Persatuan Insinyur Indonesia Berkolaborasi Bersama Ikatan Dokter Indonesia Wujudkan RI Mandiri di Bidang Kesehatan

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) bersatu dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk membuat alat kesehatan (Alkes)

Heru Dewanto, ketua umun Persatuan Insinyur Indonesia (PII), menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 menyadarkan semua pihak, bahwa Indonesia masih ketergantungan alat kesehatan dari luar negeri.

“Pandemi ini membuka pentingnya peran insinyur, dalam mendukung para dokter, sehingga kedua-duanya bisa menjadi pilar utama dalam perang melawan pandemi. Kolaborasi Insinyur dengan dokter adalah prasyarat mutlak bagi kemandirian industri Kesehatan nasional,” ujarnya.

Berdasarkan data e-katalog 2019 hingga sampai Mei 2020, sebanyak 80% alkes diimpor dari luar negeri. Pada kurun waktu yang sama, belanja produk didalam negeri hanya mencapai 12%-nya saja.

Heru sangat menyayangkan sekali bahwa Indonesia masih ketergantugan alkes dari luar negeri.

Oleh karena itu, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) telah membuat kegiatan learning center, sebagai upaya untuk membekali para insinyur dalam menghadapi masa pandemi Covid- 19.

Persatuan Insinyur Indonesia (PII) juga sudah melakukan uji coba ventilator di BPFK Kementerian Kesehatan, produksi serta distribusi bantuan masker, sanitizer, kamar sterilisasi, dan sembako.

“Kami juga sudah melakukan riset dan pengembangan masker kain hibrida dalam negeri, dengan efisiensi filtrasi setara dgn masker N95. Melaksanakan pemasangan teknologi sterilisasi udara dan permukaan, di fasilitasi transportasi umum seperti TransJakarta, MRT dan KCI menggunakan teknologi Ozone Nanomist,” ujarnya.

Heru mengakui bahwa tidak mudah untuk mengatasi masalah tersebut.

Sementara itu, Ketum IDI, Daeng Mohammad Faqih, dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa IDI berkomitmen membantu dan berkolaborasi mengatasi ketergantungan Indonesia terhadap alkes luar negeri.

Ketum IDI itu mengatakan, alkes hasil inovasi anak negeri terkadang tidak begitu dibutuhkan oleh rumah sakit. Sehingga tingkat penyerapannya rendah. Dan dia juga mengatakan, alkes hasil inovasi anak negeri juga memiliki masalahan di bidang standarisasi, dan harganya tidak bersaing.

“Kami akan membantu mendampingi, kira-kira alat kedokteran seperti apa yang dibutuhkan,” terangnya.

Sama dengan Heru, Daeng menyampaikan bahwa pemenuhan alkes dari luar negeri atau impor menyedot dana yang sangat tinggi. Apa lagi pajak impornya yang sangat besar sehingga menambah jumlah uang yang harus dikeluarkan.

Menurut Daeng, ini juga akan berdampak pada pelayanan kesehatan masyarakat, khususnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkan tindakan medis tertentu.


Terbit

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan