Laki-laki seluruhnya mencintaimu demi diri mereka sendiri. Aku mencintaimu demi untuk dirimu sendiri.
-Kahlil Gibran-
Episode sebelumnya …
“Kapan kau datang, Nak?” tanya Ramos saat ia menyadari bahwa Tulus telah berdiri di sampingnya. Berdiri dengan pandangan mata yang tak pernah lepas dari gerakan tangan seorang remaja laki-laki di desa itu. Remaja laki-laki itu tengah menggarap beberapa bagian yang menjadi bagian dari pelatihan.
“Kau suka?” tanya Ramos kembali saat Tulus tak menggubris pertanyaan sebelumnya. Semua itu ia lakukan setelah melihat Tulus yang tak berkedip melihat gerakan tangan remaja laki-laki itu.
Rendy menggerakkan siku tangannya ke pinggang Tulus untuk menyadarkan lamunannya. Sungguh, kejadian ini kembali terulang kembali. Dimana saat Tulus tengah fokus dengan apa yang tengah ia pelajari Tulus tidak akan mendengarkan apapun sampai ia menemukan jawaban akan apa yang tengah ia pelajari.
Kesadaran Tulus kembali. Dirinya yang merasa terganggu, menolehkan kepalanya ke arah Rendy yang menjadi gangguan untuknya. Rendy memberikan jawaban dengan menatap muka Tulus bahwa ia tidak mengganggu konsentrasinya. Melainkan, mengingatkan bahwa Ramos melemparkan pertanyaan kepadanya. Rendy memberikan kode dengan menggunakan dagu yang ia angkat ke arah Ramos.
Ramos menyadari hal itu. Sehingga, Rendy mengulang kembali kode yang ia berikan kepada Tulus menggunakan lirikan matanya. Tulus yang mulai mengerti apa yang dimaksud Rendy, berganti menolehkan kepalanya ke arah Ramos dan menyengir kuda. Ia juga menggaruk tengkuknya yang tak lagi gatal.
“Oh… Maaf. Bagaimana Among?” tanya Tulus saat ia mendapatkan lirikan mata dari Rendy mengenai pertanyaan yang diberikan oleh Ramos.
Ramos menggelengkan kepalanya berulang kali. Kemudian, membelai puncak kepala Tulus dan mengacak rambutnya yang panjang seperti perempuan itu. Tentu saja, rahangnya yang tegas, tidak menunjukkan bahwa Tulus adalah perempuan.
“Apa yang kamu pikirkan barusan? Adakah yang menyulitkan kamu, Nak?” tanya Ramos mengganti pertanyaan yang menurutnya hal itu lebih penting untuk dipertanyakan saat ini.
“Among lihat remaja laki-laki itu? Dia lihai sekali dalam melakukan pekerjaannya,” ucap Tulus.
“Lalu?”
“Bagus. Hanya saja, seperti ada yang tidak beres,” terang Tulus.
“Bisa kau jelaskan ia tidak beres mengerjakan pekerjaannya di bagian yang mana?”
Tulus terdiam. Ia mengacak pinggang dan tetap menatap remaja laki-laki itu. Tulus berusaha menemukan jawaban untuk diberikan kepada Ramos.
“Tidak ketemu? Lalu apa yang membuat kamu berkata demikian?” tanya Ramos masih mendorong Tulus dengan pertanyaan.
“Nggak tahu kenapa, hati Tulus mengatakan kalau ada yang salah dari apa yang dia lakukan. Atau apa yang akan dia lakukan,” terang Tulus.
“Oh… jadi kau hanya menggunakan feeling sebagai penilaianmu?” tanya Ramos.
“Untuk saat ini masih iya, Among.”
Ramos membalikkan tubuhnya ke arah yang berhadapan dengan Tulus. Menatap Tulus dengan nafas beratnya. Tulus yang menyadari itu, berkomunikasi dengan bahasa tubuhnya, dimana ia ingin mengatakan kenapa.
“Tulus, bersediakah kau dengarkan Amongmu mengenai hal ini. Jangan jadikan ini sebagai suatu nasihat. Tapi, kritikan mengenai cara pandang. Terserah kau menganggap apakah ini merupakan pendidikan atau tidak yang akan Among tanamkan kepada kau. Atau hanya angin lalu yang hanya bisa menambahi beban pikiranmu saja,” ucap Ramos hati-hati.
Tulus yang memahami hal tersebut, ia menggerakkan tubuhnya dengan arah yang sama dengan Ramos. Sehingga, kini keduanya tengah saling berhadapan.
“Tentu saja aku berkenan mendengarkan apa yang hendak Among katakan,” ucap Tulus dengan nada seriusnya.
“Dalam sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan untung dan rugi, seperti bisnis misalkan, tidak dapat hanya kau ramalkan bahwa pekerjamu memiliki sesuatu yang tidak beres. Hal itu pasti ada. Paling tidak temukan dulu apa yang menurut kamu tidak beres itu. Kemudian, cari solusi dan berikan. Nggak hanya itu aja, Nak. Terkadang, kamu juga harus bisa menandai apakah pekerjamu adalah musuhmu. Karena, semakin tingginya kompetensi yang dimilikinya. Baik itu yang kita berikan atau tidak. Hal itu bisa menjadi belati yang memakan tuannya.”
“Kenapa demikian? Bisa jadi, kompetensi yang ia miliki lama-lama tidak akan sesuai dengan apa yang kita bayarkan. Nah, permasalahannya sekarang, bisa jadi dia akan mengikuti perusahaan atau suatu pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya, namun memberikan bayaran yang lebih tinggi daripada kita. Dan bisa jadi, apa yang sudah diberikan dia kepada perusahaan kita, juga akan diberikan kepada perusahaan yang berani membayar kompetensinya dengan harga tinggi. Itulah yang dinamakan loyalitas kerja,” jelas Ramos mengakhiri.
Tulus terdiam mendengarkan. Ia merogoh sakunya. Kemudian, ia mengambil karet gelang untuk menguncir rambut panjang ikalnya menjadi ikatan yang dapat membuat kulitnya menyambut belaian udara.
“Among!” seru Burju seraya berlari mendekat ke arah Ramos.
“Kenapa kau lari-lari begitu?” tanya Ramos dengan kedua tangannya yang berada di belakang tubuhnya.
“Burju hendak berpamitan untuk pergi mengejar penerbangan,” ucap Burju dengan mengulurkan telapak tangannya.
“Parulian juga sudah siap?” tanya Ramos dengan membalas uluran tangan Burju. Burju belum lagi menjawab sudah mencium telapak tangan Ramos.
“Sudah, Among.”
“Pergilah. Maaf kalau Among tidak dapat mengantar kalian berdua. Sampaikan pada Parulian kalau aku berterimakasih kepadanya,” ucap Ramos seraya memajukan kakinya selangkah untuk lebih dekat dengan Burju. Ramos mengucapkan hal itu dengan meremas bahu Burju. Berharap apa yang ia harapkan sesuai. Dan, ia menahan hatinya yang trenyuh saat melihat kedua bola mata Burju memerah.
“Terimakasih, Among.”
“Sama-sama. Pergilah. Hati-hati di sana. Jaga diri baik-baik,” ucap Ramos.
“Kau jaga diri, Dek.”
“Iya, Bang. Abang pula begitu,” ucap Tulus rendah.
Burju memundurkan langkahnya perlahan dan satu-persatu. Sampai akhirnya, ia menjauh dari pandangan Ramos dan Tulus. Membalikkan tubuhnya. Berjalan semakin menjauh dan menjauh. Hingga menjadi titik kecil yang menghitam, dan hilang dari pandangan.
Suara pendopo di Balai Desa tetap ramai. Tak terganggu suatu apapun. Ramos yang sejenak meresapi kepergian Burju hanya terdiam dengan menundukkan kepalanya. Begitu juga dengan Tulus.
“Kau tak ingin melihat-lihat dan berbaur dengan mereka, Nak?” tanya Ramos.
Belum sempat menjawab, Ramos mengacungkan jari telunjuk ke arah pojok pendopo.
“Lihatlah, Rendy sahabatmu itu begitu menikmati keramaian ini,” ucap Ramos menambahkan.
“Tulus tinggal dulu Among. Ada sesuatu yang ingin Tulus berikan kepada warga di sini.”
“Pergilah. Berbaurlah dengan mereka dan berikan sesuatu yang memang patut untuk kau berikan. Ingat, ajari mereka pelan-pelan. Jangan sampai kau menyiksa batin mereka dengan satu kesalahan yang mereka buat. Paham kau, Nak?” tanya Ramos.
Tulus menganggukan kepalanya cepat. Kemudian, ia pergi meninggalkan Ramos yang masih berdiri di tempat. Ia masuk ke bundaran yang menggerombol. Masyarakat.
“Asik kali, Nantulang?” sapa Tulus kepada bapak-bapak yang tengah memasukkan produk yang hendak dijual.
“Iya ini,” ucap bapak itu.
“Nak, kau putra Pak Ramos kah?” tanya seorang.
“Iya, Tulang. Saya putra yang terakhir,” jawab Tulus dengan lembut.
“Yang hendak pergi dari kampung ini, kan? Untuk cari tahu dan bawa sesuatu yang baru?” tanya seorang lagi. Kali ini, perempuan. Ia masih muda, dan sangat muda. Kisaran umurnya, seperti lima belas tahun.
Belum sempat menjawab apa yang hendak dijawab oleh Tulus, ada seorang perempuan lagi datang membawa banyak kemasan dan duduk di samping Tulus. Benar saja, kemasan yang akan digunakan untuk memasukkan semua barang produksi habis.
“Benar, Tulus akan berusaha membantu Tulang Ramos memperbaiki perekonomian kita sebab permasalahan kemarin di pasar. Bukan begitu, Tulus?” ucap seorang perempuan itu. Kali ini, ia terlihat satu umuran dengan Tulus.
Segerombolan itu hanya memberikan jawaban yang membentuk kerucutan di bibirnya hingga membentuk huruf “O”.
“Kapan kau akan berangkat, Tulus?” tanya perempuan itu.
“Besok,” ucap Tulus singkat.
“Hmmmm… hati-hati.”
“Iya,” ucap Tulus kembali singkat.
“Kau tak mengenali suaraku?” tanyanya lagi.
“Tidak.”
“Aku, Zania.”
“Oh… Zania. Yang memberikan sapu tangan dengan rajutan namaku itu?” tanya Tulus.
“Benar sekali.”
“Terimakasih.”
“Sama-sama. Semoga bisa bermanfaat untukmu dan kau suka,” ucap Zania.
Tulus menjawabnya dengan dehaman semata. Suara di antara mereka tak lagi keluar sebagaimana riuhnya pendopo di Balai Desa. Tulus yang mulai berkonsentrasi memasukkan barang produksi ke dalam kemasan. Begitu juga dengan yang lainnya.
Sampai akhirnya, suara microfon terdengar. Tulus menghentikan pekerjaannya. Begitu juga dengan yang lain. Semuanya menyimak pengumuman yang tengah diumumkan. Suara itu terdengar begitu jelas. Suara milik Ramos. Yah… Ramos memberikan intruksi bahwa kegiatan akan segera selesai. Mengingat, barang produksi yang hendak dimasukkan ke dalam kemasan sudah habis. Sedangkan kemasan masih tersedia.
“Setelah ini memangnya di apakan, Tulus?” tanya seolah laki-laki yang sudah mulai berumur.
“Akan dimasukkan ke dalam gudang, Nantulang.”
“Lalu?” tanya perempuan yang juga tak terpaut jauh usianya dari laki-laki yang baru saja menanyakan perihal yang sama.
“Akan di pasarkan keluar.”
“Maksudnya, Bang?” tanya seorang perempuan yang berusia masih remaja. Perkiraan lima belas tahun.
“Bukan dipasarkan atau dijual di pasar kita sendiri semuanya. Sebagian, akan di jual keluar pulau kita agar kita mendapatkan keuntungan lebih. Sehingga, keuntungan tersebut beberapa persen yang dibutuhkan akan dimasukkan ke dalam kas pasar. Jadi, ekonomi pasar tidak sampai krisis,” jelas Tulus ringan.
Saat semuanya paham, kembalilah mereka mengerucutkan bibirnya dan membentuk lubang seperti huruf “O”. Hal ini menjadi suatu pengetahuan baru bagi Tulus. Dimana apabila bibir mereka membentuk huruf “O” maka mereka sudah mengerti apa yang telah dijelaskan.
Dari sana juga, Tulus mulai mengerti. Memberikan penjelasan tidak semudah membalikkan tangan. Terkadang, bahasa yang dipakai harus dapat dimengerti oleh semua orang. Sehingga, tidak berulang kali memberikan penerangan.
***
Semua orang berbondong-bondong mengangkut barang yang sudah dikemas dengan baik menggunakan kedua telapak tangan mereka. Ada yang menggunakan gerobak agar dapat memuat banyak barang yang sudah dikemas, kemudian didorong bersama agar tidak terlalu berat. Kekeluargaan terlihat begitu nyata di depan mata Tulus. Sekelabat pikirannya, teringat akan mimpi yang akan menjemputnya esok pagi. Tulus mempertanyakan suatu hal. Akankah, di tempat hidupnya nanti, ia akan dapat melihat semua ini?
Tulus berjalan mengiringi mereka. Dari pendopo Balai Desa, ke koperasi yang berada di dekat pasar. Sesampainya di sana, Tulus sudah melihat Ramos, Ayahnya berdiri memegang buku untuk menghitung semua jumlah barang yang sudah dikemasi. Kemudian, memberikan keterangan pada tiap kelompok-kelompok yang sudah dibagi saat berada di pendopo tadi. Bahwa, mereka sepatutnya bekerja sebagaimana mestinya untuk memperbaiki ekonomi pasarnya.
“Kenapa kau membawa begitu banyak? Kau perempuan, masih mempunyai Rahim. Sayangi rahimmu,” ucap Tulus saat ia melihat Zania berjalan ke arah Koperasi Pasar membawa lima kantung plastik yang besar. Semuanya berisi barang produksi yang sudah dikemas.
“Bagaimana jika kau tak membantuku? Bantulah adik kecil itu. Dia lebih berhak dibandingkan aku, Tulus.”
Tulus memajukan langkahnya saat ia berhadapan dengan Zania. Ia menengok ke arah kanan Zania. Benar saja, perempuan remaja itu membawa lebih banyak beban dibandingkan Zania. Tanpa berpikir panjang, Tulus meraih apa yang dibawa Zania. Kemudian, ia berlari ke arah Ramos dan kembali melewati Zania yang masih tertegun. Ia menghampiri perempuan remaja itu. Kemudian, mengambil semua beban yang dibawanya dan kembali berlari seperti saat ia membawakan beban milik Zania.
Kedua perempuan itu tertegun melihat apa yang dilakukan oleh Tulus. Kedua bola matanya seolah-olah menunjukkan bahwa selama ini dugaan mereka salah. Yah… dugaan mengenai bahwa Tulus tidak memiliki hati untuk bisa berbicara dan menolong mereka. Senyuman mereka dari kedua bibir perempuan itu. Ramos yang melihat hal tersebut dari kejauhan hanya bisa tersenyum seraya tetap mengerjakan pekerjaannya.
“Tulus,” panggil Zania.
“Ya?” tanya Tulus menyahuti.
“Boleh, aku bicara sebentar dengan kamu?” tanya Zania dengan tatapan matanya yang tajam.
“Sekarang?” tanya Tulus melihat lingkungan sekitar. Ramai.
“Sedikit menjauh dari keramaian bagaimana? Tidak harus di sini,” ucap Zania yang mengerti akan tatapan Tulus yang mengedar. Ramai.
“Baiklah,” ucap Tulus menyetujui.
Zania melangkahkan kakinya mundur. Membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari keramaian. Sekaligus, dari bangunan yang menyimpan banyak barang yang sudah dikemas. Tulus berjalan mengekor di bekalang Zania. Ia mengikuti langkah Zania. Hingga langkah Zania terhenti dan ia menghentikan pula langkahnya tak jauh dari Zania.
“Mau bicara apa?” tanya Tulus membuka.
“Bisakah aku memberikan hatiku untukmu? Agar kamu bisa menyimpannya dan tidak memberikannya kepada orang lain?” tanya Zania.
“Maksudnya?” tanya Tulus masih tidak mengerti.
“Adakah perempuan yang sudah hadir mendahului aku, Tulus?”
“Dalam hidupku?” tanya Tulus menambahkan dan sedikit mulai mengerti.
Zania menjawabnya dengan bergumam seraya menganggukkan kepalanya.
“Ada.”
“Siapa dia? Apakah perannya dalam masyarakat?” tanya Zania menyelidik.
“Dia, Inong. Ibuku. Perannya dalam masyarakat, sama dengan Among. Kenapa?” tanya Tulus polos.
Zania menundukkan kepalanya seraya tersenyum. Kemudian, kembali menatap Tulus dengan tatapan yang tak dapat Tulus mengerti. Hanya satu hal yang dapat Tulus mengerti mengenai tatapan yang berubah-ubah itu. Kedua bola matanya berbinar. Dan ia tersenyum. Namun, senyumnya sangat dalam dan dikeluarkan dengan ringan. Hanya itu saja. Selebihnya, ia masih tak mengerti dengan anggukan kepalanya.
Helai rambutnya bergerak ke depan seiring angin menerpanya. Rambutnya yang terikat separuh ke belakang kini terdapat beberapa helai yang mengenai matanya. Cepat-cepat Zania menyekanya. Ia memejamkan kedua bola matanya dan menikmati hembusan angin.
“Ada lagi yang ingin kau bicarakan, Zania?” tanya Tulus.
Zania menganggukkan kepalanya. Tatapannya yang berawal menatap kedua telapak kaki putihnya, kini menatap kedua bola mata Tulus.
“Bolehkah, aku menjadi perempuan kedua yang memiliki peran berbeda seperti ibumu? Ini, memang tak seharusnya aku lakukan kepadamu, Tulus. Bahkan, kau sendiri tidak mengenalku. Dan, aku mengenalmu setelah kamu memberikan orasi kepada warga dan berani memberikan tindakan secara langsung kepada warga. Termasuk membuat perubahan kepada kondisi yang begitu sulit hanya untuk kepentingan bersama. Sedangkan, kepentinganmu juga berupakan salah satu beban yang berat.”
“Akan tetapi, Tulus. Aku hanya tidak menginginkan, kamu akan jatuh di hati yang salah di kala kamu telah jauh dari perempuan pertama yang membuatmu tergugah. Aku hanya ingin menjaga hatimu, sebagaimana yang aku inginkan.”
“Tidak. Aku tidak bisa. Dan maaf, aku belum bisa memberikan itu semua. Sedikit aku mengetahui kamu dengan berbincang bersama beberapa orang di saat perjalanan menuju koperasi tadi. Kamu juga hendak pergi meninggalkan wilayah kampung kita untuk menempuh sesuatu yang menjadi keinginan kamu. Tempuhlah! Hiraukan aku.”
Tulus membalikkan tubuhnya. Kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Zania. Akan tetapi, langkahnya terhenti seketika saat telapak tangan yang dingin menyentuh lengannya yang mulai berotot.
“Apalagi?” tanya Tulus saat ia melihat Zania menghentikan langkahnya.
“Berikan aku alasan agar aku mengerti dan mau menerima bahwa kamu enggan atau bahkan belum mampu, atau tidak mampu sekalipun. Sedangkan, niatku baik.”
“Karena aku bukan pria yang mencintai diriku sendiri. Aku ingin mencintai seseorang. Baik itu kamu atau bukan, dan cintaku demi kamu. Bukan diriku. Meski pada hakikat dan dasarnya seorang laki-laki tak akan mampu bisa mencintai siapapun lebih dari dirinya sendiri,” jelas Tulus seketika.
“Berikan aku alasan lebih jelas lagi setelah apa yang sudah kamu berikan sebagai penjelasan.”
“Karena aku tidak mau, kamu sebagai perempuan yang mungkin atau memang iya menjadi keputusan yang aku tangguhkan bahwa nanti, sekarang, atau beberapa waktu yang lain, aku mencintai kamu, atau sebaliknya, atau bahkan siapapun. Aku tidak ingin, mencintai perempuan yang nantinya akan aku agungkan rasa sayangnya dan cintanya dengan diriku yang tak berdaya.”
“Kau, Zania Vabrigas. Janganlah mencintai dengan cara yang seperti ini. Pergilah. Lakukan tugasmu dan aku akan melakukan tugasku. Kau bermimpi memberikan pendidikan kepada semua orang. Dimana pendidikanmu dapat merubah peradaban yang tengah terjadi sekarang. Jangan pernah menghancurkan mimpimu hanya karena kehendak hatimu yang ego. Kehendaki hatimu yang secara tidak langsung sesuai dengan pikiranmu,” jelas Tulus.
Zania seketika melepaskan lengan Tulus. Ia menundukkan kepalanya. Kemudian, ia pergi meninggalkan Tulus dan berlari. Ia mengangkat telapak tangannya dan menutup bibirnya. Sungguh, jawaban itu cukup membuatnya terguncang.
Tulus menundukkan kepalanya. Ia mengepalkan tangannya. Berpikir sejenak, dan mengingat kembali semua kata-kata yang ia lontarkan kepada Zania. Benar. Benar sekali bahwa kata-kata itu akan menyakiti Zania. Tapi apalagi cara yang harus ia lakukan untuk mengakui sesuatu yang memang sudah menjadi seharusnya.
Berbohong? Tidak. Hatinya tak akan mampu berbohong. Cukup satu kali dalam seumur hidup, kebohongan besar yang ia lakukan untuk dirinya sendiri. Sebab kebohongan itu, sudah bisa menyiksanya. Menyiksa segala batin, hingga pori-pori kulitnya. Biarlah. Semua akan berlalu.
“Perlahan, kamu akan mengerti apa yang aku katakan barusan. Maaf Zania, aku tak mampu memberikan kamu kebahagiaan saat ini. Semua itu aku tangguhkan niatan agar kamu baik-baik saja,” gumam Tulus.
Tak lama dari itu. Tulus meninggalkan tempat itu. Ia melangkahkan kakinya ke arah yang sama dengan yang di tempuh Zania. Akan tetapi, Tujuannya kali ini berbeda. Ia tak ingin kembali ke pendopo, atau ke koperasi pasar. Ia hanya ingin bertemu dengan keluarganya. Mungkin, menikmati minuman cokelat panas di rumah.
***
“Amongmu mana? Kok sendirian? Nggak bareng sama Among?” tanya Rindi menyerbu saat Tulus sampai di rumah.
“Tidak Inong. Among masih di sana.”
“Yasudah. Masuk dulu. Mandi sana, Nak. Bau acem sekali ini kamu,” ucap Rindi menggoda Tulus dengan menutup lubang hidungnya.
Tulus menganggukkan kepalanya. Kemudian berjalan masuk ke dalam. Menanggalkan semua pakaiannya. Belum juga ia selesai. Tulus keluar dari kamar mandi dan duduk di meja makan. Rindi yang melihat hal tersebut, tak menanyakan. Sebab ia berada di dalam dapur dan masih sibuk menghidangkan makanan untuk makan malam.
“Inong, boleh Tulus meminta sesuatu?” tanya Tulus dengan nadanya yang lemas.
“Apa, Nak?”
“Tolong buatkan cokelat panas seperti tadi pagi. Dan siapkan brownies kering.”
“Kamu kenapa? Bad mood lagi?” tanya Rindi.
Tulus mendeham ringan. Kemudian, ia beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam kamar mandi. Kemudian, keluar lagi. Ia lupa, bahwa kamar mandi yang ia masuki adalah kamar mandi tamu.
Dengan begitu, Tulus berjalan menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Ia membersihkan diri di bawah guyuran air hangat. Entah kenapa, tubuhnya terasa kedinginan. Mungkin, hawa sore ini memang dingin. Tulus tak berkenan berlama-lama di kamar mandi seperti biasanya. Kali ini, ia cepat-cepat keluar dan kembali menuruni tangga untuk menikmati cokelat panas dan kawan karibnya.
“Inong, Tulus ingin bertanya boleh?” ucap Tulus dengan meraih brownies keringnya.
“Hmmmm. Tanyakan saja.”
“Inong, kenal dengan Zania?” tanya Tulus.
Seketika Rindi menolehkan kepalanya. Tatapan matanya yang fokus menata piring dan beberapa perangkat perabotan makan, kini tengah menatap Tulus dengan belalakan matanya.
“Kenapa memang? Kamu benar-benar menyukai dia begitu?” tanya Rindi.
Tulus dengan cepat menggelengkan kepalanya.
“Zania itu, anak Pak Lurah baru. Kenal kau dengannya?” ucap seseorang seraya berjalan mendekat ke arah Tulus.
“Kenal. Dia memberiku sapu tangan yang terajut namaku. Dan dia menyukaiku,” ucap Tulus terbuka.
“Oh iya?” tanya Ramos seraya ia duduk di kursi dekat Tulus.
Tulus menganggukkan kepalanya. Kemudian, ia menarik gelas mug yang berisi cokelat panas. Kemudian, menyeruputnya dan menikmati rasa sekaligus sensasi kentalnya seperti tadi pagi. Sungguh nikmat.
“Lalu kau menjawab bagaimana?” tanya Ramos menyelidik.
“Kutolak dia pelan-pelan,” jawab Tulus memberikan keterangan.
“Heh? Menolak?” tanya Rindi tak percaya.
Ramos tertawa terbahak-bahak. Ia terpingkal sampai keluar air matanya. Rindi yang mengetahui itu, justru terheran-heran dengan sikap Ramos. Sedangkan Tulus justru santai menikmati cokelat panasnya. Aneh.
“Kenapa pula dengan dua laki-lakiku?” gumam Rindi seraya menggelengkan kepalanya.
“Kau tahu, tak ada pemuda desa yang bisa mengambil hatinya. Bahkan, Pak Lurah sebagai ayahnya, bercerita ke Among kalau ia kawatir anaknya tidak normal. Banyak pemuda yang berebut dan berusaha mendapatkan Zania. Sedangkan kau? Menolak dengan semudah itu, Nak? Sungguh ironis kau menjadi laki-laki,” jelas Ramos dengan sisa tawa dan senyumnya.
“Sejujurnya, tak mampu Among. Cantikpun iya, cerdas, dan ia anggun. Tapi, apalah daya. Cinta itu akan menyakiti dia. Atau, bahkan membunuh mimpinya di kala ada sesuatu yang menghambat. Tulus bermaksud, untuk mengurangi demikian. Ah, sudahlah tak perlu di bahas. Lagipulan, itu sudah berlalu. Hal yang menjadi sesuatu ke depan saja yang perlu di bahas. Ayo makan, Among. Tulus sudah lapar,” jelas Tulus menjelaskan sekaligus mengakhiri.
Ramos hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kemudian mengambil piring dan menerima tuangan nasi dari Rindi. Bergitu juga dengan Tulus. Mereka berdua mengakhiri harinya dengan sesuatu yang membuahkan hasil. Meski, tak menutupi sebuah tangisan yang berderu datang mengiringi.
Episode sebelumnya …
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.