Luka-Luka Cinta puisi, cinta, ibu, guru, adalah, contoh, tentang alam, kemerdekaan, pendek, syair puisiIN tulisIN-karya kekitaan - karya selesaiin masalah

Luka-Luka Cinta | puisi

Luka-Luka Cinta

Cari arti kata KBBI?
1-9  A  B  C  D  E  F  G  H  I  J  K  L  M  N  O  P  Q  R  S  T  U  V  W  X  Y  Z

Luka-Luka Cinta

“Kak, aku ingin bertanya satu hal padamu.”  

Angin hari itu cukup redup, se-redup tipis bayangan wajahnya yang digulitai luka mendalam yang terpatri di sampul-sampul hatinya. “Bagaimana mungkin aku sudah membuka lahan tentang cinta, menumbuhkan tunas-tunasnya, kurawat dengan doa-doa terbaikku, hingga tumbuh subur menjadi sebuah cinta yang kokoh dan bermekar ceria, tetapi justru aku tak diizinkan menikmati indah dan manis buah ranumnya?” “Bilamana mungkin aku mencintainya, tetapi justru dititahkan untuk tidak berhak memilikinya?”

Kira-kira begitulah lirik pertanyaannya yang cukup mencengangkan kesadaran batinku. Aku hanya terpukau diam dan hening membisu. Tak mampu meracik sejumput kata lebih untuk menjawab pertanyaannya.

“Aku memang sangat mencintainya, bahkan sangat mencintainya. Aku mencintainya lebih dari pancaran bintang-bintang di kaki langit, malah lebih dahsyat dari badai angin taufan yang mengamuk. Lebih kuat dari hempasan gelombang menyapu karang-karang pesisir. Aku hanya mencintainya dan hanya dia yang berhak menghuni singgasana hatiku.”

Aku mendengar kata-katanya yang lirih penuh dengan riuh gelora rasa sakit yang mendalam, namun tak mampu terucap sepenuhnya lantaran tertahan oleh kata atau kalimat yang tak sanggup mewakili semesta hatinya. Ada beberapa tetesan-tetesan kecil yang jatuh beriringan di kedua tebing pipinya.

Baca Juga
Mawar Ini Mawar Duka
SENJA YANG RANUM

Suka menulis?

Mau menghasilkan dari tulisan mu?
Yuk mulai #hidupdariKARYA
tulisIN apa aja?

Deandra. Itulah namanya. Nama yang cantik dan indah secantik dan seindah pemiliknya. Aku biasa menyapanya Dea. Nama yang berarti kuat atau anggun itu, tampaknya masih belum sanggup mengumpulkan remah-remah dan kepingan-kepingan hatinya yang berantakan tak menentu, masih menyisakan berjuta-juta luka yang kerap mencabik tirai jiwa putihnya. Sayap-sayap harapannya retak patah bagai serpihan-serpihan kaca yang menusuk terlalu dalam pada mimpi-mimpi indahnya.

Aku dan dia tinggal, tumbuh dan bermain bersama-sama dalam sebuah kampung kecil yang letaknya jauh dari keramaian kota dan hingar-bingar mesin-mesin penderu jalanan. Pandang sekeliling saja, terdapat hamparan tanaman kopi yang tumbuh subur dan berbuah lebat. Daun-dedaunannya tampak selalu menari girang seakan-akan menghibur para penghuni di dalamnya. Ada barisan petak-petak sawah yang sudah mulai menguning tampak memberikan aroma sejuk yang sangat asri dengan dua buah aliran sungai yang mengitarinya. Airnya sangat bersih dan jernih. Tak ada aliran limbah-limbah pabrik, plastik-plastik sampah yang terhanyut apalagi sisa-sisa kotoran gedung pencakar langit.

“Saban hari, aku menghirup aroma mawar-mawar yang merekah, seakan-akan seperti aroma duka dari setangkai mawar hati yang kupetik selepas awan kelabu baru saja berlalu. Sementara dari kelopak kecilnya yang merekah pada guliran waktu yang melaju tanpa ragu, berbisik tentang tumpukan memori-memori bisu yang telah mengkristal pada bening embun di penghujung pagi yang mengaraknya kepada mahligai rindu. Kuncup-kuncup kuncup mungilnya meraja di sekelimun nafasku dan tampak seperti barisan pelangi yang datang di akhir badai tempias hujan. Kini, mawar hati ini perlahan berdekut membisu dan berpasrah pada semilir angin yang datang lalu pergi, laksana irama musik yang bermain kemudian berhenti.” Dea tak henti-hentinya merangkai delikan atmanya. Semua itu dia ingin tumpah-ruahkan kepada sepoi basa angin malam yang datang lalu berlalu tanpa pamit.

“Hari itu, aku tepatnya tanggal terakhir di penghujung bulan enam, aku berlangkah penuh semangat hendak menemuinya.” Begitulah Dea mulai menutur kisahnya, dibalur dengan bentangan layar malam yang sangat permai serta kerumunan bintang-bintang yang seakan-akan berlomba-lomba memamerkan pancaran terbaik dan terindahnya. Lalu, sesekali terdengar tembang indah jangkrik malam dan paduan suara katak-katak sawah yang turut berpacu dalam melodi tentang keagungan ciptaan sang Mahakarya.

Baca Juga
HIDUP DAN SECANGKIR KOPI
SOLO SOLITUDE

“Sementara, hampir satu bulan penuh, aku sama sekali tidak mendengar kabar darinya dan berita tentangnya. Sebagai seorang perempuan tentulah aku menaruh rasa curiga yang mendalam terhadap dirinya. Kami memang jarang berjumpa empat mata, lantaran jarak yang terbentang dan sekat yang melintang. Dia berada di kampung sebelah yang terpisah oleh aliran kali dan beberapa bukit yang menjulang tinggi. Komunikasi yang terjalin hanya dalam wujud surat menyurat. Tak terhitung jumlah surat yang aku kirimkan untuknya, tetapi tak satupun dibalasnya. Hingga ada secarik kertas kecil yang mengajakku bertemu. Hatiku sangat senang. Senang sekali. Bagaimana mungkin, tanpa ada kabar sebelumnya, tetapi sontak saja diajak untuk bertemu empat mata. Kerinduan hatiku akhirnya menemukan sosoknya kembali. Mimpi-mimpiku sudah saatnya menjelma wujud jadi nyata.

Sebelum mengayun langkah untuk bertemu dengannya, aku sudah berada berjam-jam di depan cermin, guna melatih senyumku, sambil berharap dia terlihat bahagia ketika senyumku perlahan dipajang.

“Apa kabarmu hari ini?”

“Kamu kemana saja?”

“Kamu semakin hari semakin tampan, ya.”

“Aku sangat merindukanmu. Aku sering melihatmu dalam mimpi, datang menjemputku, lalu membawaku ke suatu tempat yang sangat indah. Ada senja yang ranum di sana.

“Apa engkau pernah bermimpi yang sama?”

Aku mulai berbicara sendiri di depan cermin sambil memilah-milah mana kata-kata terbaik yang harus aku ucapkan sebagai percakapan pembuka nanti. Hari itu aku sangat bahagia. Batinku laksana ditaburi cahaya surgawi. Langkahku serasa diiring pawai tembang dan elegi para malaikat, penuh sukacita dan kegembiraan yang tak bisa terungkap, namun dibungkam oleh barisan aksara-aksara.

Baca Juga
DOA
Tears

Aku dan dirinya sudah menjalin tali asmara, terhitung hampir tujuh tahun lebih lamanya. Waktu yang cukup panjang untuk sebuah petualangan hati dan rasa di dalam biduk cinta. Awal pertemuan kami hingga mengarah pada pertautan hati memang tergolong singkat. Waktu itu, aku menerima sepucuk surat darinya yang bertuliskan:

DEAR, DEANDRA.

Setiap kali aku meminang bayanganmu, ada sejuta bahagia yang menyelubungiku. Seperti bunga-bunga pagi yang riang menyambut terbitnya sang fajar pagi. Bukan bermaksud hati menawanmu di penjara kalbu, bukan juga ingin melepasmu dari pemilik hati yang lain, tetapi aku datang hanya untuk bersaksi “Ada hati yang resah menunggumu”. Aku harap, merpatiku menemukan pasangannya. Dan itu adalah engkau.

emikian surat ini aku tulis, kuharap engkau dapat menerima cintaku, sebagaimana daun-daun rindang membalas hembusan angin dengan lekukan tari-tarian yang indah.

Pemujamu,

AKU

Semenjak hari itu, dunia sangatlah indah. Bunga-bunga tampak selalu ceria, angin yang bertiup seakan-akan membawa setiap kabar-kabar sukacita. Malam-malampun terlihat girang dan ikut bahagia. Keajaiban cinta dan kesejukkan rindu membuat mata jiwa memandang segala-sesuatu dengan penuh keindahan.

Tetapi, malang sungguh malang. Bagaikan petir geledek menyambarku, bagaikan nasib nas yang diletakkan di pundakku. Aku sama sekali tidak menduga, kalau hari itu adalah hari di mana lembaran kisah asmara kami berakhir selamanya. Hari itu, dia datang dengan seraut wajah yang sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda bahagia atau riang atau perasaan sejenis lainnya, sebagaimana ketika rasa rindu tersampaikan.

“Apa?”

“Jadi teman?”

Aku menimpali ucapannya dengan riuh rasa yang tak percaya. Jantungku berdegup kencang sekali.

“Alasannya apa?”

“Kamu tahu, aku sudah terlalu dalam mengubur rasa cintaku kepadamu. Aku sudah sangat nyaman sekali berdiam dalam singgasana hatimu. Bagiku, kamu adalah senja kenyataan terindahku. Langit yang selalu kutatap, harapan yang selalu kuimingkan dan mimpi-mimpi yang terus menghiasiku, gubuk ketenanganku, mahligai kebahagianku. Itu semua hanyalah engkau dan engkau seorang. Kamu tahu, aku selalu menenun angan agar suatu saat nanti, engkau membawaku ke depan altar suci dengan gaun pengantin yang sangat anggun.” Tetapi dia hanya terpapar diam membisu. Dia hanya menatap bayangan ranum sang senja yang merasa asing dengan peraduan jingganya sendiri.

Baca Juga
Hidup Sesuai Tatanan: Mulut Ga Usah Mikir Mau Makan Apa, Itu Kerjaan Otak
Manusia Bisa Bosan Tapi Tuhan Ga

Aku mulai menangisi semua hal yang pernah terjalin dengannya. Hatiku sesak dengan rasa sakit yang kian menyengat. Aku menahan nafasku satu persatu, sambil mengerang, “Tuhan, inikah yang disebut dengan luka?”

Selama ini aku selalu mendendangkan puisi-puisi cinta untuknya: “Aku ingin terus kekal mengenangmu, seperti putik senja yang engkau cinta, yang memaku pahatan rindumu di relung waktu hidupku, yang kini telah terbit dari ufuk harapan tentang hari esok. Bahwa akan tiba masa di suatu saat nanti, kabar-kabar indah yang dibawa oleh sajak kata penuh doa, menjelma menjadi ruang nan teduh tempat noktah-noktah cinta menyatu dalam genggaman kalbu.

Apakah engkau tahu, bahwa antara senja yang ranum dan segumpal rupamu yang menggunung di semesta hati, itu tak kunjung pudar dalam aura waktu masa yang terus menua hingga setumpuk rasaku yang makin menjulang di jagat kalbu, tak lekang bertepi dari kumparan musim yang kian melaju. Seberkas namamu yang masih belum redup dari horizon sukma, kini terasa semakin menyayat sungguh teramat dalam. Angan-anganku yang runyam dan getaran gelombang rasaku yang justru diam-diam memintal harap, suatu ketika kedua tanganku akan melingkar abadi di pelukan.

Di sini, betah sekali aku menantimu. Meskipun terpaan angin mampu membuatku kehilangan nyali, namun, sejengkal pun aku tak pernah lekas mau pergi. Masih dengan gema surau batin yang menyebutmu tanpa henti. Mungkin di kemudian hari nanti, ketika aku berbaring sekarat seorang diri, aku akan merangkai seluruhnya lagi. Tetapi di sela-sela rajutan sajak-sajak ini, engkau tak akan letih kucari-cari.

Di sini juga selalu tabah aku menunggumu. Walaupun tirisan hujan sanggup luluhkan keberanianku. Tetapi, sejentik pun aku tak akan sirna untuk berlalu, tetap dengan gaung parau hati yang memanggilmu tiada kelu. Mungkin pula di suatu saat nanti, tatkala aku sudah berkalang di tanah abadi, aku akan menulis semuanya kembali. Namun, dalam celah-celah tumpukan bait-bait ini, engkau tak akan lelah kunanti-nanti.

Baca Juga
Kenapa Orang Suka Mengeluh?
Kebebasan Berpendapat

Aku hanya berharap satu hal padamu, bahwa jika fajar pagi mulai terbit di ufuk timur, janganlah engkau halang embun-embun bening yang akan berjatuhan dari pelepah dedaunan. Jika juga kabut-kabut hitam sudah bergerombolan di atas langit, jangan pernah engkau kekang hujan-hujan tipis yang akan mengguyuri bumi. Sebab, bagiku, engkau adalah setangkai senja kecilku, yang selalu merona di temaram hatiku, lalu rindu untuk engkau sentuh dan engkau timang. Jangan pernah engkau cemas. Biarkan derita hidup, kurengkuh sendiri dan bagimu cukuplah bahagia semata. Jika mencintaimu adalah takdirku, penjarakan aku dalam hatimu satu untuk selamanya.

Aku ingin bersaksi kepadamu: Engkau adalah setitik rindu yang renyai di hatiku. Gubuk yang kuimingkan berpunca padamu, baluh yang kuangankan bersua denganmu dan bahagia yang kuakadkan abadi bersamamu. Jangan lagi engkau bimbang, pinisan duka rela kuseka sendiri dan bagimu cukuplah sukaria belaka. Mimisan luka juga sudi kubasuh seorang diri, untukmu hanyalah sukacita semata.”

Tetapi, kemudian aku tersadar. Meskipun rasanya itu adalah mimpi walaupun bukan mimpi, aku tak punya hak untuk menahannya di sisiku.

 “Baiklah. Aku memang tidak bisa memaksamu sesuai keinginanku untuk bahagia bersamaku. Aku tahu, aku adalah seorang pengecut yang tidak bisa menjaga hatimu. Jujur, aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya mengutuk dan mencaci maki diriku. Mengapa aku bisa se-egois ini mencintaimu? Mengapa hati ini tak mampu membangun jeruji-jeruji kuat dan kokoh untuk kediamanmu?”

Air mataku mengalir deras tiada henti. “Aku hanya memintamu satu hal saja. Bila dalam hitungan hari bahkan rangkaian bulan-bulan selanjutnya, tatkala aku masih merindukanmu, tolong hargailah. Bila mimpi-mimpiku masih berkubang bersamamu, kumohon izinkanlah. Sebab, itulah satu-satunya cara menghibur hatiku yang terdampar di semenanjung pilu.”

Baca Juga
Kalo Lapar ya Makan Bukan Curhat
Berteman Baik dengan Masa Depan

Aku memang tidak pernah membencinya sama sekali. Tak niat sekalipun untuk menyimpan bara api dendam di dalam hatiku. Yang terpenting aku sudah menikmati apa arti sebuah kesetiaan dan bagaimana aku harus berdiam, bertahan dan bersabar di dalam dan untuk kesetiaan itu. Dan aku pun sadar, cinta sejati tidak pernah mengekang dirinya untuk satu orang saja, tidak juga menuntut sebuah term egoisme di dalamnya. Cinta yang hakiki, justru akan dicapai tatkala orang yang dicintai bahagia dengan pilihan dan keputusannya sendiri. Bukankah cinta itu sabar, murah hati, tidak mengharapkan sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu dan tidak bermegah di atas kesalahan orang lain? Tetapi, manakala aku mengingat semuanya itu, pedih dan perih rasa sakit yang harus ditanggung oleh hati ini. Rasanya seperti ditusuk timah panas, berdekut bisu namun tetap membekas.

Waktu demi waktu, aku berusaha dan berjuang untuk bangkit dan berdiri kembali, perlahan-lahan mengayun kembali langkah di atas serpihan kenangan usang sembari menganggap kalau dia yang pergi dari palung hatiku bukanlah akhir dari kisahku, melainkan hanya semata akhir dari ceritanya dalam hidupku.

Meskipun butuh waktu untuk bisa bangkit dan berdiri kokoh kembali sambil terus mengemudi harapan yang sejalan dengan tumpukan-tumpukan pertanyaan, mengapa aku harus berjumpa denganmu, tetapi berujung pada pinisan duka dan mimisan luka? Mengapa pula engkau pertahankan cinta, jika hanya untuk berpisah saja? Aku hanya bisa menatap langit-langit buram dan menjalani hari-hari yang suram.

Dea mengakhiri kisahnya dengan tumpahan air mata yang kelu. Aku melihatnya menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya kembali. Aku tahu Dea sangat terluka dan berduka atas kepergian sosok yang sangat dia cintai.

“Dea, jangan sia-siakan air matamu. Buatlah air matamu berharga, untukmu dan untuk kehidupanmu selanjutnya dan untuk orang-orang sekitarmu yang bakal hadir dengan cinta yang baru dan lebih indah.” Aku mencoba merangkai beberapa petuah yang mungkin dapat menghibur lara hatinya.

Baca Juga
Hidup Baik Datang Dari Dedikasi yang Baik
Tuhan Ga Pernah Kasih Kita Virtual Reality

“Percayalah, dari balik jendela hatimu, masih ada secercah cahaya, sebutir embun dan sesejuk angin. Jangan pula engkau menangis untuk semua yang telah terjadi, tetapi tersenyumlah karena semuanya pernah terjadi. Engkau memang tak mungkin memutar kembali haluan sang waktu, sebab ia tidak pernah tersusun rapat dalam genggamanmu. Tetapi mungkin engkau dapat memulainya kembali, di mana engkau berada dan mengubahnya. Tiada guna pula menawan memori-memori lama, apalagi menjadi tawanan kenyataan. Biarkan itu menjadi guru terbaik yang telah mengajarkan indah dan perihnya terluka.

 Rajutlah mimpi-mimpi putihmu, hingga harapanmu mampu membelah cakrawala biru, dan pilihlah sisi hikmah, bukan musibah. Jadilah selalu seperti bunga, yang memberikan keharuman bahkan kepada tangan-tangan yang telah merusaknya. Belajarlah dari hujan meskipun jatuh berkali-kali, ia tetap dirindukan oleh rumput-rumput kering yang meranggas. Sebab, sesempurna apapun cinta yang engkau jalani, ia tetaplah cinta yang menyimpan sisi-sisi misteri yang tak mungkin engkau ingkari adanya.”

Ya, Dea, kemarin memang kisahmu, kisah tentang indahnya cinta dan nikmatnya hari-harimu bersamanya. Aku tahu, cinta memang masih sebuah misteri. Tetapi, percayalah, cinta yang sama akan mengajarkanmu suatu kebahagiaan yang melebihi kebahagiaanmu dulu yang kaualami bersamanya. Cinta memang tak harus berarti memiliki dan cinta tak harus saling menyatu. Itulah cinta. Misteri.

Cinta kerap membawa pinisan duka dan mimisan luka. Mudah sekali untuk jatuh dan mengembara bersamanya, tetapi akan sangat susah membubuhkan tanta titik untuk mengakhirinya. Mudah terpesona terhadap keindahannya, tetapi mudah pula tercabik-cabik oleh keganasannya. Cinta memiliki jalan dan takdir sendiri. Susah sekali ditebak. Sama seperti angin yang tak tahu dari mana datang dan kemana perginya.

Saat ini, engkau mungkin masih bisa merasakan hangatnya kebersamaan bersama cinta. Tetapi, akan tiba masanya juga, misteri waktu merenggutnya dari mahkota anganmu, tanpa meninggalkan jejaknya sedikitpun, tanpa pula memikirkan bagaimana sulitnya engkau melupakannya. Engkau mungkin bakal berteriak sekeras mungkin atau bakal berlari secepat kilat atau menangis seperti hujan tetapi cinta tak akan menghiraukanmu. Dia akan tetap berlalu, hilang lalu lenyap dari pandanganmu. Itulah jalan dan takdir sebuah cinta.

Baca Juga
Gimana Cara Lepas Dari Rasa Bersalah
Cinta, Kasih Sayang, Nilai, dan Prinsip Hidup

Cinta akan menuntunmu dan membawamu pada sebuah pertualangan panjang untuk mencintai dalam pinisan duka dan mimisan luka. Engkau tak mungkin mengelaknya. Tak mungkin juga berlari meninggalkannya. Yang dilakukan hanyalah mencari jalan terbaik untuk membasuh dan mengobati sekaligus menikmati setiap goresan-goresannya.

Jika engkau tak pernah mengetahui bagaimana harus terjatuh dalam pinisan luka dan mimisan luka dalam mencinta, engkau mungkin kehilangan sebuah makna yang sangat mendalam dari rasa cinta itu. Cinta itu ibarat emas yang harus selalu dimurnikan agar terlihat kilau mempesona, atau seperti belati yang terus menerus diasah untuk mendapatkan ketajamannya. Yang paling penting engkau akan kehilangan cara tentang bagaimana membuat cinta tetap bertahan dalam pelupuk hatimu. Engkau harus siap melepaskan sebagaimana engkau siap menyongsong kehadirannya.

Jika engkau bersaksi, aku tak memiliki resep untuk menyembuhkan luka akibat cinta, engkau bohong. Sebab, sama halnya seorang dokter yang sudah menyediakan obat ketika engkau jatuh sakit, demikian pun engkau sudah memiliki obat dan resep tersendiri ketika engkau jatuh cinta. Dengan begitu, engkau tidak akan jengah apalagi takut terhadap cinta. Supaya engkau juga tidak berhenti mencintai hanya karena seseorang pamit untuk pergi berlalu dari gubuk hatimu. Manakala engkau ingin berkubang dalam cinta, engkau harus menyiapkan resep dan obatnya, agar saat engkau jatuh cinta lalu ada luka yang tergores, engkau sudah punya resep dan obat tersendiri untuk menyembuhkan luka-lukanya.

Hingga, ketika kisahmu berakhir dengannya, lembaran-lembaran kisah hidupmu tidak turut berakhir bersamanya. Ketika mulai memanjat bukit-bukit cinta, engkau harus menyiapkan sapu tangan kecil untuk mengusap tetesan peluh-peluh letihmu dan air mata lelahmu yang jatuh gara-gara cinta yang mungkin belum sempat engkau menggapainya.

Cinta akan membuatmu jatuh dalam pinisan duka dan mimisan luka. Tetapi janganlah takut jatuh cinta. Cinta akan mengajarkanmu bagaimana perihnya luka, bagaimana engkau bergulat dengannya hingga cinta itu akan datang lagi menghiburmu dengan melantunkan ayat-ayat cintanya. Hingga engkau akan bersaksi, aku telah diselamatkan oleh cinta. Janganlah cemas terhadap cinta. Luka cinta memang sungguh susah disembuhkan. Biarpun sembuh, bekas-bekasnya masih tetap menempel di sampul-sampul hatimu. Tetapi akan sangat bermakna karena dengan cinta engkau mampu bertahan dalam setiap derap langkahmu yang penuh warna-warni keindahan. Yakinlah, cinta yang sama akan hadir menyembuhmu dan membawamu kepada fajar pagi yang cerah.

Punya cerita tentang tulisan ini?
Silahkan komen dibawah ya.

Apapun mesin pencarinya.
kekitaan sumbernya.

Semoga bermanfaat.
Seneng bisa berbagi.

pasangIN iklanmu disini!

GRATIS iklan pertama.
Bonus review produk untuk 27 pengiklan pertama.

Terimakasih
canva.com
dibuka pukul 10:27 WIB pada hari Kamis tanggal 16 September 2021

karya penulis tulis
Yuk mulai #hidupdariKARYA

Kata kunci lain yang sering dicari…
tulisIN, September 2021, September, 2021,
Mario_A.R, Luka-Luka Cinta,



Terbit

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan