AKU ANAK SMA NEGERI 2 TARUTUNG
SMA NEGERI 2 TARUTUNG BUKAN SMA BUANGAN
“ Halo, nih sapa?” Tanyaku saat pada orang diseberang yang sedang menelpon ku. Kebetulan memang nomor ini belum tersimpan di phone book ku.
“ Halo ampara, si Heru doon. Nga didia ho nuaeng?” Jawab orang di seberang.
“ Oh, sorry jo ampara. Sega HP ku gabe mago angka nomor sian memori HP. Lagi di kos dope, aha hian huroa ampara?” kataku berbohong, karena sesungguhnya ada yang aku tutupi dari mereka tentang kepulanganku.
“ Eh, dang mulak ho?”
“ Ise mandokkon au mulak?”
“ Ale didokkon si Jhonson mulak do ninna ho. Kan nga sa minggu ibana dung ro. Mulak ma ho ampara sian Semarang i.” Katanya.
“ Mungkin tolu ari nai ma, tanggal 16 do tiket hu. Nga di Jakarta au nuaeng ah.., dang di kos.” Kataku jujur, sedikit sebal juga ke si Jhonson yang ember itu. Perjanjiannya di Semarang, dia ga akan bilang ke teman-teman kalau aku itu pulang liburan.
“ Na adong hian do rencana nami naeng tu sikkola, antong hu painte hami ma ho ate ampara.” Katanya sebelum menutup telepon.
***
Itulah percakapanku melalui telepon dengan Heru Simorangkir temanku semasa SMA dulu di SMA Negeri 2 Tarutung yang tercinta. Memang tak terasa sekali sudah 1 tahun kami meninggalkan bangku SMA dan kuliah masing-masing saling berjauhan. Ada yang di Medan, Riau, Palembang, Bengkulu, Lampung, Jakarta, Bogor, Bandung dan kami di Semarang. Rindu juga sama mereka.
Tepat tanggal 16 Juli 2008, aku berangkat ke Medan dari bandara Soekarno-Hatta cengkareng. Tidak sabar untuk secepatnya sampai di Tarutung yang sudah lama ku rindukan. Entah apa sebenarnya yang begitu mengebu-ebu di hatiku sehingga aku kepalang senang saat pesawat sudah take off.
Perjalanan singkat menerobos angkasa di mulai. Langit awalnya sedikit cerah, namun memasuki wilayah udara pulau sumatera langit sedikit berawan. Aku memandang jauh ke bawah. Bentangan pulau sumatera yang masih lumayan hijau di banding pulau jawa begitu damai. Terlihat begitu jauh di bawah sana, pemukiman penduduk bagaikan ribuan kotak-kotak kecil yang bertamburan. Aliran sungai tampak bagaikan ular yang meliuk-liuk. Hutan-hutan tampak begitu jelas, gunung yang berdiri begitu tegar, damai namun menyimpan berjuta-juta cerita yang belum pernah aku dengarkan.
Mungkin ini termasuk perjalanan yang cukup singkat. Satu jam lebih kemudian, dari jendela pesawat aku sudah dapat melihat danau Toba. Aku mencari-cari daerah Tarutung, kan siapa tahu kelihatan dari atas sini. Namun ternyata cuaca tidak begitu cerah, mendung membuat daratan seketika menghilang ditelan kabut. Dua puluh menit kemudian, aba-aba untuk mengenakan sabuk pengaman sudah berbunyi. Berarti sebentar lagi pesawat akan landing. Aku bersorak girang dalam hatiku, Medan I’m coming!!!
***
Keesokan harinya, aku baru berangkat ke Medan. Jam 9 tepat aku sudah siap berangkat ke Tarutung. Travel Tobali yang akan membawaku untuk menelusuri jalanan Medan-Tarutung setengah jam lagi akan berangkat. Kira-kira perubahan apa yang terjadi di Tarutung ya???
Perjalanan Medan-Tarutung memang sangat panjang dan melelahkan, tap tak apalah yang penting sampai ke Tarutung. Aku mengingat kembali perjalan yang telah ku tempuh hingga se jauh ini. Kemarin aku berangkat dari Semarang tanggal 12 Juli. Tepat 12 Juli jam 19.00 WIB ke Bekasi. Perjalanan yang tak kalah panjang dan menyebalkan. Naik kereta ekonomi, direcokin ama pengamen dan pedagang asongan, ga bisa tidur deh. Empat hari di Bekasi tanpa berbuat apa-apa, hingga tanggal 12 ke Medan. Sekarang, lagi dalam perjalanan menuju Taruna (Tarutung Nauli).
Sial banget, diperjalan begitu banyak hambatan yang harus dilalui mobil L300 ini. Saat itu iring-iringan mobil salah satu pejabat tinggi Negara dari Jakarta sedang melintas menuju Parapat, terpaksa kita rakyat kecil ini harus menyingkir. Bayangin, jalanan yang dibangun dari uang pajak kita, eh pas pejabat lewat kita disuruh minggir, sebalkan rasanya.
“ Ikut aja di belakang iring-iringan ini Tulang, biar cepat kita sampai ke Parapat.” Usulku ke sopir travel Tobali itu. Dia hanya tersenyum dan mengikuti saranku. He..he… agak nakal sih tapi ga apa-apalah. Biasanya juga di Semarang aku dan teman-teman melakukannya, dan biasanya ikut rombongan mobil jenajah. Itu pas aku mau ke Jepara dulu diajarin sama dosen ku.
Memang benar, rombongan pejabat gadungan ini pun tiba di Parapat sedikit lebih awal dari biasanya. Dari Parapat ke Tarutung aku memperhitungkan paling tinggal 3 atau 4 jam lagi. Akhirnya aku semakin ga sabar untuk segera sampai di Tarutung. Tiba-tiba HP ku berbunyi.
“ Halo.”
“ Halo Gus, iki Adi.”
“ Yo, ada apa?”
“ Koe ndi, saiki?”
“ Ki meh balik ke kampung, paling 3 jam meneh wes nyampe?”
“ Oh, tak kiro koe ora balik. Yo wes, ga jadi.”
“ Emang koe meh ngopo?”
“ Ora ono, tak kiro koe neng kos. Aku meh main ke kos mu, eh… koe wes balik.”
Akhirnya dia menutup telponnya. Jujur sih, aku ga ada rencana mau pulang kampung. Tapi berhubung ijasah ku masih di sekolah, yaudah balik aja sekalian mumpung lagi libur semester.
Akhirnya setelah melewati lumban julu, Porsea, Balige memasuki daerah Siborongborong aku sedikit terkejut. Ada sedikit perubahan, banyak baliho calon bupati yang menghiasi jalanan, dan beberapa spanduk bertuliskan “Marhobas Tu Rakyat”, “Martabe” dan lain sebagainya. Oh ternyata, kampungku sedang menyongsong sebuah rangkaian perjalanan politik demokrasi di Republik ini. Kira-kira siapa calon yang akan menang ya dalam Pilkadal ini? Kadang aku geli saat memikirkan tentang pilkadal ini. Bayangin Pilkadal telah banyak menciptakan Kadal-kadal yang mengadali masyarakat.
Akhirnya tiba di Tarutung, rasanya…….biasa aja. Memang biasa aja, soalnya tidak ada yang berubah. Paling yang berubah, Bakso Rahayu yang di Komplek Stadion itu ga ada lagi dan memang ada yang nambah, dulu warnet Cuma warnet HKBP, sekarang udah ada sekitar lima warnet baru kalau aku ga salah ingat. Dan juga pastinya baliho-baliho itu. Rumah ku aja ga berubah, catnya masih kuning, trus pot bunga mamak ku pun masih begitu susunannya. Apakah memang waktu satu tahun ini begitu cepat sehingga tidak cukup untuk berbenah, atau memang kita ga ada niat untuk berubah.
***
Seperti yang telah dikabarkan Heru, besoknya ngumpul-ngumpul di rumah si Jhonson penghianat itu. Ga sabar mau melabrak hantu blau kurang ajar itu. Tapi tujuan utama kami sih sebetulnya mau ke sekolah dulu. Agendanya mau kangen-kangenan katanya sama adik-adik, sekolah dan guru-guru. Tapi aku lebih senang bilangnya sedikit pamer ke adik-adik, inilah kami kakak-kakak kelasmu yang sudah kuliah di PTN. Tapi ga apalah, selain karena kami baru dimekarkan tahun 2006 silam dari SMA Negeri 1 Tarutung, jadi kami masih angkatan ke-2. tujuannya sih baik, agar adik-adik yang merasa minder tidak patah semangat.
Memang aku sangat sedih sekali ketika tanggal 1 Agustus 2006, SMA Negeri 1 memekarkan SMA Negeri 2. Bukan karena kebetulan aku dimasukkan ke SMA Negeri 2 Tarutung, tapi lebih dari pada itu. Mungkin ini lebih dari sekedar penghinaan, pandangan orang yang beredar saat itu, “SMA NEGERI 2 TARUTUNG, SMA BUANGAN”, apalagi tujuan pemekaran SMA Negeri ini, agar SMA N 1 Tarutung akan dijadikan SMA Unggulan di Taput. Jadi jika ada unggulan, berarti ada buangan dan itulah kami. Demikianlah pandangan orang Tarutung saat itu terhadap kami dan itu tetap hingga saat ini, walaupun sudah tidak seheboh tahun 2006 silam.
Kelas X (1 SMA) aku masih berstatus siswa SMA Negeri Tarutung (SMANTA), tapi kelas XII (2 SMA) aku sudah berstatus siswa SMA BUANGAN (SMA N 2 Tarutung). Aku bingung, aku dan teman-teman yang lain tidak pernah di test untuk menentukan masuk SMA yang mana? Tatapi kenapa kami harus mendapat predikat SMA BUANGAN???
Itulah yang mendorong kami untuk membuka mata orang-orang Tarutung yang memandang sebelah mata terhadap sekolah kami. Memang sekolah kami baru meluluskan 2 angkatan (sekarang 3 angkatan dan bulan juni depan 4 angkatan), sehingga kami belum memilik alumni yang sudah menjadi Jenderal, Guru, Dosen, Profesor, Pendeta, dan lain sebagainya. Itulah kesadaran kami saat itu, saat SMA yang lainnya bangga terhadap alumni mereka yang saat Reuni datang dengan segala embel-embelnya. Kami ingin memberikan kebanggaan kepada adik-adik kami, bahwa walaupun sekolah kami masih seumur jagung, walaupun sekolah kami dianggap buangan dan dipandang sebelah mata atau bahkan tidak dipandang. Inilah kami kakak-kakak kelas kalian yang sedang menggapai mimpi.
Ahirnya sekitar jam 10 semua teman-teman yang ikut sudah datang. Dari rumah Jhonson ke SMA N 2 Tarutung hanya berjarak 20 meter. Sedikit tegang juga untuk melihat sekolah yang walaupun katanya buangan tetapi sangat kami cintai. Kami bergerombol masuk dari gapura sekolah yang indah itu, tampat wajah guru piket terkejut bercampur bahagia melihat kami. Satu persatu kami menyalami guru-guru kami tercinta. Mereka tetap guru kami, bukan mantan guru kami.
Aku memandang mimbar kecil di depan kantor kepala sekolah. Dulu selama dua tahun kurang aku berdiri si sana memegang mikropon memberikan aba-aba untuk membentuk barisan. Tapi itu satu setengah tahun lalu, aku merindukan berdiri di sana. Kira-kira aku masih punya keberanian seperti dahulu ga ya berdiri di depan teman-teman dan guru-guru memimpin barisan dan sesekali memimpin renungan pagi.
“ Bah ketos, boha do puang di Semarang i?” Kata Bapak Ed. Simamora. Saat aku dulu menjadi ketua OSIS, belia menjadi PKS bidang kesiswaan.
“ Ah, dang ketos be iba Pak, na jolo do i. Songon I ma Bapak, ba angka boru Jawa I ma ni panot-notan. Tonggi-tonggi sude si panganon i.” Kataku.
“ Tu ruangan ni komandan I ma jo hamu laho, disi do nuaengin Bapak.Intor jalang hamu tangan nai, asa songon na bangga.”
Kami pun berbondong-bondong sekitar dua puluh orang menuju kantor kepala sekolah. Seperti apa yang wajah bapak M. Manalu yang menjadi kepala sekolah pertama di sekolah ini. Ada satu persamaan ku dengan bapak M. Manalu ini, yah kami sama-sama yang pertama. Beliau kepsek pertama, aku ketos pertama di sekolah ini. Tapi memang kadar dan tingkatannya berbeda jauh.
“ Selamat siang Bapak.” Kataku sambil mengetok pintu ruangannya yang terbuka. Belia lagi sibuk menandatangani sesuatu.
“ Bah, Agustin. Masuk ma hamu.” Katanya begitu bahagia. Bahkan aku tidak dapat menggambarkan lukisan kebahagiaan yang bersarang di wajahnya, yang jelas beliau begitu bahagia. Satu persatu kami menyalami tangannya yang sudah mulai keriput itu. Wajahnya yang sedikit ndeso, berbinar-binar menyambut tangan anak-anak kebanggaannya ini.
“ Las roha ku marnida hamu bah. On dope hubereng alumni nasongon hamu bah, godang do hamu na kuliah. Apalagi na lulus tu perguruan tinggi Negeri. Aha do puang inumon mu na, the botol I ma?” Katanya, dia begitu antusia memuji kami.
“ Ah toe ma Pak, na malungun do hami tu sikkola on. Kebetulan godang na mulak, jadi rap ro hami tu son.” Kata ku menyudahi reunian yang sedikit berbasa-basi itu.
“ Las roha ku diingot hamu do pe singkola muna on bah. Boha, naeng masuk hamu tu kalas, asa lean hamu jo semangat tu adek-adek muna i.”
“ Ima Pak, apala satonga jam.”
“ Antong masuk ma hamu, ai sajam nai mulak nama.”
Begitu diberi izin, kami masuk ke beberapa kelas, diantaranya XII IPA 1, kelas ku dulu. Sedikit gemetar juga, sudah lama tidak berdiri di depan mimbar. Paling yang terbaru, aku di suruh untuk mencontohkan seorang orator berbicara saat Makrab dulu. Begitu masuk, kami menjumpai ibu R.Siburian, guru tua yang mengabdikan dirinya terhadap dunia pendidikan. Bayangkan, beliau sebenarnya sudah pensiun saat kami kelas X dulu, namun karena tenaga beliau masih dibutukkan akhirnya beliau mengajar sebagai tenaga honorer.
Tampak wajah adek-adek kelas kami seperti wajah orang yang kalah sebelum bertanding. Kelihatannya imej SMA BUANGAN masih menjadi pukulan berat bagi mereka. Mereka berbeda dengan kami, SMA BUANGAN menjadi shock terapi bagi kami, sehingga bertekat untuk menunjukkan diri kalau kami bisa, namun mereka berbeda, mereka malah terpuruk. Aku kasihan kepada mereka, aku berharap semoga dengan kedatangan kami ini menjadi semangat bagi mereka untuk membuktikan bahwa SMA NEGERI 2 TARUTUNG BUKAN SMA BUANGAN.
Setelah reunian yang sederhana dan singkat itu, kami pulang. Aku memandangi gapura sekolah ku yang malang ini. Entah kapan gapura yang megah dan indah ini dapat menghapus anggapan orang-orang kalau SMA N 2 Tarutung itu bukan SMA BUANGAN. Sebenarnya aku malu untuk mengatakan ini, tapi saat itu aku meneteskan air mataku. Seakan-akan gelar SMA BUANGAN telah menjadi gelar abadi bagi sekolah ku ini, sehingga dampaknya turun-temurun seperti dosa Adam yang turun-temurun kepada anak-cucunya. Aku tidak tahu siapa yang pertama sekali menyebut sekolahku SMA BUANGAN, aku berharap semoga dia menyadari kekeliruannya.
Sebelum langkahku yang kesekian membawaku untuk meninggalkan gerbang sekolahku ini, aku bertekad dalam hatiku, hati yang paling dalam. Saat alumni SMA Negeri 1 mampu memberikan fasilitas internet dan Marching Band untuk adik-adik kelasnya, aku memberikan semangat yang tidak akan pernah bisa hilang, rusak dan diambil orang lain dari jiwa adik-adikku. Mungkin saat ini aku dan teman-teman belum menjadi alumni yang berhasil, yang mampu memberikan fasilitas mewah untuk ukuran SMA di Tarutung. Tapi kami semua berjanji, kelak kami akan kembali membawa impian kami yang tidak dapat kami raih, menjadi impian bagi adik-adik kami. Dan kami akan memenuhi janji kami yang telah kami ukir di dinding sekolah kami, yang kami ukir di gapura sekolah kami.
Kami akan kembali lagi mewujudkan impian dan menghapuskan rasa minder adik-adik kami terhadapat SMA lainnya. Mungkin besok, lusa, atau bertahun-tahun kemudian setelah hari ini. Asalkan kami masih hidup dan nafas kami belum diambil oleh waktu, kami akan kembali. Membawa harapan dan kebahagiaan bagi sekolah dan adik-adik kami, serta menghapus ucapan SMA NEGERI 2, SMA BUANGAN. Karena AKU ANAK SMA NEGERI 2 TARUTUNG SUDAH BERJANJI, SMA NEGERI 2 BUKAN SMA BUANGAN.
Sekian tentang AKU ANAK SMA NEGERI 2 TARUTUNG.
Terima kasih.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.