Hujan itu mengingatkanku pada satu masa. Dimana air jatuh dengan sendirinya, dan mengingatkan banyak hal yang telah ada. Mangapa? Mengapa, aku harus mengingat semuanya. Rasa rindu ini telah aku bunuh dengan paksa, tapi rintikan air hujan yang ada menentang hati yang hendak membunuhnya. Kau.. kembalilah kemari, temani aku di sini, hingga aku bisa tertidur di atas pangkuanmu lagi.
-Brian Vasine Pramana-
By : -P.N.Z-
Jemari lentiknya, mengusap embun yang ada di sana. Mata indahnya yang selalu dipuja, menatap pada tetesan air hujan yang tengah menemaninya. Rangkaian kata yang ada dalam hatinya, menjadi bukti bisu yang terus mengangkasa atas sebuah nama. Bukan berniat buruk saat ia harus mengutuk nama itu agar kembali padanya.
Sejenak ia berpikir, dimana ia merasakan titik kebencian yang mendalam terhadap waktu. Ia tak dapat mendefinisakan bagaimana waktu telah menyiksanya dalam waktu yang sangat lama, hingga ia tak tahu. Waktu merampas nama itu. Waktu, mengekang dirinya untuk mempertahankan rasa rindu. Itu.. ah, sudahlah. Percuma saja ia menggerutu.
“Lagi ngapain, hmmmm?” tanyanya seraya memegang kedua pundak gadis itu.
Ia menolehkan kepalanya. Mendongkak. Jelas. Bentuk tubuhnya menjulang tinggi. Sebuah tuntutan profesi dimana ia harus bisa menggapai tombol untuk menggapai langit mimpi. Terbang bersama awan, burung, mentari, hingga pelangi. Semua tertembus dalam cita yang selalu ada di dalam sana.
“Aku keinget sesuatu, Bri.”
“Apa itu, sayang?” ucapnya dengan mesra.
Ia kembali memandang. Jemari lentiknya, kembali memainkan embun air hujan, yang tengah beradu bekas hawa panasnya udara di luar sana. Matanya kembali menatap tetesan air hujan. Sebagian menyatu dalam balutan saat beberapa membekas dan tak dapat turun sama seperti air hujan yang lain. Ia sendirian, hingga ada air hujan lain yang menyatu dengan air hujan itu, dan membentuk butiran air dimana ia dapat berjalan turun dan berjatuhan bersama dengan air hujan yang lain.
Sebuah definisi yang begitu rumit. Namun kerumitan itu, tetap ia amati sejalan dengan hati yang terus menunggu bagaimana rasa iri. Tentu saja iri kepada hujan yang terus ada untuk pasangan hati. Yang selalu mengerti, bagaimana rasanya iri.
“Sastra, kamu kenapa?” tanyanya seraya duduk bersebelahan dengan gadis yang tengah asik dengan imaji. Namun, kehadiran pertanyaannya telah membuyarkan pandangan gadis itu. Terlihat saat ia menoleh dengan sorotan matanya yang menunjukkan bahwa ia tengah terkejut.
“Kamu kenapa, hmmm?” tanyanya dengan membelai punggung ringkih gadis itu. Gadis yang telah ia jadikan pendamping hidupnya, dan ibu untuk anak-anaknya. Gadis yang telah menjadi sesuatu untuknya. Entah darimana? Namun yang pasti, itu adalah cinta.
“Hujan ini mengingatkan aku pada satu titik, Brian. Dimana hujan ini mempertemukan kita waktu itu. Kamu, dan aku berlarian untuk menembus hujan. Kamu rela berbasah-basahan denganku hanya untuk mengantarku ke kantor. Padahal, waktu itu sangat bahagia dengan turunna hujan setelah aku kembali dari Belanda,” jelasnya singkat.
“Pada intinya, kamu merindukan masa itu?” tanya Brian menerka dengan keraguannya.
Sastra menganggukkan kepalanya. Ia kembali menatap tetesan hujan dengan antusias. Ia juga kembali menghirup aroma udara yang tengah bercampur hujan. Meski ia sadar, bahwa jendela itu tengah tertutup rapat, dan membatasi dirinya dengan hujan. Ia tetap memejamkan kedua bola matanya, dan meresapi aroma itu.
Brian yang tengah ada disampingnya, asik menatap gadis yang ada di sampingnya. Hingga ia tak mampu untuk menahan gemuruh perasaan yang menggelitik dirinya. Dan, ia mengakhiri waktunya dengan memeluk gadis itu. Dia, Sastra Binara.
Di atas pedang pora, ia kembali mengingat masa itu. Dimana gadisnya bersumpah sebelum sahnya menjadi keluarga kesatuan resimen eka paksi, ia berjalan ke arah yang sama. Merapatkan pelukannya seraya memejamkan kedua bola matanya. Hatinya terus bergemuruh bersama geraya jemari kokohnya yang tengah memeluk tubuh ringkih karena menahan sakit.
Sakit yang menjadi sorot hati untuk terus merintih. Sakit, yang menjadi racun diri, hingga membunuh rindu di hati. Sakit, yang terus dibela waktu, untuk selalu ada dengan rindu. Segalanya bertolak belakang dengan akal yang entah bagaimana nantinya. Semuanya, bertolak bersama akal dengan setitik cinta yang entah bagaimana?
Rintikan air hujan itu, teriringi rintihan tangis lirih yang membasahi punggung Sastra. Untuk sejenak, Sastra membuka kedua bola matanya. Ia melepaskan pelukan suaminya yang membalikkan tubuh ringkihnya. Tak lagi seksi baginya, karena rindu memakan daging matangnya.
“Jangan sedih, aku akan sedih nanti,” ucapnya seraya menghapus air mata Brian.
Brian tak mampu mengucapkan apapun. Ia hanya bisa menatap kedua bola mata gadis itu. Istrinya. Gadis tercantiknya. Dan, ibu untuk anak-anaknya. Dengan sigap, Brian meraih kedua tangan Sastra. Ia mencium telapak tangan Sastra dan memanjakannya dengan rintikan air mata yang ditemani hujan, dan rintihan perih yang ditemani aroma pedih.
“Maafkan aku, maafkan aku sayang. Maafkan aku, karena telah membuatmu mencintai seorang laki-laki yang tak bisa selalu ada di sisimu. Maafkan aku, kerana telah menyiksamu bersama dengan rindu. Maafkan aku, karena tak bisa selalu bersamamu. Maafkan aku, karena aku telah membiarkan waktu menyiksamu. Kumohon, maafkan aku,” ucapnya dengan menundukkan kepalanya seraya menyatukan bibirnya dengan telapak tangan Sastra.
Suara itu melemahkannya. Suara itu, tak mampu menguatkannya. Dan suara itu, menjadikan tubuh ringkihnya menarik telapak tangannya. Meraih kepala suaminya, dan menariknya lembut. Membawanya ke dalam ciuman bibir mungilnya, serta pelukan hangatnya. Sastra tak henti-hentinya membelai dengan lembut, ia mendesah, mendecak, hingga tangisnya kemerasak dengan pelukannya. Waktu memang begitu kejam menyiksanya.
“Brian, dengarkan aku baik-baik. Kepergianmu, memang menyakitiku. Rindu yang kamu berikan, memang menyiksaku. Tapi, cinta yang ada untukku, menjadi penyembuh rasa sakitku. Aku memang tak mampu, karena aku terlalu lugu untuk mencintaimu. Tapi menunggu kamu pulang kemari, adalah hal yang selalu kunanti. Mencintaimu, adalah resiko untukku. Tidak mungkin aku menghianati itu, begitupun dengan kamu. Karena aku tahu, kamu tengah berjuang bersama dengan peluru. Aku hanya menakutkan sesuatu. Yaitu saat peluru yang menghilangkan nyawamu. Bukan Tuhanku. Kau tahu, betapa sakitnya aku saat aku mengandung putra-putrimu? Semuanya, tak lain karena rindu,” jelas Sastra dengan memegang kedua sisi suaminya. Brian.
Brian tak mampu mengatakan hal itu. Bibirnya terasa begitu kelu dan linu. Ia hanya bisa bernafas berat bersama dengan rasa sakit itu. Rasa rindu yang terus membuatnya menggerutu. Begitu keparat memang waktu. Tapi cintanya, telah menjadi penawar sakit itu.
Sungguh Tuhan Maha Adil dengan segala kuasa. Hingga Brian tak mampu untuk berkata. Sungguh Tuhan Maha Segalanya. Hingga Brian tak mampu untuk mengedipkan mata. Saat ia tahu, bahwa itulah bukti sesungguhnya cinta. Yang memang, tak patut meski dikatakan dengan rangkaian indahnya kata. Cukup satu kata dalam hatinya, ia berucap doa.
-Tuhan, jagalah istri dan anak-anakku. Karena aku tahu, hal sulit itu adalah rindu-