BELAJAR KEARIFAN LOKAL DAN BERKENALAN DENGAN PENGHUNI UJUNG KULON
Mari kita BERKENALAN DENGAN PENGHUNI UJUNG KULON. Hari sudah mulai sore ketika kami meninggalkan Tanjung Layar. Air sudah mulai pasang, sehingga kami kesulitan untuk naik ke perahu kecil yang akan mengantarkan kami menuju kapal. Setelah semua peserta berada di atas kapal, kami kembali menuju Pulau Peucang.
Malam di Peucang tidak banyak yang dapat kami lakukan, agenda Barbeque terpaksa dibatalkan karena malam itu hujan turun dengan deras. Pada akhirnya kami hanya berkumpul di penginapan, ada yang bermain kartu, ada yang ngobrol dan ada pula yang langsung tidur. Kami berharap besok pagi dapat menyaksikan sunrise yang indah di Peucang.
Gue dan beberapa teman gue lebih memilih untuk berbincang-bincang dengan guide sekaligus putra dari salah satu Ranger paling senior di Ujung Kulon ini. Kami bertanya banyak hal tentang Ujung Kulon dari dia. Mulai dari hal-hal yang bersifat mistis dan kondisi dari Ujung Kulon tersebut.
Menurut penuturan beliau, di Ujung Kulon kita dilarang menyebut kata “Buaya”, karena dianggap seperti mengundang atau menantang. Jadi mereka mengganti kata buaya dengan kata “Penganten”. Disebutkan pula, bahwa jika mau buang air kecil di Ujung Kulon, dilarang untuk kencing berdiri, tetapi harus jongkok.
Menurut nya pula, Badak adalah icon dan penjaga dari Ujung Kulon. Menurut kepercayaan dan kearifan lokal masyarakat di sekitaran Ujung Kulon, bahwa seekor banteng bisa berubah menjadi badak jika dikira jumlah badak semakin berkurang. Dia memberikan ilustrasi, misalnya jumlah badak di Ujung Kulon saat ini diperkirakan tidak lebih dari 53 ekor. Jika ada yang mati dari 53 ekor ini, maka Banteng dapat berubah menjadi badak untuk menggantikan badak yang meninggal tersebut.
Secara logika memang tidak masuk akal, namun gue selalu berprinsip bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat lokal mutlak untuk kita hormati. Percaya atau tidak, namun tidak ada ruginya untuk mengikuti apa yang menjadi kebiasaan yang terjadi di tempat tersebut.
Jam 5 pagi gue udah terbangun, hari masih gelap. Gue pergi keluar ternyata rombongan lain sudah banyak yang keluar dari penginapan masing-masing. Semua bergegas menuju dermaga. Tujuannya sama, melihat sunrise.
Beberapa saat di dermaga, akhirnya matahari mulai muncul. Harus gue aku bahwa di Peucang bukan lah tempat yang tepat untuk melihat Sunrise. Memang harus dimaklum, bahwa posisi Pulau Peucang yang berada di ujung Barat, sementara matahari terbit dari Timur.
Untuk perjalanan hari ini adalah Tracking ke padang Pengembalaan Cidaon, Snorkeling di dekat Pulau Peucang dan Cannoe di Cigenter. Cidaon dan Cigenter adalah tempat yang memang dari awal pengen banget untuk gue datangi. Menurut gue, wajah dari Taman Nasional Ujung Kulon ya Cidaon dan Cigenter ini.
Karena ini hari terakhir, jadi kami sekalian cek out dari penginapan di Peucang. Setelah sarapan pagi, kapal bertolak meninggalkan dermaga Peucang menuju dermaga Cidaon. Dari dermaga Cidaon, kita harus berjalan kaki kurang lebih 15 menit menuju pada pengembalaan Cidaon.
Gue dan seorang teman gue memilih untuk berjalan paling depan, karena sebenarnya kita berdua lah yang paling semangat untuk ke tempat ini. Padahal teman gue ini sudah 6 kali ke Ujung Kulon.
Lima belas menit berjalan, gue dan teman gue, menjadi yang pertama tiba di sana. Gue beruntung sebagai orang pertama yang tiba. Karena pada saat kami tiba, gue sempat melihat seekor Merak Betina terbang. Di depan gue terhampar padang rumput yang tidak terlalu luas. Sementara itu, gue sedikit kaget mendengar suara seperti helikopter di udara, pas gue lihat ke atas, seekor burung Rangkok terbang tepat di atas kepala gue.
Jauh di ujung padang Pengembalaan tampak segerombolan Banteng Jawa sedang merumput. Sepintas bentuk dari Banteng Jawa ini lebih mirip dengan Sapi Bali. Namun menurut teman-teman gue yang sudah pernah ke Taman Nasional Baluran, Banteng di sana juga sama dengan banteng yang ada di Ujung Kulon. Kami dilarang untuk terlalu mendekat dengan kumpulan banteng tersebut, karena dapat mengganggu dan membuat mereka masuk lagi ke dalam hutan.
Setelah puas berkeliling dan foto-foto di Cidaon, kemudia kami melanjutkan perjalanan kami menuju spot snorkeling yang ada di sekitaran pulau Peucang. Gue yang tidak bisa berenang dan trauma karena pernah tenggelam di Pulau Tidung, akhirnya memilih tetap berada di atas kapal sambil mencoba mencari kesibukan dengan pancingan gue.
Baru lima belas menit di spot ini, tiba-tiba seorang ABK melihat sesuatu sekitar 300 meter dari spot kami berhenti. “Mbak, teman nya di suruh naik aja, di depan ada “Penganten”, kata si ABK ke salah satu peserta cewek yang juga tidak ikut snorkeling. Gue yang mendengar langsung kepo, “Dimana bang?”. “Itu di Ujung”. Sambil menunjuk objek panjang tak jauh di depan kami. Awalnya gue gak percaya. “Kayu kali bang.” Namun setelah gue perhatikan lagi bentuknya bergerigi dan berenang semakin mendekat.
Akhirnya kita yang ada di atas kapal, teriak manggil teman-teman yang lagi snorkeling untuk segera naik ke kapal. Awalnya ada juga yang tidak percaya, namun setelah diyakinkan mereka berebutan untuk naik ke atas kapal. Gue yang seharusnya panik, melihat pemandangan itu malah tertawa terbahak-bahak. Kejam sih. Hehehe (sayang gue gak sempat mengabadikan foto-fotonya)
Setelah kejadian didatangi penganten tersebut, kita berpindah lokasi snorkeling. Di lokasi yang baru, di 5 menit pertama tidak ada yang berani untuk menceburkan diri. Hingga akhirnya ada salah seorang yang turun kemudian diikuti oleh yang lain.
Satu jam kemudian, snorkeling selesai, kita menuju Cigenter. Di sini kita akan naik kano menyusuri sungai Cigenter. Menurut guide nya, di sini kita bisa ber kano dengan santai, terkadang di atas pohon kita bisa melihat monyet bahkan ular atau jika beruntung bisa melihat badak yang turun ke sungai untuk minum. Tapi untuk melihat badak rasanya cukup mustahil.
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, akhirnya rombongan kami mendapatkan giliran untuk ber kano. Di sini hanya ada 2 kano yang tersedia, yang satu bisa memuat sekitar 15 orang dan yang satu lagi hanya mampu membawa 6 orang. Gue duduk di kano yang berkapasitas 6 orang, dan posisinya gue paling depan. Saat itu gerimis kecil turun.
Kita berkano dengan santai sambil foto-foto. Iseng-iseng gue bertanya, “Bang di sini ada penganten gak?”. “Oh di sini memang sarangnya.” Mendengar itu bulu kuduk gue langsung merinding. Masih terbayang buaya 3 meter yang tadi kami temui. Akhirnya gue bilang ke kawan-kawan. Putar balik lah kita. Toh juga kita gak bisa sampai ke Hulu sungai, yang konon katanya di sana terdapat air terjun.
Setelah kano kita bersandar, lagi-lagi kita harus menaiki kapal kecil menuju ke kapal. Untung nya di atas kapal, telah tersedia makan siang menjelang sore. Karena kondisi badan yang lelah dan basah, nafsu makan semakin mengebu-gebu. Untung makanannya cukup untuk memenuhi perut predator kami.
Sambil makan, kapal tetap melaju menuju Sumur. Sebelum tiba di sumur, kami sempat berhenti sekali lagi untuk snorkeling, namun hanya sebentar karena kondisi obak yang cukup tinggi. Satu jam kemudian akhirnya kami tidak di Sumur, dan sebuah kapal kecil telah siap untuk menjemput kami.
Di desa Sumur, kami menumpang mandi di sumur milik warga yang sengaja disewakan kepada wisatawan. Setelah bersih-bersih. Gue makan sate dan sop kambing sebelum pulang ke Jakarta. Jam enam sore, bus kami berangkat menuju Jakarta. Gue tertidur dengan pulasnya, ketika bangun kami sudah tiba di Plaza Semanggi.
Sekian tentang BELAJAR KEARIFAN LOKAL DAN BERKENALAN DENGAN PENGHUNI UJUNG KULON
Terima kasih.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.