Timbangan | Tulus Hutasoit Episode 6

Timbangan #CerpenKita Cerita Pendek


Akal  dan pengetahuan adalah seperti raga dan jiwa. Tanpa raga, jiwa tak lain hanyalah kabut hampa. Tanpa jiwa, raga tak lain hanya kerangka tanpa makna.
-Kahlil Gibran-

Episode sebelumnya…

https://tulisin.kekitaan.com/2019/06/16/tulus-hutasoit/

Pendaran cahaya matahari, menyengat seketika ke arah matanya. Sontak, ia terbangun. Benar saja, ia terbangun dengan kernyitan di dahinya. Begitu juga dengan ia, terbangun dengan lenguhan ketidaknyamanan bahwa ia terganggu.

“Tulus, ayo bangun sayang. Udah pagi, Nak!” ucap Rindi dengan mengusap puncak kepala Tulus. Hal itu juga dilakukan kepada Rendy yang justru kembali memejamkan kepalanya meski ia berada di dalam posisi duduk. Kepalanya seolah tak mendapatkan sandaran apapun. Seperti, tak bertulang. Hingga, rendy memiringkan posisi lehernya yang seperti ia tak bernyawa.

Rindi menahan tawanya dengan menggelengkan kepala saat ia melihat apa yang dilakukan oleh Rendy. Sungguh, sahabat anaknya mengundang tawa di pagi hari. Rindi tersenyum berulang kali melihat kedua putra yang mulai dewasa. Tapi tidak. Sikap yang ia berikan, masih sama seperti ia memperlakukan bayi yang baru saja bisa berjalan dan berbicara untuk mengutarakan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya.

“Woy!!! Woy!!! Bangun!” ucap Burju memberikan keributan di kamar itu. Burju mengusap wajah adiknya Tulus. Benar saja, Tulus sektika mengeryitkan dahinya, dan menekuk garis bibirnya. Ia tak terima dengan apa yang dilakukan oleh Kakaknya.

“Abang! Awas kau!!!” ucap Tulus dengan nadanya yang meninggi di kala ia benar-benar telah sadar sepenuhnya setelah ia merasakan wajahnya basah dengan air. Air yang Burju bawa di tangannya.

Rendy terkejut mendengar teriakan itu. Ia mengeryitkan dahinya dan sontak membuka kedua bola matanya. Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah sahabatnya yang emnyebalkan tengah berlarian mengelilingi seluruh ruangan tempat tidur dengan Kakaknya. Sedangkan perempuan cantik yang berdiri bersandar di tembok, dengan siluet matahari menambah kecantikannya. Nantulang, Rindi.

“Sudah sadar penuh, Ren?” tanya Rindi kepada Rendy.

“Sudah, Tante. Hehehe… Tante, maaf ya bangunnya siang,” ucap Rendy dengan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal.

“Sudah tidak papa. Terlalu lelah, mengalahkan kebiasaan bagus sehari-hari. Semalam, kamu terlalu memaksakan diri untuk bekerja lebih keras daripada biasanya. Iya, kan?” ucap Rindi dengan senyuman.

Rendy menjawabnya dengan cengiran kuda. Ruangan itu, masih hiruk pikuk dengan ramainya Tulus dan Burju yang tengah berkejaran untuk saling membalaskan dendamnya. Rindi menghiraukan kedua putranya yang tengah berkejaran. Ia lebih memilih untuk berjalan ke arah ranjang yang disediakan untuk Rendy dibandingkan berjalan ke arah kedua putranya.

“Nantulang sudah lama berdiri di sana?” tanya Rendy memastikan.

“Tidak. Tidak begitu lama,” ucap Rindi dengan menarik selimut yang masih menutupi kedua kaki Rendy. Rindi menyatukan ujung kiri dan kanan selimut. Namun, Rendy menariknya. Ia seketika meloncat dari tempat tidur, dan cukup membuat Rindi terkejut dan terheran.

“Hehehe, biar Rendy sana Nantulang. Okke?” ucap Rendy dengan mengedipkan sebelah matanya. Ia memberikan kode bahwa pekerjaan yang baru saja hendak Rindi kerjakan, merupakan pekerjaan yang bisa Rendy kerjakan.

“Ah, baiklah kalau begitu.”

“Aku juga bisa,” ucap Tulus dari kejauhan. Ia melepaskan lengannya yang tengah ada di leher Burju. Sedangkan Burju, tak lagi mengeryitkan dahinya dan juga mengeluarkan lidahnya seolah-olah ia merasakan kematian menjemputnya di saat adiknya memberikan serangan kepadanya.

Rindi melangkah mundur. Ia berjalan mendekati Burju yang ada di sana. Kedua bola matanya menatap kea rah dua putra yang bersaing untuk menyelesaikan pekerjaannya di sana. Begitu juga dengan Burju. Senyuman yang diberikan oleh Mamanya, sangatlah berarti bagi Burju. Senyuman itu mendamaikan. Rasa sakit yang diberikan oleh Tulus kepadanya seketika menghilang saat ia melihat senyuman Mamanya.

“Aku selesai duluan,” ucap Tulus dengan wajahnya yang senang.

“Tapi lo nggak serapi gue,” ucap Rendy mengejek.

Tulus melihat hasil pekerjaannya untuk memastikan. Ia merasa bahwa apayang dikatakan oleh Rendy adalah benar adanya. Sehingga, ia bergegas untuk mengembalikan posisi pekerjaannya dan memberikan sentuhan tambahan agar pekerjaanya terlihat rapi. Rindi dan Burju hanya tertawa ringan melihat mereka berdua. Seperti seorang anak yang tengah berebut mainan.

“Suka bikin gemes, kan?” ucap seseorang.

Rindi dan Tulus menolehkan kepalanya. Burju tersenyum, kemudian mengangkat telapak tangannya dan menjabat telapak tangan orang itu. Ah.. lebih tepatnya, perempuan itu. Perempuan, yang memperjuangkan anaknya.

“Silalahi. Kapan sampai sini?” tanya Rindi kepada perempuan itu.

“Baru saja aku sampai. Tadinya, aku ingin menunggu kamu di ruang tamu. Tapi ternyata, kamu tak juga muncul dari sarangmu. Kukira, kamu sedang bepergian ke pasar, atau tengah memasak sesuatu yang lezat di dapur dengan pembantumu. Tapi, setelah aku tanyakan kepada Ramos, ternyata kamu di sini dan mendapatkan pemandangn menggemaskan,” ucap Silalahi kepada Rindi memberikan penjelasan.

“Anak kita sudah dewasa,” lanjut Silalahi bergumam.

Rindi kembali menolehkan kepalanya ke arah anak-anak yang masih saja meributkan tentang kerapian pekerjaannya.

“Benar. Tapi, kita tetap tidak bisa memperlakukan mereka sebagimana mereka dewasa. Sadarkah kamu?” tanya Rindi dengan senyuman seraya tetap menatap kedua putra itu.

“Sadar betul. Seolah, aku tidak bisa menerima kenyataan, bahwa aku tengah menghadapi putraku yang sudah beranjak dewasa. Ah.. lebih tepatnya, anakku Rendy sudah dewasa.”

Burju yang mendengarkan percakapan kedua perempuan itu, hanya bisa terdiam. Pikirannya melayang ke arah yang berbeda. Ia kembali memutar pikirannya ke ranah dimana dirinya tak dapat merasakan apa yang tengah Tulus rasakan kala ini. Bahkan, pandangan mengenai kedewasaan yang diberikan oleh Rindi seolah-olah tidak sama dengan padangan kedewasaan Rindi terhadapnya.

“Apakah kalian akan berdiri di sini?” tanya seseorang. Suara itu sangat familiar untuk Rindi. Sehingga, Rindi tidak perlu menolehkan kepalanya dan cukup menjawab pertanyaan itu dengan melangkahkan kakinya kea rah Tulus dan Rendy. Melerai mereka yang tengah memperdebatkan sesuatu. Kerapian pekerjaan.

“Makan dulu, udah siap sarapan paginya,” ucap Rindi seraya memegang pundak Tulus dan juga Rendy.

***

“Mmmmm, sayang. Inong mau bicara sesuatu sama kamu,” ucap Ramos memulai pembicaraan di sarapan pagi itu.

Seketika, semua mata yang tengah fokus menikmati makanannya masing-masing tertuju kepada sumber suara, dan beralih ke arah Rindi yang masih asik meladeni Tulus. Begitu juga dengan Silalahi yang juga tengah meladeni Rendy. Burju yang menunggu giliran untuk mendapatkan perlakuan sama seperti Tulus, juga tengah memperhatian apa yang sedang terjadi.

“Burju, ini lauknya, Nak.”

Semua yang ada di sana, termasuk dengan suami Silalahi, atau ayah Rendy tengah menunggu waktu dimana apa yang diinginkan oleh Ramos diutarakan.

“Sebentar ya, ini belum selesai semua. Setelah itu, Rindi akan bicarakan sesuatu mengenai anak-anak kita,” ucap Rindi dengan menyiapkan makanannya sendiri. Begitu juga dengan Silalahi. Kedua ibu itu telah mengakhiri tugasnya untuk menyiapkan sarapan  anak masing-masing.

“Kamu bisa lanjutkan,” ucap Ramos memberikan arahan.

“Baiklah. Jadi begini, semalam setelah kami berdua melihat bagaimana anak-anak belajar. Ada sesuatu yang memang menjadi ganjalan bagiku. Sehingga, Rindi memutuskan untuk memberikan bantuan kepada anak-anak dengan mendatangkan guru privat setelah melihat bahwa selama anak-anak belajar mengalami kesulitan.”

Tulus yang mendengar hal itu, seketika sontak terkejut. Ia membelalakkan keduabolamatanya. Tertegun. Giginya berhenti mengcap makanan yangada di dalam mulutnya. Rasa daging rendang yang lezat seketikahambar dan terasa sangat keras eeprti batu. Padahal, saat daging itu pertama kali dikunyah terasa sangat empuk dan kenyal.

“ Hal ini Inong lakukan, bukan menganggap atau memandang bahwa kalian tidak mampu. Tapi, ini adalah apresiasi dari Inong dan Tulang untuk kalian, bahwa ini adalah bentuk dukungan dari Inong dan Tulang kepada kalian. Menebus kesalahan dimana kala itu menyia-nyiakan masa emas kalian dengan menghambat keputusan kalian. Ini. Juga bentuk apresiasi untuk kerja keras kalian. Inong, tidak ingin menyia-nyiakan kerja keras dan kemauan keraskalian untuk kedua kalinya. Ini juga berlaku untuk Rendy. Kamu sudah Tulang anggap sebagi putra sendiri. Maka dari itu, tolong untuk menerima tawaran ini,” ucap Rindi memandang keduabolamata Tulus dan bergantian dengan Rendy.

Rendy dan Tulus yang menyadari hal itu, saling pandang satu sama lain. Cukup lama mereka saling memandang satu sama lain. Dan Burju menyadarkan mereka dengan memberikan dehaman di tengah keheningan yang melanda sarapan pagi itu.

“Terima sayang,” ucap Silalahi memulai.

Rendy memandang Mamanya dengan tatapan yang tak menentu. Begitu juga dengan Tulus.

“Perlu kalian ketahui. Ini bukan hanya sebagai apresiasi saja, tapi ini merupakan bentuk dimana ini akan menjadi makna tersendiri untuk kalian. Kami harap, kalian berdua berkenan untuk menerimanya,” ucap Ramos menambahi.

Rendy menganggukkan kepalanya mantab. Kedua bola matanya terlihat begitu merah. Nanar. Yah.. kedua bola itu terlihat berarir. Rendy menundukkan kepalanya. Burju membantu menenggelamkan kepala Rendy yang berada di pangkuan Burju saat ini. Sungguh,Burju sangat terkejut dengan apa yang telah dilakukan oleh sahabat adiknya. Layaknya seperti gadis perawan yang tengah mendapatkan lamaran dari kekasihnya.

“Bagaimana dengan kamu Tulus?” tanya Parulian. Ayah Rendy memberikan tawaran.

Tulu terdiam. Kedua bola matanya tak bergerak sama sekali. Ia hanya bisa menelan daging yang masih ada di dalam mulutnya. Bukan mengunyahnya dengan lembut. Melainkan, menelannya dengan kasar.

“Nak, bagaimana?” tanya Ramos kepada Tulus untuk memastikan kembali jawaban apa yang akan diberikan Tulus sebagai gantinya.

“Enggak,” ucap Tulus singkat. Kemudian, ia beranjak dari tempat duduknya yang pergi meninggalkan meja makan. Tulus melangkahkan kakinya, ke arah ruang kerjanya.

“Sayang, dengerin Inong dulu,” ucap Rindi memanggil Tulus.

Ramos hendak beranjak dari tempat duduknya untuk memberikan pengertian kepada Tulus. Namun, terhalang dengan telapak tangan Burju yang menekan pundaknya. Hal itu juga dilakukan oleh Parulian. Tapi, semuanya kembali ke tempat duduk setelah Burju memejamkan matanya untuk memberikan tanda kepada semua orang yangada di meja makan itu bahwa Burju yang akan membicarakan hal ini dengan adiknya.

Rendy yang nyenyak di pangkuan Burju kembali menegakkan tubuhnya dan memandang suasana yang semakin runyam di tengah kebahagiaan dirinya yang mendapatkan tawaran akan dukungan bahwa usahanya tidak sia-sia. Rendy merasa beruntung bahwa usahanya kali ini tidak sia-sia.

“Kita lanjutkan makannyha dulu. Silahkan Tulang, Nantulang,” ucap Burju kepada Parulian dan Silalahi.

Begitu juga dengan Ramos dan Rindi. Keduanya berusaha menetralkan suasana agar tidak semakin keruh dengan adanya kejadian yang mengejutkan dan juga memberikan kekawatiran. Meski pada dasarnya, mereka tengah mengkawatirkan apa yang tengah terjadi kepada Tulus.

***

Ryan Tauss

Burju melangkahkan kakinya ke arah tangga. Ia berjalan kea rah ruangan yang berada di tengah. Di apit oleh ruangan yang menjadi ruangan pribadi papanya. Gelap. Tak lama saat Rindi membuka gorden ruangan ini tadi pagi, kini gorden itu tertutup kembali. Begitu rapat hingga suasana yang ada di dalam ruangan ini menjadi gelap. Sungguh… sangat gelap melebih suasana malam.

“Bisa aku bicara denganmu?” tanya Burju kepada pria itu setelah ia membuka pintu yang tertutup.

“Tulus nggak berkenan untuk bicara,” ucapnya ketus.

“Kalau gitu, jangan bicara. Cukup dengarkan. Ini persetujuan kamu barusan,” ucap Burju skakmat.

Tulus terdiam. Ia berada di posisi yang sama. Dimana keduabola mata Tulus menatap sticy note. Yah… ia tak jauh dari ruangan kerjanya. Sudah dapat ditebak, pikirannya jugatak jauh pula dengan apa yang baru saja terjadi.

“Haruskah Abang bilang kamu keparat?” tanya Burju.

Tentu saja Tulus tidak menjawabnya, karena perjanjian awal, Tulus tidak akan memberikan jawaban apapu dikarenakan dirinya enggak untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Dalam bentuk apapun itu.

“Tch! Keparat!”

“Abang!!!” panggil Tulus dengan nadanya  yang meninggi.

“Apa hah?!!! Kamu mau apa sama Abang?” tanya Burju dengan nada yang kalah tingginya.

“Bisa nggak sih, hargai keputusanku? Jangan ngatur-ngatur aku kayak anak kecil!” ucap Tulus sarkatis.

“Nggak ngatur? Woy!!! Nyadar!!! Kamu ini anak siapa?!!! Pantes nggak ngelawan ucapan orang tua?!!! Sejak kapan kamu jadi durhaka begitu?!!! Abang akui kamu pemberani dek. Tapi, inget, kamu punya kewajiban untuk patuh terhadap kedua orang tua. Jangan pernah lupakan itu!!! Dek, Abang bilangin kamu… nggak semua orang punya kesempatan yang sama seperti kamu! Nggak semua orang mendapatkan fasilitas dan kepedulian yang sama seperti kamu! Di sini, Abang menentang keputusan kamu karenakamu keparat nggak mau bersyukur dengan apa yang udah Tuhan berikan ke kamu! Kamu udah sia-siakan semuanya!”

“Dulu, kamu pengen banget kuliah. Sekarang, udah dapat ijin bahkan dukungan, malah dukungannya kamu tolak. Woy! Inget kamu nangis-nangis sujud pengen kuliah dan dapet restu. Dek, tawaran yang diberikan sama Inong itu bukan penghinaan! Tapi itu penghargaan ataskerja keras kamu. Jangan kamu egois dengan harga diri kamu! Emang kenyang makan harga diri, hah?! Sadar! Sadar!!!”

“Abang nggak ngerti gimana rasanya direndahin dan dianggap nggak mampu!!! Abang cuman tahu gimana caranya takut!!!” bentak Tulus kepada Burju.

“Tulus!!!” ucap Burju berteriak dan setengah membentak seraya memberikan tinjuan keras di pipi Tulus. Tulus yang berada di posisi duduh hanya bisa terjungkal ke samping saat kendali dirinya tak dapat dikontrol dengan kekuatan tinjuang Kakaknya.

“Abang,” panggil Rindi kepada Ramos yang tengah menguping pembicaraan keduaputranya.

Ramos hanya memejamkan kedua bola matanya dan menggelengkan kepalanya pelan. Memberikan tand akepada Rindi untuk tidak melerai mereka dan membiarkan mereka membicarakan serta menyelesaikan permasalahan dengan cara mereka sendiri.

“Tapi, Bang….,” ucap Rindi terputus saat Ramos lebih dulu memeluk tubuh istrinya yang tengah dilanda badau kawatir akan kedua putranya.

“Silahkan abisin Tulus! Tulus nggak akan ambil keputusan yang diinginkan sama Abang!” ucap Tulus tetap dalam keteguhannya.

Burju tersenyum kecut mendengar apa yang telah diucapkan oleh adiknya. Burju memutar kedua bola matanya dan kembali menarik kerah baju Tulus. Mendekatkan wajahnya dan wajah adiknya. Keduanya telah saling menatap dengan tatapan tajam. Tatapan yang diberikan oleh Tulus, sangatlah menantang dan hal itu membuat Burju semakin geram dengan tingkah yang diberikan oleh adiknya. Tulus.

“Dengar Abang baik-baik. Jangan pernah lupakan apa yang Abang ucapkan sama kamu hari ini. Jujur, Abang iri dengan kamu. Abang, jika mendapatkan kesempatan yang sama, Abang akan mensikapinya dengan lembut meskipun dalam kondisi Abang tidak menginginkan hal yang diberikan. Dan kamu nggak adarasa syukur akan kasih sayang yang diberikan sama orang. Dan kamu sebut dirimu manusia?!!! Manusia tanpa hati biadap!!!!” ucap Burju dengan teriakan yang semakin keras dan juga penekanan pada setiap kata yang diucapkan.

“Ini aku bicara sebagai sesame laki-laki, Tulus. Tolong, jangan jadi pengecut hanya karena harga diri!” ucap Burju dengan melepaskan cengkeraman di kerah baju Tulus. Kemudian, iamenegakkan tubuhnya dengan benar. Mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskan dengan cepat. Kemudian, ia meninggalkan Tulus yang berada di tempat dudukanya.

Burju meninggalkan Tulus. Ia keluar dari ruangan itu dengan menutup pintu ruangan itu secara keras. Cukup mengagetkan seluruh isi ruangan rumah. Saat ia keluar dari ruangan Tulus, ia menemui mama dan papanya tengah berpelukan di samping ruangan itu. Dan Tulus, memberikan raut wajah datarnya kepada Ramos dan Rindi. Burju lebih memilih untuk meninggalkan mereka dan berjalan kea rah ruangan kerja Ramos. Ia mengingat satu hal bahwa ia mendapatkan tugas dari Ramos untuk mengecek buku-buku baru yang hendak dibeli sebagai pembaharuan perpustakaan yang Ramos miliki.

***

“Rendy,” panggil Burju kepada Rendy yang tengah berdiri di depan meja belajar Burju.

“Abang,” ucap Rendy terkejut.

Seketika, Burju mengeryitkan dahinya.  Burju berlari kecil kea arah Rendy. Iamenutup layar laptopnya seketika tanpa mematikan terlebih dahulu. Ia merasa, ada sesuatu yang aneh terjadi. Benar saja, Burju mendapati apa yang seharusnya tak dilihat oleh orang lain.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Burju memastikan.

“Tadi, Rendy disuruh kemari oleh Tulang untuk mencari berkas universitas yang hendak dimasuki oleh Tulus. Karena, waktu itu Abang Burju yang terakhir membawa berkasnya.Among Rendy hendak melihat juga sebagai bahan perbandingan,” ucap Rendy jujur.

“Oh, sebentar.”

Burju berjalan menjauh dari Rendy. Ia berjalan kea rah almari. Menarik lacinya, dan mendapatkan apa yang dibutuhkan oleh Rendy.

“Ini bukan?” tanya Burju memastikan seraya menyodorkan berkasnya.

Rendy memeriksa dengan melihat beberapa lembar setelah ia membuka sampul map yang ada.

“Benar, Bang. Rendy bawa dulu, ya… kalau sudah nanti akan Rendy kembalikan kepada anggota keluarga Abang semisal Abang lagi nggak ada atau Rendy nggak bisa nemuin Abang,” ucap Rendy memberikan keterangan kepastian mengenai kembalinya berkas itu.

Burju menjawabnya dengan bergumam seraya menganggukkan kepalanya.

“Baiklah kalau begitu, Rendy keluar dulu Bang. Permisi,” ucap Rendy sopan meninggalkan ruangan Burju.

Burju menatap layar laptop yang ditutup. Hatinya masih bergetar merasakan sesuatu yang baru saja terjadi. Bayangan-bayangan itu, muncul di dalam pikirannya. Bisiskan-bisikan itu, juga hadir di dalam telinganya. Memberikan ancaman, hingga membuat dirinya mawas dan kawatir. Akan tetapi, Burju berusaha untuk menenangkan dirinya dengan menghembuskan nafas beratnya. Ia berharap, dengan hal itu apa yang menjadi ketakutannya akan hilang.

“Permisi,” ucap seseorang.

“Maaf kalau mengagetkan,” lanjut ucapan orang itu.

“Tidak. Tidak apa-apa. Kenapa, Bi?” tanya Burju berusaha menetralkan wajahnya yang tengah mawasterhadap sesuatu.

“Tuan Burju dipanggil, oleh Among Tuan,” ucapnya sopan.

“Oh iya, nanti saya akan ke sana. Di ruangan kerjanya, kan?” tanya Burju memastikan.

Pembantunya hanyamenganggukkan kepalanya ringan. Burju membalasnya dengan senyuman sebagai tanda bahwa pembantunya bisa meninggalkan Burju di ruangan itu sendiri.

,,,

***

Langkah kakinya berjalan ke arah ruangan yang menjadi salah satu pengapit ruangan kerja Tulus sekaligus kamar tidurnya. Langkah kakinya tak secepat gerakan biasanya. Entah kenapa, pada detik itu juga, ia seolah enggan untuk menampakkan dirinya di depan papanya. Seolah, ia tak ingin bertemu dengan papanya. Begitu juga dengan orang lain.

Bayangan-bayangan itu, kembali muncul. Bisikan-bisikan hatinya, mempengaruhi cara berpikirnya. Burju berharap, apa yang menjadi kekawatirannya hari ini tidak akan menjadi kenyataan di hari ini juga.

“Permisi, Among.”

“Masuk, Ju.”

Burju menganggukkan kepalanya singkat. Ia berjalan dengan berat kea rah meja kerja papanya. Meja kerja yang menjadi tahta tersendiri untuk papanya. Meja kerja yang menjadikan papanya superior di dalam masyarakat. Meja kerjayang membawa papanya ke dalam kehormatan dalam pandangan masyarakat. Meja kerja yang menjadi kehormatan tersendiri di dalam rumah itu. Meja kerja yang menjadi rangkaian memori kisah waktu jalinan cinta dengan mamanya. Rindi.

“Kamu kenapa diam?” tanya Ramos kepada Burju saat Ramos mendapati Burju tak mendengarkan panggilannya yang berulangkali tertuju pada Burju.

“Hah?” tanya Burju. Kedua matanya memberikan tanda bahwa ia membutuhkan pengulangan kata yang diucapkan oleh Ramos barusan.

“Ada yang kamu pikirkan, Nak?” tanya Ramos.

Burju menjawabnya dengan cepat. Tentu saja gelengan.

“Lalku kenapa kamu tidak mendengarkan apa yang Among bicarakan pada kamu?” tanya Among.

“Tidak, Among.”

“Masalah Tulus?” tanya Among.

Burju mengerjapkan kedua bola matanya secara berulang-ulang. Ia tidak menyangkabahwa apa yang tengah dikawatirnya tidak terjadi. Sungguh keberuntungan tengah ada di tangan Dewi Fortuna. Burju bernafas dengan lega. Ia tersenyum. Sangat, dan sangat lega.

“Sekarang senyum?” tanya Among terheran.

“Iya. Tidak boleh kah, Among?” tanya Burju dengan senyuman.

“Kau ini aneh. Tadi bingung, tidak mendengarkan sekarang tiba-tiba tersenyum. Jangan-jangan ada sesuatu,” ucap Among.

Burju seketika menjawab tidak dengan spontan. Ini berusaha menyembunyikan perasaan gila dan aneh yang tengah melandanya. Selain itu, ia tidak ingin kalau apa yangada di pikiran dan hatinya bisa diketahui oleh papanya.

“Yasudah kalau memang tidak ada sama sekali. Among berharap, tidak akan adakejadian-kejadian buruk yang akan terjadi nantinya.”

Burju terdiam. Ia menundukkan kepalanya ringan. Kemudian, ia berjalan mendekat kea rah papanya dan mengambil selembar kertas yang di sodorkan kepada Burju. Daftar buku yang harus di beli di toko buku. Daftar buku yang sudah disetujui oleh papanya sebagai buku yang nantinya menjadi stok bacaan papanya.

“Oh iya, tambahkan buku yang sekiranya menjadi kebutuhan untuk Tulus, adikmu.”

“Iya among, nanti akan Burju tambahkan.”

“Ini kartu kreditnya. Maaf jika Among merepotkan kamu dengan hal-hal yang seperti ini, Nak.”

Burju menggeleng pelan dan tersenyum. Ramos menepuk pundak putranya. Kemudian, iamemberikan kunci mobil kepada Burju agar Burju dapat bepergian menjacri buku-buku yang akan dibelinya. Ramos memberikan pesan seraya keduanya beriringan untuk keluar dari ruangan itu.

Episode sebelumnya…

https://tulisin.kekitaan.com/2019/07/18/produksi-konsumen-cerpenkita-episode-7/

Terbit

dalam

oleh

Comments

Leave a Reply