Salam #MasBro #MbakBro
Suku Karo (Karo: ᯂᯒᯨ atau ᯂᯒᯭ, Latin: Karo) adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara dan sebagian Aceh; meliputi Kabupaten Karo, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Deli Serdang.[2] Suku ini merupakan salah satu suku terbesar dalam Sumatera Utara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama Kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Tanah Karo yang terletak di kabupaten karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo atau Cakap Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Suku Karo adalah merupakan suku asli pertama Kota Medan karena Kota Medan didirikan oleh seorang putra Karo yang bernama Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Suku Karo pada mulanya tinggal di dataran tinggi Karo yakni Brastagi dan Kabanjahe.
Eksistensi Kerajaan Haru-Karo
Kerajaan Haru-Karo (Kerajaan Aru) mulai menjadi kerajaan besar di Sumatera, namun tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya. Namun, Brahma Putra, dalam bukunya “Karo dari Zaman ke Zaman” mengatakan bahwa pada abad 1 Masehi sudah ada kerajaan di Sumatera Utara yang rajanya bernama “Pa Lagan“. Menilik dari nama itu merupakan bahasa yang berasal dari suku Karo. Mungkinkah pada masa itu kerajaan haru sudah ada?, hal ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.(Darwan Prinst, SH :2004)
Kerajaan Haru-Karo diketahui tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya dengan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Aceh. Terbukti karena kerajaan Haru pernah berperang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Haru pada masa keemasannya, pengaruhnya tersebar mulai dari Aceh Besar hingga ke sungai Siak di Riau.
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya “Aceh Sepanjang Abad”, (1981). Ia menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari Batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya “Tarich Atjeh dan Nusantara” (1961) mengatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping terdapat kerajaan Islam terdapat pula kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari ke-20 mukim bercampur dengan suku Karo. Brahma Putra, dalam bukunya “Karo Sepanjang Zaman” mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi “Kaum Lhee Reutoih” atau Kaum Tiga Ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus.
Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Ja Sandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imeum Peuet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Wilayah pengaruh suku Karo
Sering terjadi kekeliruan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat bahwa Taneh Karo diidentikkan dengan Kabupaten Karo. Padahal, Taneh Karo jauh lebih luas daripada Kabupaten Karo karena meliputi:
Kabupaten Karo
Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Tanah Karo. Kota yang terkenal dengan di wilayah ini adalah Brastagi dan Kabanjahe. Brastagi merupakan salah satu kota turis di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan produk pertaniannya yang unggul. Salah satunya adalah buah jeruk dan produk minuman yang terkenal yaitu sebagai penghasil Markisa Jus yang terkenal hingga seluruh nusantara. Mayoritas suku Karo bermukim di daerah pegunungan ini, tepatnya di daerah Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak yang sering disebut sebagai atau “Taneh Karo Simalem”. Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Karo, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Karo, salah satu yang unik adalah disebut terites. Terites ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan -kerja tahun-. Trites ini bahannya diambil dari isilambung sapi/kerbau, yang belum dikeluarkan sebagai kotoran.Bahan inilah yang diolah sedemikian rupa dicampur dengan bahan rempah-rempah sehingga aroma tajam pada isi lambung berkurang dan dapat dinikmati. Masakan ini merupakan makanan favorit yang suguhan pertama diberikan kepada yang dihormati.
Kota Medan
Pendiri kota Medan adalah seorang putra Karo yaitu Guru Patimpus Sembiring Pelawi.
Kota Binjai
Kota Binjai merupakan daerah yang memiliki interaksi paling kuat dengan Kota Medan disebabkan oleh jaraknya yang relatif sangat dekat dari Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Langkat
Suku Karo di Langkat mendiami daerah hulu, seperti Bahorok, Kutambaru, Sei Bingai, Kuala, Salapian, dan sebagian Selesai, Batang Serangan, dan Serapit
Kabupaten Dairi
Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya sangat subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang sangat berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang merupakan bagian Taneh Karo:
- Kecamatan Taneh Pinem
- Kecamatan Tiga Lingga
- Kecamatan Gunung Sitember
Kabupaten Aceh Tenggara
Taneh Karo di kabupaten Aceh Tenggara meliputi:
- Kecamatan Lau Sigala-gala (Desa Lau Deski, Lau Perbunga, Lau Kinga)
- Kecamatan Simpang Simadam
Kabupaten Deli Serdang
- Kecamatan Tanjung Morawa
- Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu
- Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir
- Kecamatan Sibolangit
- Kecamatan Pancur Batu
- Kecamatan Kutalimbaru
- Kecamatan Deli Tua
- Kecamatan Biru-biru
- Kecamatan Gunung Meriah
Kabupaten Simalungun
- Kecamatan Dolok Silau
Merga
Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:
- Karo-karo: Purba, Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, kemit, jung, sinukaban, sinubulan, samura, sekali. (berjumlah 18)
- Tarigan: bondong, gana-gana, gersang, gerneng, jampang, purba, pekan, sibero, tua, tegur, tambak, tambun, silangit, tendang. (berjumlah 14)
- Ginting: anjartambun, babo, beras, cabap, gurupatih, garamata, jandibata, jawak, manik, munte, pase, seragih, suka, sugihen, sinusinga, tumangger, taling kuta. (berjumlah 17)
- Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi, busuk, colia, muham, maha, bunuaji, gurukinayan, pandia, keling, pandebayang, sinukapur, tekang. (berjumlah 15)
- Perangin-angin:Bangun, Keliat, Kacinambun, Namohaji, Mano, Benjerang, Uwir, Pinem, Pancawan, Penggarun, Ulun Jandi, Laksa, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Sinurat, Sebayang, Tanjung. (berjumlah 18)
- Keterangan:
- Total semua submerga adalah 85.
Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah di antara mereka.
Rakut Sitelu
Hal lain yang penting dalam susunan masyarakat Karo adalah rakut sitelu atau daliken sitelu (artinya secara metaforik adalah tungku nan tiga), yang berarti ikatan yang tiga. Arti rakut sitelu tersebut adalah sangkep nggeluh (kelengkapan hidup) bagi orang Karo. Kelengkapan yang dimaksud adalah lembaga sosial yang terdapat dalam masyarakat Karo yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
- kalimbubu
- anak beru
- senina
Kalimbubu dapat didefinisikan sebagai keluarga pemberi isteri, anak beru keluarga yang mengambil atau menerima isteri, dan senina keluarga satu galur keturunan merga atau keluarga inti. dll
Tutur Siwaluh
Tutur siwaluh adalah konsep kekerabatan masyarakat Karo, yang berhubungan dengan penuturan, yaitu terdiri dari delapan golongan:
- puang kalimbubu
- kalimbubu
- senina
- sembuyak
- senina sipemeren
- senina sepengalon/sedalanen
- anak beru
- anak beru menteri
Dalam pelaksanaan upacara adat, tutur siwaluh ini masih dapat dibagi lagi dalam kelompok-kelompok lebih khusus sesuai dengan keperluan dalam pelaksanaan upacara yang dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
- Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang
- Kalimbubu adalah kelompok pemberi isteri kepada keluarga tertentu, kalimbubu ini dapat dikelompokkan lagi menjadi:
- Kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua, yaitu kelompok pemberiisteri kepada kelompok tertentu yang dianggap sebagai kelompok pemberi isteri adal dari keluarga tersebut. Misalnya A bermerga Sembiring bere-bere Tarigan, maka Tarigan adalah kalimbubu Si A. Jika A mempunyai anak, maka merga Tarigan adalah kalimbubu bena-bena/kalimbubu tua dari anak A. Jadi kalimbubu bena-bena atau kalimbubu tua adalah kalimbubu dari ayah kandung.
- Kalimbubu simada dareh adalah berasal dari ibu kandung seseorang. Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu kandung seseorang. Disebut kalimbubu simada dareh karena merekalah yang dianggap mempunyai darah, karena dianggap darah merekalah yang terdapat dalam diri keponakannya.
- Kalimbubu iperdemui, berarti kalimbubu yang dijadikan kalimbubu oleh karena seseorang mengawini putri dari satu keluarga untuk pertama kalinya. Jadi seseorang itu menjadi kalimbubu adalah berdasarkan perkawinan.
- Senina, yaitu mereka yang bersadara karena mempunyai merga dan submerga yang sama.
- Sembuyak, secara harfiah se artinya satu dan mbuyak artinya kandungan, jadi artinya adalah orang-orang yang lahir dari kandungan atau rahim yang sama. Namun dalam masyarakat Karo istilah ini digunakan untuk senina yang berlainan submerga juga, dalam bahasa Karo disebut sindauh ipedeher (yang jauh menjadi dekat).
- Sipemeren, yaitu orang-orang yang ibu-ibu mereka bersaudara kandung. Bagian ini didukung lagi oleh pihak siparibanen, yaitu orang-orang yang mempunyai isteri yang bersaudara.
- Senina Sepengalon atau Sendalanen, yaitu orang yang bersaudara karena mempunyai anak-anak yang memperisteri dari beru yang sama.
- Anak beru, berarti pihak yang mengambil isteri dari suatu keluarga tertentu untuk diperistri. Anak beru dapat terjadi secara langsung karena mengawini wanita keluarga tertentu, dan secara tidak langsung melalui perantaraan orang lain, seperti anak beru menteri dan anak beru singikuri.Anak beru ini terdiri lagi atas:
- Anak beru tua, adalah anak beru dalam satu keluarga turun temurun. Paling tidak tiga generasi telah mengambil isteri dari keluarga tertentu (kalimbubunya). Anak beru tua adalah anak beru yang utama, karena tanpa kehadirannya dalam suatu upacara adat yang dibuat oleh pihak kalimbubunya, maka upacara tersebut tidak dapat dimulai. Anak beru tua juga berfungsi sebagai anak beru singerana (sebagai pembicara), karena fungsinya dalam upacara adat sebagai pembicara dan pemimpin keluarga dalam keluarga kalimbubu dalam konteks upacara adat.
- Anak beru cekoh baka tutup, yaitu anak beru yang secara langsung dapat mengetahui segala sesuatu di dalam keluarga kalimbubunya. Anak beru sekoh baka tutup adalah anak saudara perempuan dari seorang kepala keluarga. Misalnya Si A seorang laki-laki, mempunyai saudara perempuan Si B, maka anak Si B adalah anak beru cekoh baka tutup dari Si A. Dalam panggilan sehari-hari anak beru disebut juga bere-bere mama.
- Anak beru menteri, yaitu anak berunya anak beru. Asal kata menteri adalah dari kata minteri yang berarti meluruskan. Jadi anak beru minteri mempunyai pengertian yang lebih luas sebagai petunjuk, mengawasi serta membantu tugas kalimbubunya dalam suatu kewajiban dalam upacara adat. Ada pula yang disebut anak beru singkuri, yaitu anak berunya anak beru menteri. Anak beru ini mempersiapkan hidangan dalam konteks upacara adat.
Aksara
Aksara yang digunakan di suku ini adalah Aksara Karo. Aksara ini adalah aksara kuno yang dipergunakan oleh masyarakat Karo, akan tetapi pada saat ini penggunaannya sangat terbatas sekali bahkan hampir tidak pernah digunakan lagi.guna melengkapi cara penulisan perlu dilengkapi dengan anak huruf seperti o= ketolongen, x= sikurun, ketelengen dan pemantek
Kebudayaan tradisional
Suku Karo mempunyai beberapa kebudayaan tradisional, di antaranya tari tradisional:
- Piso Surit
- Lima Serangkai
- Tari Terang Bulan
- Tari Roti Manis
- Tari Tiga Sibolangit
Suku Karo juga memiliki drama tradisional yang disebut dengan Gundala-Gundala.
Kegiatan budaya
- Merdang merdem = “kerja tahun” yang disertai “Gendang guro-guro aron”.
- Mahpah = “kerja tahun” yang disertai “Gendang guro-guro aron”.
- Mengket Rumah Mbaru – Pesta memasuki rumah (adat – ibadat) baru.
- Mbesur-mbesuri – “Ngerires” – membuat lemang waktu padi mulai bunting.
- Ndilo Udan – memanggil hujan.
- Rebu-rebu – mirip pesta “kerja tahun”.
- Ngumbung – hari jeda “aron” (kumpulan pekerja di desa).
- Erpangir Ku Lau – penyucian diri (untuk membuang sial).
- Raleng Tendi – “Ngicik Tendi” = memanggil jiwa setelah seseorang kurang tenang karena terkejut secara suatu kejadian yang tidak disangka-sangka.
- Motong Rambai – Pesta kecil keluarga – handai taulan untuk memanggkas habis rambut bayi (balita) yang terjalin dan tidak rapi.
- Ngaloken Cincin Upah Tendi – Upacara keluarga pemberian cincin permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere atau dari Bibi ke Permain).
- Manok Sangkepi
- Maba Belo Selamber (MBS)
- Ngaloken Rawit – Upacara keluarga pemberian pisau (tumbuk lada) atau belati atau celurit kecil yang berupa permintaan dari keponakan (dari Mama ke Bere-bere) – keponakan laki-laki.
Agama
Mayoritas penduduk Karo telah memeluk agama Kristen sekitar 70% (mayoritas Protestan 90% dan 10% Katolik), dan Islam 25%. Sekitar 5% masih menganut aliran kepercayaan lama yakni Pemena.[1]
Gereja yang didominasi suku Karo
Kontroversi
Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari Batak. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel “Batak” diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial Belanda, dimana suku bangsa non-Melayu dikategorikan sebagai suku Batak.[3]
Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra dikalangan masyarakat, terutama di masyarakat Suku Batak. Orang Batak mengatakan bahwa orang-orang Karo sebaiknya tidak serta-merta menyatakan diri sebagai suku non-Batak, dikarenakan menurut mereka beberapa marga Suku Karo masih ada keterkaitan dengan sebagian marga dari Batak Toba, seperti marga Sitepu yang masih se-“trah” dengan marga Sitohang, atau marga Purba yang masih ada kaitannya dengan marga Purba di Simalungun.
Tokoh Karo
Galeri
Masih ada pertanyaan?
Masih butuh informasi lainnya?
Silahkan chat sama mimin kita, buat minta dibuatin tulisannya ya kekitaan.com/ButuhTulisan
Seneng bisa berbagi.
Pasti bermanfaat.
Suka menulis?
Silahkan daftar untuk menulis tentang fakta Indonesia lainnya.
Sama seperti di youtube #MasBro #MbakBro akan mendapatkan penghasilan dari views.
Mari #HIDUPdariKARYA
Mau tanya? klik kekitaan.com/mauNULIS
Terimakasih
id.wikipedia.org dibuka pukul 12:27 WIB pada Hari Senin tanggal 16 November 2020
Referensi
- ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaKaro
- ^ Geoff Kushnick (2010). “Bibliography of Works on the Karo Batak of North Sumatra, Indonesia: Missionary Reports, Anthropogical Studies, and Other Writings from 1826 to the Present” (PDF). Department of Anthropology University of Washington, Seattle. 1.2. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 14 Januari 2014.
- ^ https://sorasirulo.com/2017/11/23/pernyataan-karo-bukan-batak-di-kota-medan/
Bacaan terkait
- Perangin-angin, Martin. (2004). Orang Karo Di antaraOrang Batak. Pustaka Sora Mido
Pranala luar
Kata kunci lain yang sering dicari …Suku Karo, Suku Karo di Kabupaten Karo, Suku di Sumatera Utara, Suku di Provinsi Sumatera Utara, Suku Indonesia, Suku di Indonesia
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.