RESTU!

Bibirnya terus mendesis. Kedua bola matanya, tidak henti-hentinya melihat ke arah jam tangan yang tengah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ponselnya terus berdering, seolah memprotes untuk diangkat. Jemarinya yang gemetaran tak kuasa untuk mengangkatnya. Tetesan keringat terus mengucur di sekujur tubuhnya. Terutama, pelipisnya.

Keringat dingin yang bercampur dengan hawa panas luar sekaligus rasa takut menyelimutinya pagi itu. Kakinya yang bergetar tak sabar menunggu lancarnya jalanan yang tengah macet. Menjebaknya, ditengah acara penting yang seharusnya ia hadiri adalah hal yang paling  menyebalkan.

Nama Seniornya yang terus bermunculan di layar ponselnya, semakin membuat dirinya tertekan dan jengah dengan posisinya. Decahan kesal yang terselip di dalam kekawatirannya, membuat dirinya keluar dari daam taksi itu, tanpa memberikan aba-aba kepada supir taksi yang tengah tenang menikmati jalanan macet.

“Neng, mau kemana?!,” tanya supir taksi saat menyadari bahwa penumpangnya telah keluar dari taksi, dan berlari melewati kemacetan.

 Cuaca yang begitu panas seakan tidak menjadi masalah bagi dirinya. Yah.. dirinya yang jenius hingga mengetahui betapa berbahayanya sinar matahari saat ia tidak  menggunakan sun-screen atau saat ia tidak meminum kapsul yang bisa menangkal antioksidan yang bisa membahayakan kulitnya dan berdampak pada selaput darahnya.

Tia berlari dengan hellsnya. Ia melangkahkan kakinya dengan lebar, dan melewati jajaran mobil di sana. Suara klakson yang bising, seolah menjadi lagu siang itu. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan di trotoar. Berharap, menghindari dari sesaknya jalan, yang mengharuskan dirinya untuk mengatr tubuh seksi dan lencirny agar ia bisa melewati himpitan mobil yang memang saling berhimpitan dengan jarak yang minim.

“Tia!,” panggil seseorang dengan terkejut.

“Udah mulai?!,” tanya Tia dengan nafas yang ngos-ngosan.

“Udah dari tadi! Lo kemana aja! Proffesor Robert udah nungguin lo dari tadi! Bahkan beliau sangat kawatir banget sama lo! Juga penelitian lo, Tia!,” jelas temannya dengan raut wajah kawatir pula.

Tia yang masih tidak bisa mengatur nafasnya, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seolah ia mengerti semua kejadian yang telah terjadi di dalam. Tia menegakkan tubuhnya setelah ia membungkukkan badannya, untuk memperoleh oksigen lebih banyak sekaligus, mengondisikan rasa lelahnya.

“Lo mau kemana?!,” tanya Tia dengan nafas yang mulai teratur seraya ia melihat penampilan temannya yang menggunakan jas lab.

“Gue mau ambil alat yang baru saja di kirim. Udah gih! Lo jangan banyak nanya!! Cepetan masuk dan temui Proffesor Robert di dalam!,” pintanya dengan menepuka pundak Tia seraya melangkahkan kakinya untuk meninggalkan gedung itu.

Tia menganggukkan kepalanya. Iapun masuk ke dalam gedung mewah itu. Dengan menarik nafas sejenak, ia menghilangkan rasa lelahnya. Keringat berkucuran di sana. Lehernya mengkilap terkena keringat. Begitu pula dengan pelipisnya. Serasa begitu gerah dan panas. Sampai akhirnya, ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam dan menggelur rambutnya yang tergerai.

Tampaklah sudah leher jenjang itu. Anting-anting mungil yang menghiasi telinganya, senada dengan kalung yang ia gunakan. Kulit putihnya yang mulus dan berkilau seperti mutiara, membawa dirinya menjadi pusat perhatian. Mata sipitnya dengan ujung yang indah, menunjukkan rasnya yang mencolok. Kewarganegaraan China dan Eropa, terlihat dari kulit dan warna matanya. Keunikan tersendiri baginya.

Dengan berlari kecil, Tia masuk ke dalam. Menyusuri karpet merah kehormatan. Menjadi pusat perhatian, adalah posisinya saat itu. Tak hanya karena kecantikan dirinya layaknya seorang Dewi, tapi juga wajahnya yang menunjukkan kekawatiran akan sebuah hal besar.

“Awww! Maaf!,” ucap Tia dengan mengelus jidatnya yang telah menabrak sesuatu.

“Kamu tidak papa?,” tanyanya kawatir dengan me lihat jidat Tia.

Tia membuka kelopak matanya. Kedua bola mata cokelatnya, bertemu dengan sepasang mata itu. Kedua bola mata yang hitam dan tegas. Di sana, ia dapat merasakan kedamaian, dan juga, kekawatiran yang tidak seharusnya keluar hanya karena hal kecil.

“Nggak-nggak! Saya nggak papa, permisi!,” Ucap Tia terburu dengan meninggalkan orang itu saat ia hendak mengecek jidat Tia. Dengan langkah yang cepat, Tia menghampiri Proffesor pengampunya yang tengah berdiri tak jauh dari dirinya. Meski pada hasilnya, sikap laki-laki tadi tidaklah wajar hanya karena hal kecil hingga menjadi hal yang tercantung di dalam otaknya.

“Agrintia, dari mana saja kamu?,” tanya Prof. Robert kawatir.

“Maaf Prof, saya ada halangan di jalan,” jelasnya jujur.

“Ah, baiklah! Ikuti saya!,” ucap Prof. Robert tanpa mempermasalahkan kesalahan Tia.

Tanpa penolakan atau sebuah kata, Tia mengikuti langkah Prof. Robert. Berkeliling diantara orang-orang yang berseragam dengan perangkat yang begitu banyak dan potongan rambut yang sangat rapi serta seragam ketat yang menunjukkan betapa terbentuknya tubuh mereka. Dan hal tersebut terasa asing baginya yang hanya sering berdiri diantara orang-orang yang mengenakan jas lab, dengan cacatan kecil yang tebal, serta baunya cairan yang sangat menyengat.

“Tia! Sini!,” pinta Prof. Robert saat melihat Tia yang berjalan dengan lambat ke arahnya.

Dengan anggukan kepalanya, Tia mempercepat langkah kakinya dan berada disamping Prof. Robert. Dengan senyuman kebanggaan, Prof. Robert memperkanal dirinya kepada teman-temannya. Mengingat, prestasi yang berhasil ia dapatkan selama menjadi seorang pembimbing Proffesor. Dimana ia mendapatkan seorang murid yang bisa menjadi seorang Proffesor di usianya yang masih sangat muda. Dua puluh tahun yang seharusnya ia masih menjalani proses sarjana strata satu apabila dibandingkan dengan otak-otak pada umumnya.

“Kenalan, beliau ada dekan Akademi Militer. Kamu akan menjadi dosen di sana. Karena mereka telah merekurutmu,” jelas  Prof. Robert dengan  senyuman bangga seraya ia mengelus kepala Tia layaknya puteri kandungnya.

Tia mengulurkan tangan mulus lentiknya. Memperkenalkan dirinya dengan menyeburkan nama singkatnya. Tak lupa, dengan senyuman yang mengeluarkan lesung pipitna serta gigi gingsulnya.  Sungguh pemandangan yang sangat manis saat itu. Bahkan yang katanya ia tengah berkenalan dengan seorang Jenderal, ia melupakan etikanya karena terpana dengan dewi kahyangan di depannya.

“Ekhem!,” deham Prof. Robert saat mengetahui bahwa muridnya memang tengah pantas menjadi pusat perhatian.

“Maaf, Prof!,” ucap Jenderal itu dengan wajah kikuknya.

“Tidak papa, saya bisa memaklumimu anak muda! Oh ya, Tia sebentar lagi kamu akan presentasi mengenai  penelitian yang sudah kamu lakukan. Alangkah baiknya kamu pergi ke ruang persiapan dan bersiap-siap di sana. Saya yakin, kamu membutuhkan air untuk membasahi tenggorokan kamu karena lari menuju ke sini,” jelas Prof. Robert dengan penuh perhatian.

“Baik, Prof!,” ucapnya tegas.

“Permisi,” lanjut Tia berniat undur diri dari hadapan Jenderal itu.

Anggukan kepalanya, menjadi awal dimana Tia melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Berdiri di depan meja kebangaan dimana ia menjadi salah satu Profeesor termuda masa itu. Pemberian ulasan materi yang sangat lugas, dan juga  penjelasan yang rinci serta penyampaiannya yang jelas sesuai dengan materinya memberikan nilai plus baginya sebagai penilaian setelah Proffesor-Proffesor yang lain memberikan penjelasan terlebih dahul mengenai karya-karyanya yang dipamerkan pagi itu.

By : Patrick Tomasso

Dari banyaknya suara yang telah diberikan sebagai Proffesor terbaik, Agrintia Labirina Nabar mendapatkan piala emas lagi di tiga tahun berturut setelah ia memenangkan pertarungannya untuk melawan Proffesor yang senada ilmunya dengan Prof. Robert. Pelukan bangga sang pengampu terhadap muridnya membuat kesan tersendiri untuknya. Yah…. Namanya Agrintia Labirina Nabar. Sosok Proffesor muda yang tak tertandingi kecerdasannya. Bahkan di dalam akademinya, ia selalu mendapatkan julukan Anak Albert karena jeniusnya.

“Bagaimana langkah kamu selanjutnya? Banyak orang yang menawarkan job kepada saya Tia,” jelas Pro. Robert dengan tatapan bangganya.

“Saya memberikan wewenang itu kepada Anda Prof. Tiada lagi siapa saya karena tak jauh dari Anda yang mengampu saya,” ucap Tia dengan hormat.

Aplos tangan tak henti-hentinya menyambt Tia pagi itu. Suara terbanyak memberika ia job aply terbanyak dalam pemberian wewenang untuk perubahan bangsanya. Bagi Tia,  ilmunya bukan hanya karena sebatas usahanya. Melainkan, karsa dari pengampu dan kedua sahabatnya yang kini tengah menunggunya.

“Proffesor Tia!,” panggil seseorang dengan berlari ke arahnya.

Tia menolehkan kepalanya seraya ia menghentikan langkahnya. Memberikan lambaian tangan kepada kedua sahabatnya yang tengah menunggu di meja ujung untuk memberikan pelukan serta bingkai bunga dan hadiah lainnya. Lambaian itu, adalah tanda dimana ia menyuruh para sahabatnya untuk menunggu di sana.

“Adakah waktu untuk kita berbicara?,” tanyanya.

“Ah maaf! Saya sudah ada janji. Mungkin lain kali,” ucap Tia menolak dengan halus seraya ia menyatukann kedua telapak tangannya sebagai tanda maafnya.

“Oh! Baik tidak apa-apa. Boleh saya minta kartu namanya?,” tanyanya dengan lembut.

“Ah! Boleh, ide bagus!,” ucap Tia denan memberikan kartu putihnya.

Dengan senyuman, Tia meninggalkan orang itu. Ia sudah tidak sabar untuk memeluk sahabat-sahabat gilanya. Berlari kecil menuju ke arah mereka. Yah…. sahabat-sahabat yang ia temukan pada saat awal ia menjadi seorang mahasiswa biasa. Sang Dokter Bedah terhebat, dan juga Bussines Woman yang berhasil meraih prestasi kerjanya dengan memperluas pangsa pasar dan menguasai alur pasar serta menjalin relasi lebih dari lima negara dalam waktu yang begitu singkat.

“Ayo makan!,” pinta Tia dengan wajah melasnya.

“Unnnchhhh! Habis nggak makan berapa hari sayang?,” tanya Diandra.

“Berhari-hari, Mama!,” ucapnya dengan wajah sedih yang dibuat-buat.

“Koki handal sudah menunggu di restoran,” ucap Sastra dengan mantab.

“Gimana kalau kita rayakan ini di apartemen lo, Tia?,” tanya Diandra.

“Nah, itu Bu Dokter pinter! Sas! Makanannya order dari lo ya, hahahaha,” ucap Tia dengan gelak tawanya.

“Oke deh beres!!!,” ucap Sastra mendengus dengan jarinya yang menyatu membentuk bentukan oke.

Merekapun berpelukan, merasakan betapa bahagianya mereka dengan pencapaian yang mereka lakukan. Kemenangan, telah berpihak kepada mereka. Sampai akhirnya, mereka menghabiskan waktu bersantai dengan pergi ke pantai, atau sekedar Treathment untuk membebaskan diri dari kepenatan pekerjaan yang melanda. Sastra yang sibuk dengan bisnisnya, serta Diandra yang sibuk untuk mengutak-atik pasien di ruang operasi, sengaja menjadwalkan liburnya hanya untuk menyambut sahabatnya. Agrintia Labirina Nabar.

“Lo jadi milih siapa Tia?,” tanya Sastra dengan meminum cokelatnya.

“Gue menyerahkan pilihan itu ke Prof. Robert. Tapi kayaknya sih, beliau bakalan naruk gue di Akmil. Karena gue denger, di sana adaa keponakannya.  Dan beliau ingin gue megang keponakannya. Lo tahu lah, beliau sangat berjasa dalam hidup gue. Tanpa beliau, gue nggak akan bisa jadi Proffesor dengan usia semuda ini,” jelasnya.

“Tapi semua itu juga karena usaha lo juga kali, “ ucap Diandra.

“No, no, baby! Usaha hanya kewajiban gue. Memang, banyak yang bilang kalau keberhasilan ada di tangan kita. Tapi perlu kalian tahu, satu jasa yang nggak seharusnya kalian lakukan. Melupakan jasa seorang guru dan menganggap usaha kalian ada titik keberhasilan. Tanpa panduan, perintah dan juga pengajarannya, gue yaki kalian bakalan males buat belajar sendiri, mengerjakan tugas juga males, plus memahami materi juga bakalan males. Gimana nggak males orang kalian nggak paham. Itulah proses yang seharusnya kalian hargai,” jelas Tia dengan memakan cemilan yang ada di pangkuannya.

“Dan itu termasuk alasan lo buat nolak perusahaan gue?,” tanya Sastra.

Tia tersenyum gurau. Begitu juga dengan Sastra. Tia tahu, jika perusahaan Sastra tengah membangun produk baru selain bergerak dibidang properti, furnish, pariwisata, food and baverage. Ia berharap bisa membangun prduk kecantikan yang nantinya bisa menjadi pendukung aspek perusahaannya. Tapi sahabatnya, Agrintiaa Labirina Nabar, lebih memilih Akademi Militer Angkatan Udara daripada perusahaan besarnya. Yah.. itulah Tia. Ia tidak pernah memandang uang sebagai tolak ukurnya. Tetapi jasa dan proses adalah prioritasnya. Bukan sebuah hubungan atau relasi sekalipun.

“Gue bangga punya temen kayak lo!,” ucap Sastra.

“Makasih karena lo nggak memandang sebuah hubungan untuk menentukan kesuksesan. Gue nggak tahu gimana caranya berterimakasih dengan benar. Karena nyatanya, sampai sekarang gue nggak bisa membalas waktu yang kalian berikan untuk gue dengan bayaran yang setimpal. Gue hanya ingin, tetep stay aja di kehidupan gue! Kalian lebih berarti dari jati diri gue,” ucap Tia.

Sastra dan Diandra meletakkan makanan dan minuman yang hendak masuk ke dalam mulut mereka.  Kemudian, melayangkan pelukan hangat. Sehangat hati yang terus menderma dalam diri mereka. Sebuah arti dimana mereke bertemu. Menautkan janji untuk menjadi perisai negara. Mengabdi atas dasar restu dan selipan doa. Mendarma bakti untuk umat manusia, tanpa mengharap sebuah pamrih, menggerakkan roda ekonomi negara tanpa memandang adanya relasi imbalan. Dan, mengubah poros negara, menyebar ilmu tanpa memandang  buih-buih rupiah.

Satu kata yang patut untuk mereka ucapkan. Janji suci sebagai anak bangsa yang tak patut tercontoh saat diri tak lagi menjadi pribadi yang mulia. Kesuksesan bukan dari siapa dirimu, dan apa usahamu, serta apa yang diberikan negara untukmu hingga kau mau untuk mengabdi. Tapi, seberapa dirimu tunduk akan sebuah makna kehidupan, menilai sebuah proses perjalanan. Hingga restu menderma setiap waktu, atas nama restu.

Comments

Leave a Reply