BEBAS | BEBAS Episode 1

#CerpenKita Episode 1

“Gua ngasih kekebasan ke lo mau telfon dengan siapapun. Tapi, nggak usah bohong jugak dengan lo pamitan ke gua tidur!!!” Ucapnya dengan penuh kekesalan.

​”Terus aja kamu berprasangka buruk ke aku. Kenapa kamu nggak pernah bisa ngerti sih?”

​Perempuan itu mengeryitkan dahinya. Ia tidak menyangka bahwa kata tidak pernah mengerti akan keluar dari mulut laki-laki yang tengah berdiri di depannya. Dirgantara Alfa Pradila.

​”Nggak pernah ngerti?” tanya perempuan itu kembali memastikan.

​Jelas saja, laki-laki itu hanya menaikkan salah satu alisnya. Heran, melihat perempuan itu merubah raut wajahnya. Yang tadinya merah padam, kini menjadi datar dengan senyuman menyungging di sudut bibirnya. Kemudian, perempuan itu terkikik ringan menundukkan kepalanya, dan memainkan lidahnya ke arah gigi geraham atas. Dan, kembali menatap Dirga dengan tatapan matanya yang penuh dengan makna. Tentu saja, tatapan mata itu menunjukkan ketajaman yang lebih dari saat perempuan itu marah.

​”Jangan ganggu aku lagi untuk sementara waktu. Kita break aja udah,” ucapnya perempuan itu dengan nada suaranya yang berubah. Suaranya kali ini, berat dan dalam. Khas perempuan. Tanpa berteriak dengan wajahnya yang datar, tatapan matanya yang tajam, dan nafasnya yang tenang dan suaranya membulat seketika. Sarkatis.

​Perempuan itu pergi meninggalkan Dirga yang masih berdiri di sana. Perempuan itu, tidak menyangka bahwa, usia hubungannya akan menjadi runyam seperti ini. Ia mengira, bahwa memiliki kekasih dengan usia yang empat tahun lebih tua bisa meminimalisir sebuah konflik. Tapi nyatanya, tidak juga.

​Ia juga mengira bahwa, selama ini ia memberikan Dirga sebuah kekebasan paten untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Bahkan, dengan seorang perempuan lain sekalipun selain dirinya. Tentu saja dengan sebuah komitmen bahwa Dirga tidak membagi hatinya.

​Baiklah, bisa dibilang pertengkaran barusan merupakan hal yang konyol untuk dipermasalahkan. Dirga yang menelfon temannya malam-malam begini dengan alasan ia  tidur. 

Tapi baginya, sebuah hubungan akan menjadi tidak sehat dengan adanya sebuah kebohongan kecil. Ia ingin memperbaiki hubungan itu dengan membicarakan bagaimana maksud Dirga. Entah dengan Dirga meminta maaf atau sejenisnya. Tapi, yang ia dapat justru makian tentang sebuah hal yang menyangkut pengertian.

​”Pengertian? Tch!!!” Decahnya sembari memegang kemudi mobilnya.

​”Lalu, selama ini aku memberikan intruksi pada diriku sendiri bahwa duniamu bukan hanya aku, kemudian aku bertindak memberikan kebebasan untukmu apa? Lo pikir mudah buat gue berperilaku netral aja kalau lo lebih memilih perempuan yang lo bilang temen itu dapet waktu untuk lo telfon lebih lama sedangkan gua enggak? Gua berusaha keras untuk itu semua dan alhasil dapet makian kek begitu? Bravo,” ocehnya selama di jalan.

​Pikirannya melayang entah kemana, ia masih teringat dengan semua ucapan Dirga yang terlontar mengenai pengertian. Sampai akhirnya, ia terbesit untuk pergi ke supermarket membeli ice cream. Ia berpikir untuk menenangkan diri dengan memakan makanan dingin dan manis.

​”Devina?!”

​”Hanny,” panggil perempuan itu.

​”Oh Tuhan, lo ngapain malem-malem jam segini beli ice cream? Dingin-dingin gini lagi cuacanya?”

​Belum sempat Devina menjawab pertanyaan Hanny, Hanny sudah menyipitkan matanya dan menarik Devina ke kasir. Kemudian, mereka keluar dari supermarket dan menyudahi acara belanja mereka.

​”Lo bertengkar lagi sama Dirga?” tanya Hanny.

​Devina menaikkan kedua alisnya. Kemudian, menghembuskan nafas beratnya.

​”Kita ke caffe bentar. Lu harus cerita ke gua,” pinta Hanny dengan menarik Devina dan berjalan beberapa meter ke arah Caffe yang tak jauh dari supermarket itu.

​Yah, Hanny memang mengetahui seluk-beluk hubungan Devina dan Dirga. Bahkan, mulai dari awal pertemuan mereka sampai dengan titik konflik di setiap hubungan mereka berdua.

​”Dua hari ini Dirga aneh banget. Tiap jam sepuluh malam, dia nggak bisa angkat telfon. Dan, baiklah yang pertama dia bilang itu dari keluarga dan video call grup. Dirga kalau dari keluarga suka ngasih screen shoot. Tapi terakhir, ngirim gambar yang pernah dikirim di hari yang udah lama. Kemudian, yang kedua barusan tadi dia juga nerima telfon. Tapi, dari temen. Dua perempuan. Sama, kebiasaan buat kasih screen shoot hilang. Gua nggak permasalahin itu sih. Lu tahu sendiri, gua orangnya kalau pacaran liberal. Tapi yang nggak bisa gua terima. Dirga sebelum telfon temennya, dia pamit tidur ke gua Han. Terus, firasat gua nggak enak kan. Gua telfon lah Dirga. Awalnya nggak aktif. Mungkin karena sinyal tabrakan. Karena, pas dia alasan dengan keluarga posisi gua telfon emang isinya memanggil seolah-olah dia nggak aktif. Gua coba tanya, dialagi telfon siapa. Ngaku kalau dia lagi telfon temen.”

​”Oh oke. Gue udah paham titik permasalahan kalian. Karena dia bohong kan?”

​”True!!! Gua nggak masalah Dirga mau main sama siapa aja. Mau perempuan kek banci kek, cowok tulen kek, terserah. Khususnya buat perempuan, gue minta tolong jangan sampai main hati dan berbagi hati. Udah. Itu doang kok permintaan gua. Dan menurut gua, masalah bohong nggak bohong, dia udah besar kan. Usia 25 tahun. Masih nggak bisa bedain resikonya kek mana? Bagi gua, hubungan gua udah mulai nggak sehat Han. Sebab apa? Dia yang meminta agar resiko konflik di minimalisir. Tapi, dia nggak mau berjuang sama-sama buat meminimalisir. Dia bertindak sesuka hati dan nggak peduli respon gue kek mana.”

​”Tindakan lu apa buat Dirga.”

​”Gua break. Gua pengen intopeksi diri dan menenangkan diri aja. Lo tahu sendiri, dia suka main kucing-kucingan. Masih inget kan kejadian gua dibaperin sama cowok lain terus respon dia gimana? Gua memilih jujur karena gua juga mikirin perasaan dia. Gua jujur juga mikir pakai logika, daripada ntar gua bohong terus dia tahu kebenarannya sendiri, malah lebih sakit kan? Gua ngambil semua keputusan, itu pakai otak. Nah dia? Kalau memang dia mikir perasaan gua, seburuk apapun dia bakalan jujur.”

​”Itu hal kecil lo besarin?” tanya Hanny.

​”Bukan gua besarin. Gua kuliah pendidikan tapi nggak bisa mendidik orang-orang sekitar gua rugi bayar mahal-mahal. Mending jadi dokter aja, gua nyembuhin orang sakit. Emang, gua bukan hakim yang berhak memberikan keputusan itu untuk menghukum Dirga demi kebaikan. Tapi paling enggak, dia sadar lah kalau bohong itu salah. Gua juga emang nggak luput dari salah ataupun bohong. Tapi untuk sesuatu yang ditutupin sekecil itu, bakal nanti ngerembet kemana-mana. Jadi, gua pikir ini pilihan yang tepat.”

​”Fine. Gua tahu gimana pemikiran lo. Emang gua nggak pernah pacaran seserius itu. Jadi, kalau emang gua udah nggak cocok di hati yaudah, gua bakalan say good bye ke dia dan lebih memilih buat sigle. Tapi, emang lo yakin buat hidup tanpa dia? Hubungan kalian udah jauh. Yakin nggak mau memperbaiki?”

​”Ini adalah cara gua memperbaiki, Han. Sampai kapan gua nurutin egonya dia? Logikanya dia? Bagi gua, kebebasan yang selama ini gua berikan, itu di sia-siakan. Jadi, gua bertindak sesuai dengan logika gua kali ini. Bukan perasaan gua. Ya walaupun, pada ujung-ujungnya gua bakalan kesakitan sendiri buat menetralkan perasaan dan nggak mikirin dia.”

​Hanny menghela nafasnya ringan. Kemudian, Hanny menyandarkan punggungnya yang terasa begitu tegang setelah mendengarkan pendapat dan pemikiran sahabatnya Devina. Ada satu hal yang ditangkap oleh Hanny. Devina dan Dirga berusaha memperjuangkan hubungannya. 

Devina yang play girl mulai memberikan sikap serius ke dalam hubungannya dengan Dirga dengan tidak memberikan ikatan terlalu erat mengenai relasi Dirga dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan Dirga bertindak sesuai dengan logikanya sehingga memiliki takaran yang berbeda dari takaran komitmen yang dijalin oleh Devina. 

Memang, ada satu hal pelajaran yang menurut Hanny dapat di ambil. Satu kebohongan kecil, akan muncul kebohongan-kebohongan lainnya yang nantinya takaran kecil itu dapat menumpuk lebih banyak daripada sebelumnya. Tentu saja, bisa merugikan salah satu pihak yang saat ini tengah berjuang untuk menjadi pribadi yang menunggalkan hubungan.

​Memang, Hanny merasa tidak mudah menjaga hubungan. Maka dari itu, ia lebih memilih untuk menghindar dari sebuah hubungan yang serius. Tapi, berbeda dengan Devina. Ia sudah memberanikan diri untuk masuk ke dalam hubungan komitmen yang serius dimana ia menunggalkan satu hubungan saja.

​Kalau ditelisik, perkara yang baru saja Devina sajikan, seolah-olah ia memberikan dampak ‘masalah kecil dibesar-besarkan’. Tapi, bagi Devina, kebohongan kecil itu akan menjadi bagian dari kebohongan-kebohongan lainnya yang akan menjadikan hubungan mereka tidak sehat.

​”Baiklah. Aku setuju dengan keputusanmu kali ini Dev. Sebab, pemikiranmu sudah jauh bahwa kebohongan Dirga bisa saja menjadi bagian awal kehancuran hubungan kalian berdua. Dan, menurutku benar juga kalau ini adalah caramu untuk mendidik Dirga.Ya walaupun, jenjang pendidikan Dirga lebih jauh tinggi daripada pendidikan yang lo emban.”

​Devina meletakkan garpunya setelah ia menelan dessert yang telah ia kunyah barusan. Devina membenarkan duduknya, dengan menyilangkan kaki jenjangnya. Ia menatap Hanny dengan tatapan yang lebih tenang dari sebelumnya.

​”Gue percaya, saat hubungan itu sudah memberikan chemistry di dalam diri lo. Maka, lo bisa merasakan gelombang negatif kalau hubungan lo lagi di ambang kehancuran. Dan, kalau lo menggunakan perasaan lo maka lo yang akan sepenuhnya sakit sebab lo akan berpikir bahwa selama ini hanya lo yang berjuang sendirian dan dia enggak. Alhasil, lo sendiri yang ngerasa capek kan? Tapi, kalau lo bergerak menggunakan logika lo paling tidak lo bisa menyadari strategi apa yang harus lo terapin buat berdua. Tentu saja, strategi itu harus baik untuk berdua. Bukan satu pihak aja.”

​Hanny menganggukkan kepalanya dan mengangkat kedua alisnya untuk menyetujui bagian yang dijelaskan oleh Devina. Dan, benar. Dengan menyeruput cappuchino itu, Hanny meneguk aroma bahwa hubungan sahabatnya itu, telah melalui banyak hal hingga ia bisa menunggalkan satu hubungan saja. 

Yah, meski pada akhirnya nanti entah benar atau tidak, Devina akan bisa menjadi player kembali dan enggan untuk merubah dirinya lagi sebab usahanya sudah dihianati.

Bisa kembali memang. Tapi, tentu saja membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengembalikan barang yang rusak. Bahkan, itupun tidak sepenuhnya akan kembali utuh. Bisa saja benda itu kembali rusak sewaktu-waktu.

Cerpen Lainnya
Ini Aku : #CerpenKita Episode 1


Terbit

dalam

oleh

Comments

Tinggalkan Balasan