membawa lo ke arah yang baik selama lo berbaik dan berdamai dengan cinta. Karena cinta yang akan menghiasi serta menjadi pasangan hidup lo adalah orang yang akan menjadi cerminan untuk lo.”
“Hmmmmm. Oke! Gue paham sekarang. By the way, makasih ya Wa udah share dikit ke gue tentang cinta,” nyatanya dengan senyuman setelah menghembuskan nafas leganya.
“Sama-sama. Gue paham kok, kenapa lo nggak terlalu dalam mempelajari cinta.”
“Gimana paham orang ketekan terus sama kompetisi beginian.”
“Hahaha, iya, gue tahu itu. Pikirin lagi tuh sketsa. Hari jadi belum kelar tahu rasa lo,” ujar Dewa dengan kekehan ringannya.
Zani menganggukkan kepalanya. Kemudian, dengan senyuman, ia memeluk Dewanggi sebagai tanda terimakasih dan sayangnya. Wujud syukur karena ia telah dipertemukan dengan orang yang baik. Meski Zani sadar, tidak sepenuhnya Dewa baik. Sebagaimana seorang manusia yang memiliki kebaikan dan keburukan. Kelebihan, dan kekurangan.
Begitu juga dengan cinta. Jika pelaku cinta saja memiliki dua unsur dalam dirinya. Kenapa hal abstrak yang menjadi kehidupan pelaku tidak memiliki unsur yang lebih banyak. Hidup memang penuh dengan cinta, dan derita.
Dua hal yang selalu saling beriringan. Salah satu alasan kecil, yang patut dijadikan sebagai kemauan kenapa pelaku menghendaki untuk mempelajari serta memahami cinta. Menjadi pribadi yang lebih baik, dengan alasan memiliki keinginan untuk mendapatkan cinta yang layak, merupakan salah satu hal yang termasuk dalam perilaku mempelajari cinta. Yah.. cinta pertama yang bukan berarti yang pertama.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.