Awal Mula Drama di Tanah Air

Kali ini, mari kita mengetahui sejarah drama di Indonesia. Pasti kalian penasaran bukan, bagaimana awal mula hadirnya drama di tanah air?

  1. Sastra Drama Melayu-Rendah (1891-1940)

Drama di Indonesia dimulai pada tahun 1891, dengan hadirnya Komedie Stamboel. Rombongan drama modern pertama tersebut dibentuk oleh August Mahieu dan Yap Goan Tay. Keduanya merupakan orang-orang Cina peranakan Tionghoa yang telah terputus kulturnya dengan Cina, namun belum berakar betul dengan budaya pribumi. Mereka mencari budaya baru dalam hiburan hingga hadirnya Komedie Stamboel tersebut.

Sampai tahun 1901, Komedie Stamboel belum juga melahirkan sastra drama, dalam arti belum memiliki cerita yang diungkapkan secara tertulis lewat dialog. Setiap pementasan, cerita masih dituturkan oleh progammameester (semacam sutradara) dan setiap pemain harus menciptakan dialognya sendiri.

Baru pada tahun 1901, seorang pengarang bernama F. Wiggers menulis sebuah naskah drama yang berjudul Lelakon Beij Soerio Retna dalam bentuk satu babak.

Sastra drama asli yang benar-benar modern dalam bentuknya adalah karya pengarang roman Melayu Rendah yang terkenal bernama Kwee Tek Hoay berjudul Allah jang Palsoe terbit 1919. Buku drama tersebut dicetak 2.000 eksemplar, dan sejak saat itu berkembang sastra drama Melayu Rendang golongan Tionghoa ini.

  1. Sastra Drama Poejangga Baroe (1926-1939)

Babasari merupakan karya sastra drama pertama yang ditulis dengan bahasa Indonesia standar dan ditulis oleh orang Indonesia, yaitu pengarang Roestam Effendi pada tahun 1926. Berbeda dengan sastra drama orang-orang Tionghoa yang kebanyakan dialognya ditulis dalam bentuk prosa, maka Babasari ditulis dalam bentuk sajak.

Selain naskah drama tersebut, terdapat pula beberapa naskah drama yang hadir pada angkatan ini. Mulai dari naskah drama berjudul Ken Arok dan Ken Dedes (1934) yang ditulis oleh Mohamad Yamin, Kalau Dewi Tara Sudah Berkata. Selain itu, Sanusi Pane juga menulis beberapa judul naskah, yaitu Airlangga (1928), Enzame Garudaflucht (Garuda Tervang Sendirian, 1932), keduanya ditulis dengan bahasa Belanda, Kertajaya (1932). Arminj Pane menulis Lukisan Masa (1937). Setahun di Bedahulu (1938), dan Nyai Lenggang Kencana (1939). Pengarang Ajirabas juga menulis Bangsacara dan Ragapadmi.

  1. Sastra Drama Zaman Jepang (1941-1945)

Mula-mula berkembang rombongan sandiwara profesional. Namun, karena Jepang sangat anti terhadap budaya Barat sehingga melenyapkan semua bentuk hiburan yang berbau Belanda. Tetapi menjelang penduduk Jepang muncullah rombongan sandiwara amatir (sandiwara penggemar) Maya dibawa Usmar Ismail dan D. Djajakusuma.

Beberapa penulis drama yang penting pada masa ini yakni El Hakim atau Dr. Abu Hanifah yang telah menulis drama sejak tahun 1943 yang berjudul Taudan di atas Asia, Intelek Istimewa, Dewi Reni, Insan Kamil, Rogaya dan Bambang Laut. Usmar Ismail menulis Citra (1943), Liburan Seniman (1944). Api (1945), dan lain-lain. Sedangkan Armijn Pane menulis Kami Perempuan (1943), Antara Bumi dan Langit (1944), Baran Tiada Berharga (1945), Idrus menulis Kejahatan Membalas Dendam, Jibaku Aceh (1945), dan Dokter Bisma (1945). Amal Hamzah menulis komedi berjudul Tuan Amin (1945).

  1. Sastra Drama Sesudah Kemerdekaan (1945-1970)
  2. Tahun 1950-an

Pada tahun 1950-an penulis drama yang muncul antara lain novelis ternama Achdiat Kartamihardja menulis Bentrokan dalam Asmara (1952), Keluarga Raden Sastro (1954), Pakaian dan Kepalsuan (1954), dan Pak Dullah in Extremis (1959), dan Puncak Kesepian. Aoh K. Hadimadja menulis Lakbok dan Kapten Sjap. Sri Martono menulis Genderang Bratayudha, dan Rustandi Kartakusumah menulis Prabu dan Puteri (1951).

Tokoh penulis drama paling produktif pada masa ini ialah Utuy Tatang Sontany yang telah menulis sejak masa revolusi. Drama-dramanya sangat banyak, antara lain Awal Mira (1951), dan Di Langit Ada Bintang (1955).

  1. Tahun 1960-an

Kecuali Utuy Tatang Sontany, penulis drama pada tahun 1950-an mulai banyak yang mengundurkan diri, atau tidak menulis lagi. Sedangkan banyak juga penulis baru yang hadir yaitu Motinggo Busje yang menulis Sejuta Matahari (1960), dan Barabah (1961)

Pada tahun ini ada tiga kota yang terkenal dengan perkembangan dramanya, yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Di Jakarta terdapat penulis drama Asrul Sani dan Steve Liem, di Bandung terdapat penulis Jim Lim dan Suyatna Anirun, sedangkan di Yogyakarta terdapat banyak teater, mulai Teater Muslim, Teater Kristen, dengan para penulis naskah Arifin C. Noer, Harymawan, Moh, Dipenegoro, dan Ws Rendra

  1. Sastra Drama Mutakhir

Berdirinya Dean Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki sangat berpengaruh dengan perkembangan drama mutakhir. Dewan ini diawali dengan pembentukan akademi Jakarta tahun 1968.  Tokoh yang sangat menonjol dan memperlihatkan sastra drama mutakhir adalah Putu Wijaya. Jauh sebelum tahun 1970-an, Putu Wijaya sudah mulai menulis naskah yang konvensional. Beliau pernah bergabung dengan Bengkel Teater Rendra tahun 1967, juga Teater Kecil-nya Arifin C Noer, dan Teater Populer-nya Teguh Karya. Namun akhirnya, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri. Drama-drama yang dikenal konvesional karya Putu Wijaya antara lain Dalam Cahaya Bulan (1964), Bila Malam Bertambah  Malam (1965), Burung Gagak (1966), Almarhumah (1969).


Terbit

dalam

oleh

Tags:

Comments

Tinggalkan Balasan